“Ihh,, kakak itu dateng tuh..” Rina bicara sambil menunjuk
sembunyi- sembunyi ke arah kakak senior yang baru aja melintas beberapa meter
di depan mereka.
“Makin hari kak Angga makin manis aja deehh..” kata Caca
dengan tatapan kagum.
Sontak Rina dan Rani pun menoleh dengan tatapan malas ke arah
temannya yang sepertinya lagi kesurupan penunggu kampus.
“Apa? Darimana manisnya? Engga inget tuh gimana garangnya tu
orang pas ospek?” balas Rani.
“Inget laa.. tapi kan ospek udah selesai, masih dendam ya lo
pade? Ckckck..” kata Caca geleng-geleng kepala..
“You know, dendam itu bisa membutakan mata hati..” celoteh
Caca sambil menjulurkan lidahnya.
“huuuu…. Iya deh iya.. orang kalo lagi kasmaran emang engga
bisa ketolong ya Ran,” kata Rina kepada kembarannya itu.
“ Inget kak Nanta, Ca.. inget.. hehe..” kata Rina.
“Ah.. ngapain? Dia bukan siapa- siapa gue, dia aja yang
ngebet.. ambil aja ambil..” kata Caca yang mukanya langsung berubah masam.
“Udah yuk, masuk kelas.. inget keluarin tugasnya,,” kata Caca
lagi sambil berjalan menuju kelas.
Di dalam kelas, Caca tiba- tiba
teringat lagi kata-kata Rani tadi tentang kak Angga. Dia teringat beberapa
bulan lalu saat kak Angga menjadi senior cowok tergalak tahun ini.
“Kalian semua mahasiswa MANJA!!! Tugas engga bawa, dateng telat!! Mau jadi apa kalian
semua hah??!!! Malu saya jadi senior kalian TAU?!! Malu saya!!” bentak kak
Angga sambil berjalan kea rah barisan mahasiswa baru.
Semua mahasiswa baru tertunduk takut,
siapa yang engga takut sama pembawaan kak Angga yang lebih mirip tukang jagal
daripada senior itu?
Perawakannya tinggi, jangkung, rambutnya gondrong, belom lagi
kalo ngebentak itu paling awet, alias luaaaaammmmmmaaaaa banget!! Pernah dia
sendiri ngomel ngabisin waktu hampir setengah jam, kebayang aja gimana
mahasiswa baru itu mesti nerima nasib dijemur panas-panasan, sakit telinga
pula..
Tapi engga tau kenapa, Caca malah bisa melihat kalo kak Angga
itu completely pretending buat lakuin hal ini. Dia satu- satunya mahasiswa
_mungkin_ yang malah menatap kagum kak Angga disaat semua temen-temen
sejawatnya lagi nahan pipis supaya engga keluar gara-gara denger bentakannya
kak Angga. Well, selain emang perlu diakuin kalo kak Angga itu good-looking,
Caca bener- bener penasaran sama sisi lain ato bahkan sisi sesungguhnya dari
kak Angga setiap harinya. Hal ini yang melatarbelakangi Caca buat nulis surat
cintanya buat kak Angga saat dia diminta untuk memilih salah satu senior.
“ Engga salah tulis kamu ni dek?” tanya kak Angga sambil
membawa surat berbungkus amplop pink yang tertuju padanya atas nama
Anissa
Kelompok : 12
Nama kelompok : Pacta Sunt Servanda
Sontak Caca menggeleng sambil tertunduk, “ enggak kak.. saya
engga salah tulis..”
“Awas kalo isinya jelek-jelekin saya ya, saya jamin kamu
engga lulus ospek..”
“ iya kak..” jawab Caca masih tertunduk.
Berselang setelah kak Angga pergi
darinya, Caca pun memberanikan diri untuk menoleh ke arah kak Angga yang sedang
duduk sendiri membaca surat cinta darinya. Beberapa saat, tidak ada ekspresi
dari kak Angga, namun menit berikutnya, senyum kecil tersungging dari bibir kak
Angga, senyum yang sungguh menunjukkan sisi lain dari kak Angga, sisi yang
selalu berusaha disembunyikannya dari banyak orang. Caca pun tidak kuasa
menahan senyumnya juga..
****
“hei!” suara itu membuyarkan lamunan Caca.
Kak Nanta. Senyum Caca
langsung memudar.
“ kenapa kak?” tanya Caca basa- basi sambil merapikan
bukunya.
“lagi sibuk?” tanya kak Nanta.
“lumayan..” balas Caca sambil meninggalkan kak Nanta
sendirian di kelas.
Caca berjalan bergegas menuju kelas selanjutnya, dia engga
mau sampe duduk sebelahan sama kak Nanta di kelas berikutnya. Dari kejauhan kak
Angga berjalan dari arah yang berlawanan dari Caca. Seutas senyum terbentuk
dari bibir kak Angga melihat Caca yang keluar sendirian dari kelas, niat hati
ingin menyapa Caca, namun diurungkannya karena melihat ada Nanta menyusul di
belakangnya.
Akhirnya kak Angga pun kembali memasang wajah garangnya saat
Caca menyapanya kala berpapasan.
“Kak…” sapa Caca.
Kak Angga hanya mengangguk sambil berjalan tanpa melihat
Caca. Caca sih udah biasa, kak Angga emang gitu.
“Sok cakep banget deh..” kata Nanta saat melihat Kak Angga
berlalu.
Emang cakep. Batin Caca dalam hati.namun ia enggak utarakan
itu, pasti ribet nanti urusannya.
Nanta adalah senior dua tahun diatas
Caca, sejak awal masuk kampus Nanta emang selalu mengejar Caca, tapi Caca
enggak pernah menanggapi karena Nanta itu reputasinya enggak bagus, playboy dan
jadi langganan enggak lulus di banyak mata kuliah. Engga heran kalo Caca sering
satu kelas sama dia. Saking dia kakak senior aja makanya Caca segan, kalo
enggak, pasti udah Caca omelin dari jaman kapan. Mereka berdua pun sampai di
kelas, BERDUA. Engga heran kalo semua mata tertuju sama mereka berdua, terutama
Rani dan Rina. Beruntung mereka menyisakan satu tempat duduk buat Caca, jadi
dia engga perlu kuatir duduk sebelahan selama satu setengah jam dengan kak
Nanta.
Selesai kelas, Caca melihat
pengumuman tentang diskusi yang akan diadakan sore ini. Betapa senang dirinya
saat tau kalau pemimpin diskusinya nanti adalah kak Angga.
“ Gue balik duluan ya..” kata Caca semangat.
“Lah.. cepet amat?” kata Rina
“Iya.. gue mau siapin bahan diskusi dulu. Gue engga mau malu-
maluin depan kak Angga..hehe”
“Huuuu.. bilang aja mau dandan..” goda Rina.
Sampai di rumah Caca menyiapkan segala info yang bisa dia
dapatkan mengenai topik diskusi sore ini, dia memang tertarik dengan tema
diskusi sore nanti, semakin tertarik lagilah dia saat tau kalau ada kak Angga
nanti di kelompoknya.
Jam empat
sore, semua peserta diskusi sudah berkumpul di aula fakultas sesuai dengan
kelompok dan pemimpin diskusi mereka.
“Selamat sore semuanya, makasi udah dateng ke diskusi hari
ini. Saya Angga Wirya Ananta akan menjadi pemimpin diskusi kalian. Tema yang
akan kita bahas sore ini adalah tema yang sedang hangatnya : kenaikan BBM. Saya
pengin denger pendapat kalian yang sebenernya, enggak ada pendapat yang salah,
saya pengin tau pola pikir kalian sebagai bagian penting dari proses kemajuan
bangsa ini. “
Tiga puluh menit diskusi berjalan panas, lebih banyak yang
tidak setuju dengan kenaikan ini karena berbagai alasan. Kak Angga pun dapat
dengan baik menguasai kelompok ini sehingga semua anggota mendapat peran yang
nyaris sama.
“ Bagus, bagus. Saya suka diskusi yang seperti ini. Ada yang
punya pendapat lain? Saya belum denger ada suara tidak setuju selama tiga puluh
menit ke belakang. “
Caca melihat ke sekeliling, tidak ada yang angkat tangan.
Semua melihat ke arahnya yang daritadi belum juga angkat bicara, padahal
biasanya Caca menjadi yang paling frontal dalam mengemukakan pendapat. Beberapa
saat kemudian, Caca pun mengangkat tangannya untuk mengajukan pendapatnya,
“ yap, Caca silahkan..” kata kak Angga mempersilahkan.
“ Sebelumnya, aku engga mau menyalahkan pendapat teman- teman
semua, tapi aku memang punya pemikiran yang berbeda dari temen-temen semua,
mungkin pengetahuanku tentang politik sedikit, tapi pada dasarnya aku setuju
kalo harga BBM harus dinaikkan.”
“Alasannya?” tanya kak Angga tertarik dengan pernyataan Caca.
“ Karena, logikanya aja, selama ini kita membayar BBM hanya
setengah harga dari yang seharusnya. Kalo kita lihat di negara maju, harga BBM
itu sudah menginjak ke angka Sembilan ribu lebih kalo dirupiahkan. Coba teman-
teman sekalian disini pikirkan, kenapa pemerintah harus tetap membayar bahan
bakar kendaraan pribadi kita? Bukannya itu malah membebani keuangan
negara?menurut saya itu malah tidak adil bagi pemerintah. Kalo kita bisa
membeli kendaraan pribadi, bukannya semestinya kita mau dan mampu membayar
bahan bakarnya?”
