Total Tayangan Halaman

Jumat, 01 Februari 2013

naega ireoke andwae? (i'll stand by you)


                Dhera menginjak gas mobilnya lebih dalam lagi, waktu menunjukkan pukul lima pagi di hari pertama tahun 2013. Ia menoleh ke jok di sebelah kirinya, Ferdi, kekasihnya tengah tertidur pulas. Dhera yang menawarkan dirinya untuk menjadi ‘supir pengganti’ sampai Dhera tiba di rumahnya di kawasan Cibubur. Menghabiskan waktu bersama dengan teman- teman sembari merayakan datangnya tahun baru bersama kekasih sangat dinikmati Dhera juga Ferdi, namun tidak bisa dipungkiri Ferdi pun lelah karena harus menempuh perjalanan yang jauh, Dhera tersenyum melihat Ferdi yang masih dapat tertidur pulas meski Dhera meliuk- liuk memecah sepinya jalan. Sesampainya di dalam rumah Dhera, ia menggenggam tangan kekasihnya untuk membangunkannya.
“ hmmm… udah sampe?” Ferdi masih belum membuka matanya.
“ udah..”
Ferdi segera membuka safety belt-nya lalu membuka pintu mobilnya untuk melanjutkan perjalanan pulang.
“ eh.. kamu pulang sekarang?”
Ferdi mengangguk, senyum mulai dapat terutas di wajah kuyunya.
“ jangan.. tidur sini aja dulu sama Rangga..”
“ aduh jangan deh, aku pengin cepetan pulang, pengin mandi sama ganti baju..”
“ tapi kamu ngantuk, Fer,,” kata Dhera kuatir.
Ferdi tetap menggeleng, “ tadi kan udah sempet tidur dari puncak sampe sini..” kata Ferdi menenangkan kekasihnya itu.
Dhera menyerah, percuma saja mendebat kemauan Ferdi, “ kamu yakin?”
“ iya.. nanti kalo aku ngantuk, biar aku ke rest area aja istirahat,”
Dhera mulai tenang, mudah- mudahan Ferdi benar- benar melakukan apa yang ia katakan.
“ ati- ati ya..” kata Dhera sambil memberikan kunci mobil BMW itu kepada sang empunya.
“ oke, nanti aku telpon…” kata Ferdi sembari mengenakan sabuk pengamannya.
****
                Setengah jam setelah perjalanan, Ferdi memasuki wilayah Tol Jagorawi, Ferdi mempertajam pandangannya dan mengurangi kecepatan mobilnya sampai dengan batas minimum kecepatan yang diperbolehkan di jalan tol. Tiba- tiba ponselnya berbunyi, telpon dari Dhera. Ferdi memasang earphonenya.
“ halo,,” sapa Ferdi.
“ dimana?”
“ KM 17..” jawab Ferdi singkat. Ia tidak terlalu suka menerima telpon saat di jalan, tapi ia tau Dhera akan terus menelponnya sampai ia mengangkatnya kalau sudah keadaan seperti ini.
“ istirahat dulu gih, sayang..”
“ iya ini maunya, dua kilo lagi..” kata Ferdi sambil melihat papan jalan yang menunjukkan rest area, pompa bensin, dan fasilitas umum lainnya.
“ ati- ati ya,, jangan tidur..” Ferdi mengiyakan lalu memutus sambungan telponnya. Sebenarnya untung Dhera menelpon, hampir saja Ferdi kehilangan kesadarannya, ia benar- benar masih ngantuk.
REST AREA
500 M
Ferdi kembali melihat plang jalan itu, kepalanya kini semakin berat karena mengantuk. Ia menambah kecepatan mobilnya sampai 100KM/ jam dengan asumsi cepat sampai ke rest area. Dengan kepala yang sudah sangat pening, pandangan matanya perlahan kabur, sepersekian detik matanya terpejam dan

BLAAAARRRRRRRRRRRRR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Detik berikutnya tubuh Ferdi telah tertopang oleh air bag yang memang dirancang untuk mengembang bila terjadi benturan keras pada mobil dengan tujuan melindungi pengemudi serta penumpang di samping pengemudi.

Kini mata Ferdi terbuka lebar sepenuhnya, jantungnya berdebar cepat, rasa kalut segera menyerang benaknya.

Apa yang baru saja terjadi????

Dengan sisa kekuatannya Ferdi keluar dari mobil, keadaan diluar kacau.

Kini Ferdi sadar bahwa karena kelalaiannya ia telah mengakibatkan kecelakaan yang sangat fatal.

Empat orang korban terpental keluar mobil L-300 yang ditabrak oleh Ferdi. Daun pintu penumpang L-300 itu bahkan sampai terlepas.

Ferdi semakin kalut melihat korban yang tergeletak tidak berdaya di jalan, ia segera berusaha menolong korban yang ia tabrak.

Diantara korban bahkan ada yang tengah sekarat, terjadi pendarahan hebat di kepalanya. Ia tau bila tidak segera ditangani, orang ini bisa meninggal dunia.

Sementara itu Ferdi menggendong bayi yang terlepas dari ibunya, bayi itu hampir saja terlindas oleh kendaraan yang melintas.

Tiba- tiba seseorang datang menghampirinya, “ lo kenapa?” tanya orang itu.

“ gue nabrak.. gue salah..”
“ Sini SIM lo..”
Ferdi pergi ke mobilnya untuk mengambil SIMnya lalu memberikan kepada orang tersebut.
Melihat Ferdi yang terlihat sangat menyesal dan terpukul serta tidak melarikan diri, orang tersebut melunak.
“ gue Aldo, kenapa bisa sampe nabrak gini?”
Ferdi terlihat terpukul, “Ferdi.  gue ngantuk banget..”
Aldo geleng- geleng kepala, namun ia tau saat ini tidak harusnya menyalahkan Ferdi. Masih ada korban yang harus diselamatkan. Aldo pun segera menelpon PT Jasa Marga dan Polsek setempat serta Ambulance.
Lima belas menit