“Dan menurutku lagi, kita terbiasa tinggal nyaman di dalam
‘tempurung’ yang selalu bisa melindungi kita, namun di lain sisi tempurung itu
membuat kita tidak bisa melihat dunia luar yang sudah jauh berkembang. Lagipula
setauku, toh pemerintah masih member subsidi ke kendaraan umum, buatku ini hal
yang bijak, dengan ongkos kendaraan public yang tetap ini bisa membuat orang berpikir
dua kali untuk memakai kendaraan pribadi dan beralih pada kendaraan umum, ini
kan salah satu bentuk penghematan sumber daya minyak bumi yang pasti akan habis
sewaktu-waktu, dan sangat membantu dalam mengurangi polusi. Kita bisa mencontoh
Swiss dimana pemerintah menetapkan pajak yang sangat tinggi untuk kendaraan
pribadi, makanya rakyat disana lebih banyak naik kendaraan public ato naik
sepeda. Kadang melihat keatas itu perlu, untuk sadar sejauh mana kita udah
tertinggal. Makasi.” Caca menutup pembicaraannya. Semua terdiam, tidak ada
sanggahan dari teman- teman kelompoknya, hanya anggukan yang menandakan bahwa
apa yang dikatakan Caca ada benarnya juga.
Kak Angga tersenyum puas mendengar
pernyataan Caca barusan, setelah mengucapkan kembali terima kasih dan kata
penutup, kak Angga pun membagikan piagam kepada peserta dan membubarkan
diskusi. Saat Caca merapikan barangnya, kak Angga tiba-tiba menyebelahinya,
“ Emang kamu beneran setuju, Ca?” tanya kak Angga.
“Heeh kak.. kenapa? Aku setuju sih, dengan mengabaikan muatan
politik yang mungkin ada di dalamnya.”
Kak Angga mengangguk pelan,” Aku pikir kamu ngomong kaya tadi
Cuma biar beda aja dari yang laen. Habisnya tadi ngomong paling terakhir,”
“ Hehe.. aku engga ngomong gitu just for sake to be different
aja kak, emang engga masuk akal ya kak?” tanya Caca kuatir. Ia lebih kuatir
kalo kak Angga malah menganggap pendapatnya itu main- main.
“Enggak, bukan kaya gitu. Pendapatmu sangat bisa aku terima,
Cuma aku pengin mastiin aja. Tapi kamu juga mesti buka mata dan pengetahuanmu
lebih lebar lagi, menyikapi tindakan pemerintah sekarang ini emang engga bisa
dikaji dari satu bidang aja, pikiranmu harus bisa bercabang ke semua aspek.
Bagus, lanjutin ya..” saran kak Angga. Caca mengangguk puas, senang dipuji dan
diberi nasehat dari kak Angga. Namun kebersamaan yang amat jarang ini kembali
terganggu oleh kehadiran Nanta.
“ Udah selesai kak diskusi kelompoknya?” tanya Nanta basa
basi.
Senyum pun memudar dari wajah kak Angga, ia pun segera pergi
meninggalkan Caca dan Nanta tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Ih!! Ganggu aja deh!! Batin Caca saat ini, engga tau apa ya
kalo jarang-jarang banget dia bisa ngobrol sama kak Angga..huhu..
“ Aku duluan, kak. Udah malem..” pamit Caca.
“Eit.. sekalian makan aja sama aku, mau gak?” tawar Nanta
sambil menarik lengan Caca.
“Engga mau, udah ada makanan di rumah..” kata Caca berusaha
melepaskan cengkeraman Nanta.
“Ck..bentar doang, Ca..” kata Nanta masih memaksa.
“ Lepasin!! Aku bilang enggak ya enggak!” bentak Caca yang
membuat Nanta terkejut lalu melepaskan cengkeramannya.
Caca pun pergi meninggalkan Nanta disana, ia berjalan secepat
mungkin berjaga-jaga kalau Nanta akan mengejarnya. Namun hal itu tidak terjadi,
Nanta masih diam di aula dengan ambisinya untuk memenangkan hati Caca.
“Tunggu aja, Ca. nanti lo engga akan bisa lepas dari gue,
pasti seru kalo gue bisa dapetin lo,” bisik Nanta, dari kejauhan ia tidak sadar
masih ada Angga yang menatapnya penuh amarah.
****
Pagi ini
Caca sudah hampir terlambat datang ke ruang kuliah, hari ini jadwal kuliah di
aula dengan satu angkatan dan angkatan yang belum sempat mengambil mata kuliah
yang bersangkutan. Caca engga sempat lagi melihat pembagian kelompoknya, yang
dia yakin adalah dia pasti masuk ke kelompok satu. Setelah mengisi absensi, Caca
menyiapkan alat tulisnya sambil menunggu dosen yang akan membawakan materi.
Tiba-tiba seseorang duduk di sebelahnya, dia pikir itu Nanta, Caca baru pengin
mengusirnya dengan sopan, namun ia urungkan karena ternyata orang ini adalah
Angga. Ia menaikkan alisnya tanda menyapa Caca.
“Loh,kakak di kelompok ini juga toh?”
“Iya.. Soal..” perkataan Angga terhenti saat melihat Nanta
datang menyapa Caca.
Ya oloh,ini orang!! Batin Caca..
“ Udah sarapan, Ca?” tanya Nanta
“Belom kak..”
“Nanti habis kuliah aku tunggu ya, kita makan bareng.”
Caca Cuma geleng-geleng, ajaib banget ni cowok. Engga ada
otaknya pasti, jadi engga bisa nerima sinyal engga suka dari dirinya.
“Udah lama ya sama Nanta?” tanya Angga saat melihat Nanta
pergi dari Caca.
Caca menatap Angga dengan heran, tumben dia peduli?
“Lama kenapa kak? Memendam perasaan? Hehe..”
Angga tercekat. Perasaan? Jangan- jangan..
“Kamu suka sama dia?” selidik Angga tetap dengan nada
setenang mungkin.
“Buahahahaha… enggak mungkin kak. Aku mending single
selamanya daripada mesti pacaran sama dia..”
Angga girang setengah mati, akhirnya dia yakin kalo cewek di
depannya ini belum ada yang memiliki.
“Ooooo..” balas Angga dengan nada datar. Mencoba
menyembunyikan kebahagiaannya dari Caca.
Sepintas, senyum tersungging dari bibirnya.
Setelah selesai kuliah, Caca keluar bersama dengan Angga.
Namun Angga seperti biasa langsung ngeloyor pergi setelah melihat Nanta yang
sudah menunggu sejak tadi. Caca menatap kepergian Angga yang begitu saja itu
dengan kecewa.
“Ayok, Ca..” ajak Nanta.
“Sori kak, aku mau langsung ke ruangan aja siap-siap buat
Small Group Discussion ntar. Lagian Cuma setengah jam, engga cukup buat makan.”
Kata Caca tanpa basa- basi lagi. Dia udah mulai bosen sama sikap Nanta. Saat di
kelas, ternyata Angga sudah ada diluar bersama dengan teman- temannya. Angga
kaget melihat kedatangan Caca yang begitu cepat,
“ Loh, engga jadi sama Nanta?”
Caca menggeleng lalu masuk ke kelas.
Bagus!!! Batin Angga. Senyum kemenangan pun tersungging
darinya, namun ia kembali melanjutkan pembicaraan bersama dengan teman-
temannya.
Hari itu
semestinya ada diskusi dalam kelompok kecil, namun dosen yang bertugas memimpin
diskusi sedang berhalangan hadir, maka dari itu kelaspun dibubarkan lebih awal.
Angga meninggalkan kelas lebih dulu, sementara Caca masih merapikan buku sambil
ngobrol dengan Rina.
“ Rani mana?” tanya Caca
“ Di kelas sebelah, gara-gara kak Angga makanya gue kepisah
sama dia..huhu..”
“Yeee elaaaahhh.. biasa di rumah juga bareng. Engga bosen apa
lo?”
Rina menggeleng, “ Makan yuk, Ca.. laper..”
Caca mengangguk setuju, “Ayo.. tapi lo duluan aja ya, gue
masih mau ke perpus dulu balikin buku..”
“Oke.. jangan kelamaan ya,gue ke kantin duluan..” balas Rina
sambil pergi meninggalkan Caca sendirian di ruangan.
Caca sudah hampir selesai membereskan bukunya saat tiba- tiba
pintu ruangan terbuka, sosok Nanta muncul dari balik pintu itu, Caca terkejut
melihat Nanta yang datang tiba-tiba, setau dia Nanta enggak ambil mata kuliah
ini.
****
Sementara di luar kampus Angga
sedang ngobrol dengan teman- temannya yang lebih mirip preman pasar induk itu.
Saat dilihatnya Rina sedang melangkah keluar, ia menanyakan keberadaan Caca.
“ Lo
temennya Caca kan? Caca mana?” tanya Angga dengan nada tinggi. Dia memang
selalu seperti ini, engga heran kalo banyak yang takut meski Cuma menyapa dia,
terlebih mahasiswa baru, mending engga usah deh.
“Hmmm.. masi
di ruangang kak..” jawab Rina takut-takut.
Angga
mengangguk lalu menyuruh Rina pergi. Di sela obrolannya dengan teman-temannya,
tiba-tiba Angga sadar kalo rokoknya tidak ada di kantongnya.
“Rokok gue
mana? Lo ambil,Bud?”
“Yee,
enggak. Lo lupa bawa kalik..”
“Ck.. gak
mungkin.. mana ya?”
“Coba cari,
mungkin di tas ato di kelas kalik,” saran Budi.
Angga
merogoh dan mengeluarkan isi tasnya, tetep engga ada. Dia berpikir mungkin
jatuh di kursi kelas. Akhirnya Angga pun bergegas ke kelas untuk mencari
rokoknya.
“Gue ke
kelas..”
Sementara di dalam kelas, Caca
sedang bersama dengan Nanta, di depan pintu ruangan sudah dijaga oleh
teman-teman Nanta, memastikan engga akan ada yang mengganggu acaranya dengan
Caca.
“ Jadi,
gimana kalo kita nonton?” rayu Nanta
Caca menatap
Nanta dengan muka jijik, ia seolah bisa membaca pikiran Nanta melalui nada
bicaranya yang lebih mirip om-om merayu gadis di diskotik.
“ Kak, udah
berapa kali sih aku bilang, aku engga suka sama cara kakak yang kaya gini.
Selama ini aku diem karena aku respect sama kakak. Tapi kalo kakak gini terus,
aku engga akan diem lagi..” kata Caca.
“ Oh ya?
Kamu engga suka sama caraku yang kaya gini? Kamu mau aku gimana? Kaya gini?!”
Tiba- tiba
dengan gerakan cepat Nanta berusaha menarik kepala Caca dan mendekatkan
bibirnya dengan bibir Caca. Namun beruntung Caca masih bisa mengelak, ia
berdiri dari tempat duduknya lalu mendorong Nanta sekuat tenaga, Caca berusaha
keluar ruangan secepat mungkin, namun percuma karena pintu sudah tertutup
rapat..
“SHIT!”
umpat Caca, kini ia engga punya jalan lain selain melawan cowok gila di
depannya ini. Ini engga adil! Gue Cuma sendirian! Batin Caca.
Nanta segera
bangun dari lantai, ia terlihat marah sekaligus kagum dengan keberanian Caca.
“Well, elo
engga semudah yang gue pikir. Ini yang bikin gue semakin pengin dapetin elo..”
kata Nanta sambil menyeringai kea rah Caca yang tidak bisa lari kemana-mana.
Caca baru
hendak mengangkat kursi dan melemparkannya ke Nanta, namun Nanta dapat membaca
gerakan Caca, ia menarik lengan kiri Caca lalu menghempaskan tubuhnya ke
tembok. Kini kedua tangan Caca telah terkait dengan Nanta.
“Lo mau
kemana sekarang hah?” ancam Nanta.
“ Lo tau,
belum ada cewek yang kaya gini ke gue, lo pikir gue akan ngalah sama elo?
Maaf,tapi gue bukan tipe gentle men. Gue selalu dapet siapa aja yang gue mau..”
Caca
ketakutan setengah mati, kakinya gemetar, suaranya pun berubah parau, “well, let
it be your first time!” bentak caca sambil menginjak kuat-kuat kaki Nanta,
namun Nanta berhasil mengelaknya.
Dari arah berlainan, Angga sedang
berjalan cepat menuju kelasnya tadi. Namun ia kaget melihat ada orang yang
menjaga pintu ruangan kelasnya. Melihat Angga, penjaga pintu itupun sontak
takut, namun mereka masih bertahan dalam posisi mereka. Angga yang sedang
buru-buru pun menanyakan ada apa dengan mereka.
“ Heh,
minggir-minggir!!” bentak Angga
“ Mmm…
maaafff kak..”kata salah satu teman Nanta.
“ Apaan sih
maaf-maaf? Minggir gak lo!” kata Angga sambil mendorong lelaki itu, namun
temannya berhasil menahan rekannya itu supaya tidak jatuh kena hempasan Angga
yang cukup kuat.
“ Heh lo
engga usaa….” Omongan Angga terhenti.
“
AAAAAAAAAAAA!!!! Lepas! Lepasin!! Lepasin kak!!!!” Caca berteriak sekeras
mungkin, ia putus asa dengan keadaanya, ia hanya berharap ada seseorang diluar
sana yang punya hati nurani dan menyelamatkan dia sekarang. Posisinya kini
benar- benar terjepit, satu-satunya peluang lolos hanya jendela yang tingginya
sekitar 20 meter dari tanah. Apa jadinya dia kalo dia nekat?
Angga
tercekat mendengar teriakan itu, tadi Rina bilang kalo Caca masih di kelas,
jangan-jangan? Pikiran Angga melayang jauh, ia melihat wajah-wajah di depannya
ini, kayanya seangkatan sama Nanta. Kini Angga tidak menahan tenaganya lagi,
dengan satu dorongan ia berhasil memukul mundur lalat- lalat pengganggu di
depannya itu. Angga pun mendobrak keras pintu di depannya. Alangkah terkejutnya
Angga saat melihat Nanta akan menampar wajah Caca.
“Lo pikir
ada yang bakal nolong lo hah?!!” bentak Nanta sambil melayangkan tangan
kanannya ke wajah Caca. Namun dengan cepat Angga menyanggah tangan Nanta.
“ Elo!!
Akhirnya gue punya alasan buat NGABISIN elo!!!!” kata Angga tanpa basa- basi.
Ia menjauhkan Nanta dari Caca, betapa kagetnya Nanta melihat ada Angga di
ruangan ini. Bagaimana bisa? Hal serupa juga dirasakan Caca. Ia menjauhkan
dirinya sejauh mungkin dari dua laki-laki ini.
Sementara
Angga memukul Nanta tanpa ampun, meski Nanta melakukan perlawanan yang tidak
kalah sengit, namun kemarahan Angga melebihi kekuatannya sendiri.
“ Lo pikir
lo siapa bisa nyentuh- nyentuh dia,HAH?!!” ancam Angga sambil menari kerah baju
Nanta.
“ Dia punya
gue, dan selamanya akan gitu..” balas Nanta dengan sisa tenaganya.
“ Anjing lo
ya! Cari aja perek- perek kampus lain yang lebih pantes buat lo mainin! Tapi
jelas itu bukan Caca, sekali lagi lo berani deketin Caca, gue engga tanggung
jawab lo cacat permanen!” bentak Angga sambil melemparkan Nanta keluar ruangan.
Angga membanting pintu ruangan untuk menggertak Nanta supaya engga kembali
lagi. Setelah menenangkan dirinya, Angga berbalik badan dan melihat Caca sedang
tertunduk dalam, isak tangis terdengar darinya.
“Ca..”
panggil Angga.
Caca tidak
menjawab, ia hanya menangis. Seluruh perasaan takut, malu, sekaligus lega
bercampur menjadi satu. Andai saja Angga tidak datang tadi, mungkin sekarang ia
sudah habis di tangan Nanta.
“ Bangun,
Ca..” Angga membantu Caca berdiri, Angga bisa melihat kaki Caca masih gemetar,
pasti dia masih shock akibat ulah cowok gila itu. Angga menunduk untuk melihat
wajah Caca yang belum juga terangkat, Angga memegang bahu Caca yang juga masih
bergetar karena tangisan Caca. Tiba-tiba pintu ruangan terbuka lagi, Caca
buru-buru menyembunyikan wajahnya, siapapun, ia tidak ingin terlihat seperti
ini apalagi sampe ditanya-tanya. Angga bisa membaca situasi itu, ia pun memeluk
Caca dan menyembunyikannya di balik dadanya. Orang yang dari luar pun hanya
akan melihat punggung Angga.
“ Ca..
elo..” suara Rina tertahan, Rina baru akan menanyakan kenapa Caca tak kunjung
menyusulnya ke kantin.
“ Siapapun
disana, gue minta pergi sekarang..” pinta Angga. Rina engga perlu dikomando dua kali oleh
Angga, ia pun segera menutup pintu ruangan dengan penuh tanya.
Setelah
yakin bahwa hanya tinggal mereka berdua saja disana, Angga pun kembali berusaha
menenangkan Caca.
“Udah Ca,
sekarang kamu aman. Dan akan selalu aman, selama ada kakak di sampingmu,” kata
Angga lembut sambil membelai rambut Caca yang setengah basah oleh keringat.
Mendengar kata-kata itu, Caca bukan malah lebih tenang, ia malah justru semakin
melimpahkan perasaannya, tangisnya pun kembali meledak. Angga memeluk tubuh
Caca erat-erat, ia lebih tersayat melihat gadis yang disukainya sejak Caca
menulis surat cinta untuknya sedang terluka.
“ Maaf..
kakak engga sejak dulu bisa ngelindungin kamu.. hal ini bakal jadi hal diantara
kamu sama kakak aja. Kakak jamin orang lain engga akan tau,jadi kakak mohon
kamu jangan kuatir lagi.” Kata Angga sambil melepaskan pelukannya. Ia
mengangkat wajah Caca perlahan yang masih basah dan matanya sembab karena air
mata.
Caca
mengganguk menanggapi pernyataan Angga pada dirinya. Angga mengusap air mata
Caca dengan jemarinya, setelah itu Angga beranjak meninggalkan Caca, Caca menahan
Angga.
“ Kakak mau
kemana?” tanya Caca, masih tersimpan raut wajah takut di sana.
Angga
tersenyum menatap Caca, “ Kakak udah bilang kan bakal jagain kamu mulai
sekarang? Mau keluar sebentar aja..” kata Angga sambil keluar dari pintu itu.
Di balik pintu ia tau kalau Rina masih menunggu Caca, ia pun menceritakan apa
yang terjadi pada Caca dan mengatakan bahwa temannya itu kini masih shock.
Angga meminta pada Rina untuk tidak menanyakan hal apapun pada Caca. Setelah
mengerti semuanya, Rina pun benar- benar meninggalkan tempat itu dan pulang.
“ Ayoo..”
ajak Angga.
“ Kemana
kak? Aku pulang bareng Rina..”
Angga
menggeleng, “Tadi kakak ketemu Rina, katanya dia buru- buru. Makanya kakak
samperin kamu tadi..” kata Angga berbohong.
“ Hmmm..
gitu..”
Angga
mengangguk untuk meyakinkan Caca, “ Tapi gimana kalo kita jalan- jalan dulu.
Hmm jam satu, kamu pasti belum makan kan? Kakak ajak ke tempat langganan
kakak..” ajak Angga, seutas senyum lahir dari balik bibir Caca.
****
Angga mengajak Caca ke salah satu
mal, di mal itulah tempat makan kesukaan Angga berada.
“ Bakso
rawitnya satu ya, mas..” pesan Angga
“ Hah? Bakso
rawit? Kaya apa rasanya kak?”
“ Mantep..
mau coba juga?”
“ Iya mau,
samain ya mas..”
Beberapa
menit kemudian pesanan mereka pun datang, Caca mencoba perlahan pesanan di
depannya, terpampang bakso bentuk kotak dengan tampilan engga jauh beda dengan
bakso lain pada umumnya. Tapi setelah dicoba, Caca benar- benar tergila-gila
sama rasanya..
“
Sllrrrrrppppp…” bunyi itu keluar dari mulut Caca
“ Enak kan?
Hehe.. engga kepedesan?”
“ Pedes sih
kak, Cuma emang enak banget. Dimaafin deh pedesnya..” balas Caca.
Angga
tersenyum melihat Caca yang menahan rasa pedas bakso rawitnya. Setelah selesai
makan, seperti biasa Angga merokok.
“ Uhuk..
uhuk.. uhuk..” Caca terbatuk tanpa sengaja.
“ Kenapa?”
tanya Angga sambil menurunkan rokoknya ke bawah meja.
Caca
menggeleng, “ Engga papa kak, aku suka gitu kalo ada asep rokok… dilanjut aja
kak..” kata Caca merasa engga enak sama Angga.
Angga pun
segera mematikan rokok yang baru sekali ia hisap.
“ Loh kok
dimatiin kak? Aku uda biasa gitu kok, papa juga ngerokok.. hehe.. cuman batukku
emang engga bisa diboongin..” jelas Caca.
“ Iya..
kakak sih lebih pengin bikin kamu nyaman ketimbang bikin diri kakak ini
nyaman..” jawab Angga sambil menatap dalam ke mata Caca. Caca tertegun
mendengar jawaban senior yang sangat dikaguminya ini. Ia tidak mampu menjawab
apapun selain tersipu malu.
“ Eh, Ca..
maen yok ke timezone..” tawar Angga.
“ Waaaaaa!!!!
Uda lama tuh kak aku engga maen kesana! Ayo- ayo!!” kata Caca penuh semangat.
Di sana mereka menghabiskan waktu
untuk bersenang- senang dan melepas penat. Hampir semua permainan mereka lalap
tanpa ampun. Dalam waktu dua jam, mereka sudah mengumpulkan beberapa ratus
tiket. Kebanyakan tiket didapat dari permainan bola basket, engga heran, karena
Angga jagonya buat permainan itu. Makanya Caca engga hentinya minta Angga untuk
mengulangi permainan yang sama..
“ Ayolaah
kaaakkk.. sekali lagi ya?? Biar bisa tuker sama boneka..” pinta Caca
“ Cape, Ca..
pegel.. udah habis tuh tadi makanan buat masukin bola doang daritadi..”
Caca
melengos pergi, melihat itu, Angga seolah tidak punya pilihan lain. Do it or
lose it.
“ Eh…!!!
Siniiin kartunya..” kata Angga sambil mengambil kartu untuk memainkan permainan
bola basket itu sekali lagi. Caca yang sudah menebak reaksi Angga bakal seperti
ini pun menyunggingkan senyum kemenangan.. hahahaha :D
Beberapa
menit kemudian..
Caca
terlihat senang dengan segepok tiket yang sudah ada di tangannya, mendapat
hadiah karena jerih payah sendiri itu emang menyenangkan, tapi akan dobel
menyenangkan saat itu di dapat dari usaha orang lain..hehe..
Ia pun
berjalan menuju counter penukaran hadiah, belum sampe ditanya sama mas- masnya,
Caca udah dengan yakin bilang, “ Itu.. boneka smurf yang pake kacamata!!”
Angga Cuma
geleng- geleng sambil tersenyum geli melihat tingkah gadis yang disukainya itu.
Petugas di
counter itu pun masih serius menghitung tiket yang di dapat oleh Caca, namun
tiba- tiba petugas bilang kalo tiketnya kurang untuk dapat boneka yang diingkan
Caca..
“Maaf ya
mbak, tiketnya kurang 5 lagi..”
“ HAH?! Kok
bisa? Tadi saya itung- itung perasaan udah bisa nuker deh.. lebih malah.. coba
itung lagi mas..” pinta Caca.
Petugas
itupun meyakinkan bahwa dirinya sudah menghitung jumlah tiket itu dua kali.
“Maaf mbak,
tapi tiketnya sudah saya hitung dua kali, kalo mbak mau, maen saja sekali lagi,
pasti cukup..” tawar mas- mas itu.
Ekspresi
kecewa Nampak dari wajah Caca, jelas ia sangat ingin memiliki boneka smurf itu.
Mungkin ia emang engga boleh memanfaatkan usaha orang lain demi kepentingannya.
Raut wajah kecewa itu ditangkap dengan jelas oleh Angga.
“ Oia, bener
Ca.. tadi kan kakak sempet missed dua
kali tuh shootnya. Tadi kamu itungnya masuk semua kalik..” kata Angga
Caca menatap
Angga sejenak, “ Oia ya.. bener juga.. hmm..”
“ Kakak maen
lagi aja ya? Sekali aja..” tawar Angga
Caca
menggeleng, ia jelas iba dengan kak Angga yang pasti udah capek meladeni dia
daritadi, “Enggak usah kak, engga papa kok, kapan- kapan aja aku kesini lagi
maen.. ayo kak, pulang..” kata Caca sambil berjalan keluar. Angga menatap
kepergian Caca, terlintas ide di dalam otaknya.
“ Berapa
duit mas kalo dibeli?” tanya Angga kepada petugas counter hadiah.
“ Hmm..
boneka itu engga dijual mas,” kata petugas itu.
“ Aduh..
mas.. tolonglah mas.. engga liat tuh muka cewek saya udah gak jelas gitu?
Kasian lah mas.. berapa aja lah.. saya bayar..” pinta Angga.
“ Aduh juga
mas, tapi engga bisa kaya gitu, kalo gitu mas beli aja di toko boneka..”
Angga sempet
memikirkan sejenak kata-kata petugas itu, bener juga ya.. namun saat ia sedang
berpikir, datang dua orang anak kecil yang berniat menukar hadiah juga.
“ Tiketnya
ada 350, dik. Mau dituker sama yang apa?”
“SMURF!!!!”
teriak salah satu anak kecil itu.
Angga
menoleh kea rah anak kecil itu, AHA! Ide tercetus lagi di dalam otaknya.
Anak itu
terlihat begitu senang setelah menggenggam boneka Smurf di tangannya. Sebelum
mereka pergi, Angga dengan sigap mencegah mereka,
“Eits,
tunggu.. mau gak kalo kakak beli itu boneka? Mau ya??” tanya Angga sambil
berlutut.
Anak kecil
itu terlihat berpikir sejenak, “ Engga mau, kalo kakak mau, maen aja sendiri..”
“ Ehh..
kakak udah main, tapi tiketnya engga cukup. Kalo kakak bayar boneka itu, kalian
kan bisa main lagi tuh, nah kalian bisa dapet yang lebih bagus, kalo boneka kan
bisa cepet kotor, han tuh banyak pilihan lain. Ada pensil, pulpen, buku..
banyak tuh yang lebih lucu daripada boneka beginian. Belum lagi bulunya, bisa
bikin bersin- bersin..” rayu Angga. Buset, pertama kali gue begini sama anak
kecil, sama adek gue aja engga gini- gini amat, demi deh demi.. batin Angga.
Anak kecil
itu kembali menatap boneka Smurf dihadapannya dan berpikir keras, akhirnya
setelah beberapa lama..
“ Oke deh
kak.. boleh.. kakak mau bayar berapa?”
“Hmm..
seratus ribu ya?” tawar Angga
“ Dua
ratus..” tawar anak itu lagi.
“ Yaahh,,
mahal amat sih,” keluh Angga
“ Ya udah
kalo gitu, cari aja di toko boneka.”
Angga
jengah, jangan- jangan ini anak ponakannya petugas counter ini ya? Kenapa
omongannya sama sih? -.-“
“Heh,
siniin.. nih..” kata Angga sambil mengeluarkan dua lembar uang dua ratus ribu
rupiah.
“ Anak- anak
jaman sekarang, tau banget sama duit..” Angga geleng- geleng kepala. Namun
sejenak kemudian ia sadar kalau ada yang lebih penting dari anak kecil mata
duitan itu.
Angga mencoba menemukan Caca,
setelah beberapa lama mencari, ia menemukan Caca sedang duduk masih di areal
tempat mereka bermain tadi.
“ Sori ya
lama..” sapa Angga dari belakang Caca.
Caca
mengangguk sambil menoleh kea rah Angga, “ Iya.. darimana kak?” tanya Caca.
Suasana hatinya sudah kembali membaik.
Angga duduk
di sebelah Caca, dari balik punggungnya keluarlah boneka Smurf yang sangat
diinginkan Caca tadi.
“ Dari
sini!!!!” kata Angga sambil menunjukkan boneka Smurf itu pada Caca.
Caca
terbelalak melihat benda biru yang belakangan sangat ia dambakan itu. Spontan
ia langsung meraih boneka itu dari Angga..
“Aaaaaaaaa!!!!
Akhirnya kamu jadi milikku!! Asiiikk.. lucu deh lucu deh!!” kata Caca sambil
meremas- remas boneka barunya. Angga tertawa melihat tingkah Caca.
“ Tapi
gimana caranya kakak dapet ini?” tanya Caca setelah tersadar kalo hal ini agak
janggal.
Angga
terhenyak, masa iya dia mau jelasin asal muasal boneka itu ada di tangannya?
Adduuhh.. naluri premannya engga ngijinin itu.
“ Eheemm..
ada deh.. aku tuh multi talenta, jadi jangan heran..” jelas Angga.
Caca kembali
melengos, namun kali ini dengan tatapan yang bahagia, “ Makasi ya kak..”
Angga
mengangguk, dalam hatinya ia pun berterimakasih pada Caca, makasi Ca, buat
senyum kamu hari ini..
“ Kak..”
panggil Caca.
“Hmm..”
“ Maen
bowling yuk,,” ajak Caca.
“ Nantangin?
Okkeh.. lets go!” kata Angga sambil menggandeng tangan Caca.
Caca Nampak
terkejut dengan sikap Angga yang tiba- tiba menggandeng tangannya, namun entah
mengapa, nalurinya seolah ikut bergembira dengan sikap Angga kepadanya. Caca
menatap Angga sejenak, lalu tersenyum kecil.
Tempat bermain bowling terlihat
lengang, karena jam masih menunjukkan pukul empat sore, tempat ini biasanya
ramai kalo sudah menjelang malam, apalagi di malam minggu begini.
“ Sepi..”
celetuk Angga.
Caca
mengangguk, “ Iya ya, tapi kan enak,kalo engga bisa main jadi engga ketauan
orang banyak,engga malu- malu banget..hehe..”
Angga
tertawa kecil, ia lalu ke kasir untuk meregistrasi untuk satu game. Setelah registrasi, Angga
segera menghampiri Caca.
“ Udah lama
main bowling, Ca?”
“Hmm.. engga
juga kak,baru enam bulan terakhir..”
“Oohh gitu,
ayok maen.. taruhan tapi yak..”
“ Hah? Ah
engga ah, pasti aku kalah..”
“ Yah elah,
belum juga terompet perang ditiup, masa udah naruh pedang? Huu.. kalo aja
Einstein nyerah di percobaan pertamanya, mau jadi apa dunia?” ledek Angga.
“ Aku bukan
Einstein, so its fine by me..” ejek Caca.
Angga mulai
engga sabar, “ Kakak Cuma mau liat kemampuanmu setelah enam bulan belajar,
kakak aja baru dua bulan terakhir, jadi mungkin kalo kamu menang, ya tapi kalo
kamu masih ragu sama kemampuan kamu disbanding kakak yang baru dua bulan ini,
ya udah..” kata Angga sambil berjalan ke station bowling.
Caca jengah
mendengar perkataan Angga itu, enak aja, gue yang ngajak kesini, kenapa gue
yang jadi cemen? Huuu..
“Tunggu!!
Hmm taruhannya apa?” panggil Caca.
GOT
YOU!!Hahahahaha.. batin Angga puas.
“ Simple,
kalo salah satu dari kita menang dengan paling sering mencetak strike, orang
yang kalah harus mau dibawa kemana aja sama yang menang..” kata Angga.
Caca
berpikir sejenak, “Oke. Tapi engga lebih sampe jam 8 malem ya.” Tawar Caca.
Angga
mengangguk sambil menyuruh Caca mendekat ke arahnya.
“ Pemula
duluan..” ledek Caca.
Angga kesel,
PEMULA??! Liat aja nanti siapa yang ketawa terakhir.
Angga mengambil bola di sebelahnya,
ia mengambil ancang- ancang untuk menggelindingkan bola ke arah pin di
depannya. Sekali menggelindingkan, bola malah berlari agak ke kanan, akhirnya
hanya 3 pin yang berhasil dijatuhkan.
“Argghhh..”
geram Angga.
Caca tertawa
kecil, “ Masih ada dua kesempatan lagi kak..”
Pada
kesempatan kedua, Angga akhirnya berhasil menjatuhkan ketujuh pin yang masih
tersisa.
Angga
tersenyum puas.
“Spare.. not
bad..” ledek Caca lagi. Kini ia menggantikan posisi Angga untuk menaklukkan pin
di depannya.
Caca
memasukkan jari- jarinya ke dalam bola pink yang sejak tadi dipegangnya,
setelah mengambil ancang- ancang, Caca menarik napas dalam- dalam sebelum
melakukan serangan. Meski ini hanya main- main dan engga beresiko sama sekali,
tetep aja ia engga rela dikalahkan oleh orang yang baru dua bulan berkenalan
dengan olahraga ini. Percobaan pertama, dan..
“STRIKE!!!
Hahahahaha…!!!” Caca tertawa puas.
Angga benar-
benar jengah sekarang, dia bukan tipikal cowok yang rela mengalah demi cewek,
meski cewek itu disukainya sekalipun. Dan gagalnya dia mencetak strike tadi itu
bukan sebagai bentuk ‘mengalah’.
“ Kita masih
punya 17 kali kesempatan lagi buat nunjukin siapa yang bakal menang, minggir..”
sela Angga.
Caca tertawa
geli melihat Angga, lo boleh gak ada lawan di lapangan penyiksaan dulu, tapi
sekarang.. huuu..
Angga
kembali mencoba peruntungannya di bowling lane ini, ia engga boleh kehilangan
focus. Fokus fokus fokuuuusss…
Dan..
Empat bola
aja yang jatoh.. empat??!!
Angga
semakin emosi.. Caca enggak lagi tertawa melihat ini, dia tau kalo dia tertawa,
bukan tidak mungkin kak Angga meninggalkannya di tempat ini sekarang. Caca
memberikan bola lain kepada Angga. Angga pun kembali menggelindingkan bolanya,
tepat sasaran, namun hanya dua pin yang terjatuh..
Kesempatan
terakhir, dia sudah kalah dua kali dari Caca. Namun pada percobaan ketiga,
Angga sepertinya sudah kehilangan kontrol atas emosinya sendiri. Bola menggelinding
ke arah gutter (semacem selokan yang ada di kanan kiri papan bowling) sebelah
kanan.
“Ck..” Angga
nampak sangat kesal pada dirinya sendiri. Ada apa dengannya hari ini? Kenapa
mendadak kemampuannya bener- bener cetek?
Caca merasa
engga enak sebenernya untuk melanjutkan permainan ini, namun Angga berusaha
benar menyembunyikan emosinya dari Caca. Dengan seutas senyum di bibirnya,
Angga memberikan bola bowling kepada Caca. Caca tersenyum.
Dan dengan
kemampuan fokus Caca yang bagus, ia kembali berhasil mencetak strike. Angga
bertepuk tangan dari tempat duduknya.
“ Great!!
Engga rugi kamu belajar selama ini, Ca.. kakak mesti berguru nih sama kamu..”
puji Angga tulus.
Caca
tersenyum malu, ia pun merasakan kalau kata- kata itu tulus keluar dari Angga,
“ Ah.. enggak kak, biasa aja. Kakak mesti lebih fokus, jangan mikir macem-
macem, pasti bisa strike..” nasihat Caca.
Angga menggangguk dalam, ia sadar
kalau sedari tadi ia kehilangan fokus. Melihat Caca di depannya saja sudah
cukup membuat dia kehilangan fokus, ditambah lagi dengan kemampuan Caca yang
tidak bisa diragukan itu. Akhirnya, dengan sisa tenaganya, Angga mencoba lagi
peruntungannya.
Ia melangkah
lagi untuk melakukan lemparan ke delapannya. Ia menarik napas dalam- dalam dan
memfokuskan pikirannya. Caca melihat itu dari tempat duduknya, kali ini ia
berharap kak Angga bisa menunjukkan kemampuannya. Bola pun digelindingkan..
STRIKE!!!!
“Yessss!!!!
Akhirnya!! Triangga saputra is back! Hahahaha!!” teriak Angga kagum akan
dirinya sendiri. Caca melonjak senang melihat hal itu, ketika Angga berbalik
badan dan membuka kedua lengannya lebar- lebar, Caca pun menjatuhkan dirinya ke
dalam kedua lengan itu. Kini kepalanya beradu dengan dada Angga. Angga yang
terkejut dengan reaksi Caca pun sempat tertegun sejenak, namun sepersekian
detik kemudian ia turut memeluk pinggang Caca sambil tersenyum bahagia.
Beberapa saat kemudian Caca pun melepaskan pelukannya dan mengambil bola lagi.
Masih ada beberapa kali lemparan lagi.
Namun kali
ini nampaknya Caca yang kehilangan fokusnya. Lemparan pertama masih gagal, pada
lemparan kedua baru Caca berhasil menjatuhkan semua pin yang tersisa.
“ Spare..
not bad..” ledek Angga mengembalikan kata- kata Caca untuknya tadi.
Caca
terlihat manyun, “Huuu.. copy cad!”
Sementara
Angga terus menunjukkan kemampuan terbaiknya, Caca pun mulai curiga, Angga
pasti bohong tentang pengalaman dua bulannya.
“ Kakak
pasti udah lama ya main bowling?”
“ Enggak,
dua bulan..” jawab Angga singkat. Caca memandang Angga masih dengan tatapan
curiga, namun Angga berusaha bersikap setenang mungkin dengan tatapan
intimidasi Caca.
Kali ini
adalah kesempatan terakhir Caca untuk mencoba memperoleh strike, kalau ia bisa
strike, kemungkinan dia bisa menang. Sumpah, dia bakal ngajak kak Angga ke toko
boneka kalo dia menang, biar aja itu cowok malu. Huh. Batin Caca.
Namun yang
terjadi malah sebaliknya, bola pertama yang ia gelindingkan malah nyasar
langsung ke gutter. Caca engga percaya dengan yang baru saja dilihatnya, ia
memegang kepalanya, kalik- kalik aja kepalanya jatuh saking shocknya.
Angga pun
tidak kalah shock melihat itu, kayanya Caca udah mulai kehilangan staminanya.
Akhirnya Angga menghampiri Caca, “ It’s just a game. Lets go..” kata Angga
sambil tersenyum kepada Caca.
Caca
terlihat engga rela meninggalkan tempat bowling itu, sebenarnya masih tersisa
satu lemparan lagi untuk Angga, tapi engga perlu, toh Angga akan menang meski
bolanya masuk ke gutter.
“ Udalah..
engga usah bĂȘte gitu. Kamu bagus kok,
tapi mungkin kamu udah capek..”
Caca masih
terdiam. Masih shock.
Angga
bingung, ia melihat sekeliling mencari hal yang bisa mengalihkan fokus Caca.
“ Es krim
yak? Mau?” tawar Angga.
Caca
menggeleng, “ Itu..” Caca menunjuk ke arah pesawat- pesawatan yang biasa
ditumpangi sama anak umur 8 tahun ke bawah.
“ Hah?” Angga
kaget setengah mati. Kalo dia ketemu temennya di mal ini trus liat dia lagi di
tempat mainan balita gimana???
“Hahahahaha..
engga kok kak, becanda,,” kata Caca sambil menjulurkan lidahnya.
Angga
bernapas lega, “ Mending kakak naikin kamu odong- odong ketimbang itu, Ca..”
Caca kembali
tertawa. Dalam hati ia lebih senang karena Angga yang menang. Karena buat Caca
kalah dari Angga toh tidak melukai harga dirinya sama sekali. Tapi seandainya
Angga yang kalah, mungkin bagi orang seperti Angga kalah dari gadis seperti
Caca dapat melukai harga dirinya.
****
Sesuai dengan aturan taruhan yang
udah disepakati, maka yang kalah harus rela dibawa kemana aja sama yang menang
asal engga lewat sampe jam 8 malam. Angga mengajak Caca ke sebuah pantai yang
sepi, di ujung lautan seolah matahari sedang menunggu kedatangan mereka berdua
sebelum ia benar- benar tenggelam sempurna.
“ Pernah
kesini?” tanya Angga sambil tetap menggandeng tangan Caca.
Caca
mengangguk, “ Hmm.. waktu itu aku foto untuk buku kenangan SMA. Cuma waktu itu
pagi, suasananya jelas lebih bagus yang sekarang..” jawab Caca sambil tersenyum
mengenang masa SMA bersama sahabat- sahabatnya dulu. Mereka berdua pun duduk di
atas pasir pantai, sejenak terlarut dalam kenangan masing- masing.
“ Kakak
selalu pengin nanya hal ini sama kamu. Tapi kamu boleh jawab boleh enggak..”
Caca menoleh
ke Angga.
“
Sebenernya, kenapa kamu nulis surat cinta waktu itu buat kakak?”
Caca
menghela nafas, memorinya kembali ke masa beberapa bulan lalu saat masa awal ia
mengenal Angga.
“ Kakak
keren, itu kesan awal yang aku tangkep. Yang aku liat kakak itu punya wibawa,
meski aku rasa emang agak berlebihan, Cuma tetep aja aku suka. Awalnya aku
pikir ini Cuma rasa kagum yang bakal ilang seiring waktu ospek selesai. Tapi
ternyata semakin ke belakang aku malah semakin kagum sama kakak..”
Angga
mengangguk mengerti, tapi ia masih belum puas dengan jawaban Caca.
“ Tapi di
surat itu, kamu nanya kenapa pas hari puncak ospek, waktu subuh- subuh itu,
kamu nanyain kenapa aku duduk nunduk sendirian di ruang sekre. Kenapa kamu
tau?”
Caca kembali
menghela nafas, “Itu.. aku engga sengaja lewat. Tapi waktu liat kakak kaya
gitu, entah kenapa langkahku berenti disana. Mungkin kalo saat itu kakak tiba-
tiba buka mata trus liat aku di depan kakak, kakak bakal bentak aku habis-
habisan. Tapi pikiran itu enggak terlintas sama sekali di otakku. Aku Cuma
langsung mikir, waktu itu kakak dateng ke kampus jam berapa? Kalo aku stand by
jam empat pagi di kampus, kakak jam berapa? Engga heran kalo kakak gampang
kepancing sama tingkah maba yang nyebelin kaya kita- kita.. tidur aja jarang..”
jelas Caca.
Angga
tertegun. Sedikitpun ia tidak pernah berharap ada seseorang, entah itu teman
apalagi pacar yang begitu peduli akan keadaannya, akan bagaimana lelahnya dia
selama ini. Yang dia tau hanya bekerja keras, menjalankan tanggung jawab sekuat
tenaga, tidak ada ekspektasi lain.
“ Makasi ya,
Ca. suratmu itu, buat kakak menyentuh banget. Emang banyak surat yang ditujukan
ke kakak, tapi Cuma surat yang dari kamu aja sampe bikin kakak cari tau
orangnya. Entah kenapa kakak ngerasain ada yang beda dari isi suratmu.
Kedengerannya kuno sih, surat- suratan. Tapi kakak engga peduli, setiap orang
bakal punya kisah uniknya sendiri..”
Caca
tersenyum sambil menatap matahari yang sudah hampir tenggelam.
“ Sejak saat
itu, kakak engga pernah berenti perhatiin kamu. Engga pernah berenti muter otak
gimana caranya biar bisa deket sama kamu. Untuk orang kaya kakak, hal itu engga
gampang. Kakak takut kalo kamu punya pikiran yang sama kaya anak lain, kalo
kakak itu galak, kasar, engga bisa diajak ngomong. Apalagi liat Natan yang
engga pernah berenti nguntit kamu..”
Sekarang
ganti Caca yang kaget, apa?? Kak Angga selama ini merhatiin dia? Mimpi apa Caca
semalem? Bukannya selama ini dia yang merhatiin kak Angga mati- matian?
“ Lucu ya
kak, kita berdua ngelakuin hal yang sama selama ini. Cuma engga ada yang tau
sama sekali..hehe” Caca tertawa kecil, begitupun Angga.
“ Ngomong-
ngomong, emang aku sama kaya anak lain? Setelah seharian tadi kita bareng..”
Angga
menggeleng, “ Sama kamu, kakak engga perlu pura- pura. Engga perlu pura- pura
galak ato pura- pura engga ngerasain apa- apa..”
Caca tersipu
malu, tiba- tiba Angga kembali menggenggam tangannya serta menatap dalam- dalam
kedua matanya.
“ Gimana
kalo kita mulai semua dari awal? Engga perlu merhatiin dari jauh lagi, cukup
sms satu sama lain kalo mau tau gimana keadaan salah satu dari kita.. kadang
kakak kuatir kamu bakal jadi milik orang lain..”
Caca
menggenggam lebih erat tangan Angga, ia menggangguk yakin dengan komitmen Angga
yang baru saja diucapkannya.
Angga
tersenyum bahagia, raut wajah yang begitu dikagumi oleh Caca kini kembali
terlihat. Spontan, Caca mendaratkan kepalanya ke bahu Angga, Angga pun
menyambut dengan merangkul gadis yang kini telah resmi menjadi pacarnya itu.
Sang mentari menjadi saksi dua hati yang hari ini telah bersepakat untuk
memulai segalanya dari awal lagi.
“ Ca..”
“Hmm”
“
Sebenernya, kakak bohong..”
Caca
beranjak dari pundak Angga.
“ Apa?”
suara Caca tercekat. Kak Angga bohong sama acara nembak tadi?
“ Iya, kakak
bohong waktu bilang kakak baru dua bulan maen bowling, maksud kakak itu baru
dua bulan make bola yang buat kelas turnamen profesional.. weeekkkkk” aku Angga
sambil tertawa puas.
Caca kesel
setengah mati mendengar kalimat yang keluar dari mulut Angga, bukan hanya
karena kesel dibohongi dari tadi, tapi lebih karena dia shock kalo aja
pernyataan perasaan tadi itu Cuma bohong..
“
Ahhhhhhhhhhhh!!!!!! Kakak ni apaaan siiihhhh????!!! Dari awal emang mau boongin
aku ya? Hah? Pura- pura engga jago? Trus yang bolanya sampe missed itu pura-
pura juga? Hah? Hah? Hah? Ngaku! Ngaku!!” kata Caca sambil memukul- mukul Angga
secara membabi buta yang ditutup dengan mencubit lengan Angga.
“
ARGGGHHHHHH!!!! Ca! sakit taukk! Aduh ampun Ca, ampun..” kata Angga memelas.
Cubitan Caca rasanya lebih pedes disbanding digigit selusin semut merah. Angga
menggosok- gosok sendiri bagian yang tadi dicubit Caca, untunglah pantai ini
sepi, jadi teriakan- teriakan tadi pasti engga ada yang denger.
“ Rasain!
Trus tadi pura- pura engga fokus juga kan?! Iya kan? Iya kan?!” kata Caca
sambil kembali memukul- mukul Angga. Namun kini Angga segera menahan kedua
tangan Caca di depan dadanya.
“ Kalo yang
itu, enggak. Karena deket kamu kakak jadi enggak konsen. Daritadi kakak nyiapin
diri untuk ini..” aku Angga yang sontak membuat Caca tersenyum dan engga jadi
marah.
“ Ada di
deket kamu bahaya juga ya, bisa kehilangan fokus permamen ntar kakak..” goda
Angga.
Caca yang
sudah mulai dingin akhirnya kembali panas mendengar hal itu, ia kembali
melayangkan pukulan kecil ke bahu Angga dengan muka masam.
“ Ciee..
yang ngambek cieeee…” goda Angga.
“ Enggak
kok.. huuuu..” jawab Caca engga terima.
“ Oh ya?”
“ Perjanjian
tadi engga sah berarti.” Kata Caca.
“ Loh, kok
gitu? Engga bisa dong.. lagian perjanjiannya toh udah selesai dilakuin. Yee..”
jawab Angga.
“ Engga
bisa, ini namanya wanprestasi..” celoteh Caca. Sepertinya ia lupa sedang
berbicara dengan siapa.
“ Ohhhh..
jadi anak kecil ini mau ngomong wanprestasi sama kakak? Coba sekarang kakak
tanya apa syarat wanprestasi?” tes Angga.
Caca
terlihat kebingungan. Aduh, salah ngomong gue!
“ A.. ahhh,
engga tau ah. Ayo pulang, anterin aku pulang..” ajak Caca.
“ Yee..
siapa yang nantangin tadi?”
Caca engga
menjawab, ia segera beranjak darisana dan berjalan ke parkiran.
“ Eh tunggu,
seniormu yang paling galak lagi nanya nih, mana boleh kamu tinggalin gini?
Sertifikatmu masi di aku tauk..” canda Angga.
Caca menoleh
sejenak ke belakang, “ Oke, kalo gitu aku tahan juga jawabanku buat kakak
tadi..” ancam balik Caca.
Mati gue!
Kini balik Angga yang kelimpungan.
“ Ehhh.. eh…
aduh.. parah ni becandanya.. Ca, tungguu..!!” kata Angga sambil berlari
mengejar Caca.
“ Makanya..
huuuu..” kata Caca saat Angga sudah berada sejajar dengan dirinya. Angga
tersenyum melihat Caca dan kembali menggandeng tangan Caca menuju tempat
kendaraan Angga.
****
Caca memarkir motornya di tempat
biasa, pagi ini kampus belum begitu ramai. Namun Caca dan teman- teman
sekelasnya memang selalu datang pagi karena dosen mereka pantang ngaret,
sebelum dosen dateng mereka harus sudah rapi duduk di kelas. Caca melangkahkan
kakinya dengan santai, saat ia sampai di gerbang kampus ia melihat Angga
tersenyum ke arahnya.
“ Pagi..”
sapa Angga ramah.
Caca
terkejut, pagi banget pacarnya ini datang, “ pagi banget kak? Ada apa?”
“ Mau ketemu
dosen pembimbing, dari beberapa hari ini batal terus tiap mau ketemu..”
Caca
menangguk mengerti, “ Oooh gitu, janjian jam berapa?”
“ Bentar
lagi, kaya engga tau dosen pembimbing aja, suka berasa paling penting..”
“ Kamu kelas
jam berapa?” tanya Angga lagi.
“ Masih
setengah jam lagi..”
“ Ayok,
kakak anter ke kelas..” tawar Angga sambil meraih tangan Caca.
Caca sontak
kaget, ini kan di kampus, kalo diliat temen- temennya Angga sama temen-
temennya dia gimana? Aduuuhh..
Dan dugaan
Caca benar, orang- orang yang sudah berada di kampus engga bisa mengalihkan
pemandangan yang aneh bin ajaib ini. Temen- temen seangkatan Caca apalagi,
melihat senior yang garangnya engga ketulungan sekarang bisa menggandeng cewek
di depan umum tanpa ada rasa canggung sedikit pun. Caca melirik ke arah,
terlihat senyuman di wajah Angga, melihat hal itu, Caca pun ikut tersenyum
karena dalam hati pun ia merasa senang dengan sikap Angga ini. Sampai di kelas
Caca, teman- temannya juga terlihat kaget, namun tidak ada yang berani bersuara
setelah melihat Angga.
“ Belajar
yang baik ya..” kata Angga.
Caca
menangguk, “ kakak juga..” balas Caca sambil tersenyum.
Dan setelah
Angga pergi dan yakin bahwa ia engga
akan kembali lagi, barulah kelas itu jadi heboh kaya pasar malem.
“ Ca! lo
sama kak Angga….” Celoteh Wawan salah satu teman sekelas Caca.
“ Beneran?
Kok bisa? Wah sejak kapan? Pajak jadian neeh..wuahahaha” tukas Indra.
“ Duduk!
Cerita!” kata Rina sambil menarik Caca untuk duduk di sebelahnya.
Caca bingung
mau jawab pertanyaan siapa, kayanya dia mesti merekam penjelasannya supaya dia
engga perlu cape- cape ngulang cerita yang sama.
“ Jadi?”
“ Baru juga
Sabtu kemaren gue jadian sama kak Angga.. heh, sebelumnya gue yang mesti minta
klarifikasi dari lo. Ada angin apa trus lo tiba- tiba pulang engga bilang-
bilang?” protes Caca.
Rina terdiam
sejenak, ia sudah pada Angga berjanji engga akan mengungkit apapun tentang
kejadian hari Sabtu kemarin.
“ Ahhh.. itu,
udah lah engga usa dibahas. Kalo gue engga pulang, emang lo bakal jadian sama
kak Angga? Hahahaha..” jawab Rina mencoba mengalihkan pembicaraan.
“ Ihhh… tapi iya juga..hehe..”
Tiba- tiba
dosen mereka datang, tapi ternyata dosen Cuma dateng untuk memberikan tugas
yang harus dikumpulkan minggu depan.
“ Aduuhh..
sukur.. jarang- jarang itu dosen engga ngajar..” kata Rina.
Caca
tersenyum membenarkan.
“Trus
lanjutin dong. Jadi selama ini kak Angga emang suka juga sama lo?”
Caca
mengangguk, “ Iya, katanya sejak surat cinta itu dia mulai perhatiin gue. Dia
kira engga akan sampai sejauh itu, tapi katanya selalu aja ada kesempatan
dimana dia selalu ketemu sama gue. Katanya dia sempet putus asa gara- gara si
Nanta yang selalu ngejar- ngejar gue engga jelas..”
“ Ooh.. jadi
karena itu kak Angga engga terang- terangan pdkt sama lo?”
“Mungkin,
gue engga nanya lebih jauh. Yang penting cintaku berbalas..hahaha..”
“ Huuu..
dasar.. eh trus dia nembaknya gimana?”
“ Rumpi ya
lo? Itu rahasia, week!”
“ Ihhhhh!!!
Belagu belagu belagu!! Masa sama gue aja pake rahasia- rahasia..”
“ Nanti gue
diskusi aja dulu sama kak Angga ya, ya siapa tau aja dia mau cerita langsung
sama lo..” goda Caca yang tau kalo Rina trauma batin sama kak Angga.
“ Apa? Aduh,
batal deh,Ca. lupain aja.. hii.. bayangin aja merinding gue..”
“ Hahahaha..
ya oloh, kak Angga tuh engga segitunya kalik.. dia itu manis.. makanya kan gue
dari awal suka sama dia.. dan gue enggak
salah..” kata Caca sambil menerawang, mengingat saat dulu sampe kemarin ia
resmi menjadi kekasih lelaki yang sangat ia kagumi.
Rina
memandang temannya itu dengan tatapan heran, “ Ya ampun. Iya deh iya, gue ikut
seneng..”segitunya ya kalo lagi jatuh cinta. Batinnya.
Caca menatap
geli sahabatnya itu, “ Eh, lo mau tau rahasia gak? Tapi beneran rahasia loh ya,
sampe ini ketauan sama orang lain selain lo.. awas!”
Rina membuka
telinganya lebar- lebar, “Elaah.. lem mana lem.. lem aja mulut gue kalo engga
percaya, huhu” Rina bĂȘte karena kredibilitasnya sebagai sahabat diragukan.
“ Hehe..”
Caca menurunkan nada suaranya.
“ Tau gak,
ternyata kak Angga masih nyimpen surat gue. Diselipin di dompetnya dia, dia
bawa tiap hari. “
“ Ha?!
Ahahahahahaha!!!” Rina tertawa ngakak.
Caca
meringis, “ Lucu?”
Rina
mengentikan tawanya, “Sori sori, Cuma engga nyangka aja. Gue aja engga
segitunya sama foto cowok gue. Tapi ini malah yang jantan yang nyimpen. Bener
kata lo, sekarang gue sedikit mengakui kalo kak Angga agak manis..” goda Rina.
Caca
tersenyum puas.
****
Dua bulan kemudian..
“ Dimana,
Ca?” tanya Angga melalui telpon. Hari ini adalah pelepasan wisudawan tingkat
fakultas. Caca sudah berjanji bahwa ia akan datang.
“ Iya udah
mau berangkat kak, kan masih setengah jam lagi..huhu..” keluh Caca.
“ He.. iya
sih, jangan telat ya,,”
Caca tersenyum
sambil mengakhiri perbincangan via telponnya.
Dua puluh
menit kemudian Caca sampai di kampus. Terlihat telah ramai mobil yang pastinya
berisi seniornya yang akan diwisuda dan orang tua masing- masing.
Caca
melangkah kedalam aula, mencari keberadaan kekasihnya. Tapi kalo liat jam,
engga mungkin Angga masih bisa mondar- mandir, dia pasti udah duduk di bangku
depan. Dan benar, langkah Caca terhenti setelah ada yang memanggil sayup
namanya.
“Ca..” sapa
sebuah suara yang hangat. Ibunya Angga.
Caca tersenyum
lalu duduk di sebelah papa dan mama Angga.
Selama
acara, Caca memperhatikan Angga dengan seksama terutama saat ia menyampaikan
pidato mewakili teman- temannya yang lain yang akan diwisuda besok. Angga
terpilih menjadi perwakilan mahasiswa berkat keaktifannya selama ini, Angga
tersenyum lega di depan saat ia mendapati ternyata Caca telah datang.
Setelah
acara selesai, Angga segera menghampiri Caca dan kedua orang tuanya.
“ Selamet
ya, sayang..” ucap mamanya.
“ Akhirnya
papa punya anak sarjana juga..” ledek papanya.
“ Pah, aku
engga kuliah selama itu ya..” ujar Angga membela diri.
Caca tertawa
kecil mendengar perkataan papanya Angga. Angga lalu menoleh ke arah Caca
sejenak lalu beralih ke mamanya.
“ Mah.. coba
liat, acara penting kaya gini dia bisa telat. Coba bayangin..” kata Angga
sambil menatap kesal Caca.
Caca engga
kalah kesal karena dituduh telat, menurutnya dia engga telat.
“ Loh, tadi
aku kesini belum mulai kok. Kakak aja yang uda duluan di depan.. huhu..”
“ Iya. Caca
engga telat kok, tadi mama yang suruh dia duduk disini. Masih untung dia mau
sempit- sempitan gini duduknya,,”
Caca
menjulurkan lidahnya sambil tersenyum puas.
“ Kak, aku
mau kesana dulu ya. Nanti aku cari kakak lagi. Tante, om..” pamit Caca setelah
melihat seorang teman sekelompoknya.
Angga
mengangguk sambil melanjutkan perbincangan dengan orang tuanya.
“ No,! “
Caca setengah berteriak agar temannya itu engga keburu pergi.
“ Eh, Caca..
baru aja mau sms lo..”
“ Iya,
gimana tugasnya? Udah nyampe belon emailnya?”
“Udah, Cuma
masih belum sempet edit lagi..he”
“Aduh..
jangan bikin was-was gue dong, gue engga mau kalo sampe itu tugas engga
selesai.”
“ Iyaaa..
tenang aja. Gue udah berubah dari bocah Bengal ke bocah alim..” jelas Nino.
“ Oya?
Buktiin, gue engga butuh janji..” goda Caca.
“ Eh, Iya,
mumpung ketemu, sekalian deh gue tanya tugas Pancasila buat selasa besok. “
“ Hmm.. kasi
tau engga ya..” goda Nino.
“ Aaaa..
ayolaaahh… gue engga punya buku. Mau beli kan nanggung, toh bentar lagi UAS. “
pinta Caca sambil meraih tangan Nino.
“ Makanya,
udah dikasi tau sama dosen suruh beli buku eh malah engga beli.. salajh siapa
kalo udah gini?”
“ Gue..
makanya.. yaa???”
“Iya
iyaaaaa.. gampang…” kata Nino sambil mengusap- usap kepala Caca.
Caca lega
mendengarnya. Paling engga dia tidak perlu membeli buku yang mungkin hanya
tinggal dua kali pakai.
Dari jauh
ternyata Angga melihat tindakan yang dilakukan Caca dan Nino. Ia nampaknya
salah paham akan cara berkomunikasi antar Caca dan Nino yang seolah selalu
melibatkan aktivitas fisik. Angga pun bergegas kesana dan menarik tangan Caca,
membuat Nino tercengang.
Di tengah
jalan Caca melepaskan tangannya dari Angga sekuat tenaga.
“ Angga!”
Caca meneriakkan nama kekasihnya itu. Hanya itu cara yang bisa dilakukannya
agar kekasihnya itu mau mendengarkannya.
Angga
terbelalak, ia terkejut dengan ekspresi Caca, “ Apa barusan?” kata Angga sambil
melepaskan genggamannya.
“ Kakak
engga akan lepasin aku kalo aku engga kaya gitu. Iya kan? Kenapa sih kak?” Caca
melembut.
“ Siapa dia?
Yang tadi kamu ajak omong.”
“ Itu temen,
namanya Nino.”
“ Temen apa?
Kenapa aku engga pernah tau? Deket banget sama dia?”
Caca mulai
bingung menanggapi pertanyaan Angga.
“ Sekelas.
Tadi ngomongin tugas sama aku mau pinjem buku.” Jawab Caca.
“ Oya? Mesti
dia sampe megang- megang kepalamu trus kamu narik- narik tangannya?”
Caca
mengernyitkan dahi, mulai tidak suka dengan intimidasi Angga yang menurutnya
berlebihan. Tapi ia coba sabar.
“ Apa? Kak,
dia Cuma temen. Apa buat kakak itu engga wajar?”
“ Enggak!
Sama sekali engga wajar! Engga usah temenan sama dia lagi..” bentak Angga.
Caca
terbelalak. Hal apa yang baru saja dikatakan lelaki di depannya ini? Bukankah
ini telah berlebihan?
“ Emang
kakak anggep aku ini apa? Kenapa kakak berhak ngebatasin aku mesti temenan ato
engga temenan sama siapa? Aku lebih dulu kenal dia daripada kakak..”
“ Jadi kamu
lebih mentingin dia daripada perasaanku?”
“ Kakak yang
mesti ngerti sama perasaan kakak sendiri!” gertak Caca sambil pergi
meninggalkan Angga. Ia menangis karena kecewa dengan sikap Angga yang begitu
egois dan tempramen. Ia menyangka bahwa perlahan Angga bisa menjadi seseorang
yang lebih pengertian meski untuk hal yang kecil. Tapi ternyata ia tidak bisa
berubah.
Sampai di
rumah, Caca langsung ke kamar, mengganti pakaian dengan jengkel dan sedih. Ia
mengabaikan semua panggilan dan sms yang datang dari Angga. Ia hanya terlalu
kecewa dengan kata- kata Angga tadi, ia merasa bahwa Angga meragukan
kesetiaannya.
“ Tok..
tok..tok..” seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“ Siapa?”
“ Mama..
mandi sana, udah sore gini. Daritadi engga keluar kamar. Kamu kenapa sih? Ada
masalah?”
“ Iya ada.
Aku males mandi, ma. Nanti aja..”
“ Eh, mandi
gih. Itu ada tamu..”
Caca kaget,
siapa?
“ Siapa,ma?
Kalo Angga, aku engga mau.”
“ Bukan..
Rina..”
Caca
mendesah lega. “ Oh.. iya ma. Aku langsung ketemu aja. Engga usah mandi. Toh
Cuma Rina..” balas Caca sambil merapikan rambutnya.
Sampai di
teras rumah, betapa kagetnya ternyata yang menunggunya bukanlah Rina, melainkan
Angga!
“ Loh,
katanya Rina, kok?” bisik Rina yang bisa didengar oleh Angga.
“ Tadi,
kakak yang minta mamamu buat bilang kalo Rina yang dateng. Soalnya kakak tau
kalo mamamu bilang kakak yang dateng kamu engga akan mau ketemu..” jawab Angga
sambil tersenyum.
Caca tidak
membalas senyuman itu. Ia masih kesal dengan sikap Angga tadi dan sekarang yang
dengan tiba- tiba datang ke rumahnya.
“ Tadi lagi
tidur ya? Kok engga angkat telpon?” tanya Angga perlahan.
Caca hanya
menghela nafas. Malas menjawab, jelas Angga tau kenapa ia sampai hati tidak
mengangkat telponnya yang berkali- kali itu.
“ Kakak
salah tadi. Kakak minta maaf..” ucap Angga tulus.
Caca menatap
Angga sekarang, tanpa kata.
“ Kakak
engga tau kenapa, mungkin karena sifat kakak, kakak engga bisa liat kamu kaya
gitu sama orang lain, meski itu temen kamu ato sodara sepupu kamu sekalipun.
Maaf, itu egois banget. Kakak paham kalo kamu engga suka sama sikap kakak yang
kaya gitu..”
Caca kembali
menghela nafas, ia tidak sampai hati membiarkan Angga terus merasa bersalah
atas hal yang tidak perlu diperpanjang lagi.
“ Setelah
aku pikirin tadi, aku ngerti kak. Tapi, engga bisa kalo kakak percaya sama aku?
Apa sesulit itu untuk percaya kalo aku engga akan jadi seperti apapun yang ada
di pikiran kakak..”
“ Aku marah
bukan karena tempramen kakak yang suka naik tiba- tiba, tapi lebih karena aku
sedih kalo kakak engga bisa percaya sama aku. Aku tuh engga main- main sama
kakak.” Jelas Caca.
Angga
tertegun, semakin menyadari kesalahannya. Ia sama sekali tidak menyangka
sikapnya akan membuat Caca begitu sedih dan kecewa akan dirinya.
“ Maafin
kakak, Ca. tolong maafin kakak..”
Caca meraih
tangan Angga, menatapnya penuh kasih, “ Bukan masalah besar kak, ini Cuma salah
paham yang biasa dialamin sama pasangan.. engga papa kok. Udah lewat..” jawab
Caca sambil tersenyum.
Angga
menatap Caca dalam- dalam, mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang baru
saja ia pelajari dari Caca, tentang kepercayaan.
“ Ngomong-
ngomong tadi ada tugas kelompok apa?” tanya Angga.
“ Hmm..
kesehatan. Trus aku mau pinjem buku Pancasila sama dia.”
“ Pancasila?
Yang cover merah itu?” tanya Angga.
Caca
mengangguk, “ Emang sama ya bukunya? Kakak ada?”
“ Hmm.. ada.
Pinjem sama kakak aja..” kata Angga.
Caca menatap
Angga, meilhat kalo aja ada aura engga suka karena dia mau pinjem buku sama
Nino.
“ Bukan
karena aku engga suka kamu pinjem buku sama dia, tapi..”
“ Iya
kakak.. hehe. Pengin aja ngetes kakak..” kata Caca sambil menjulurkan lidah.
Angga pun
tersenyum sambil memeluk tubuh Caca.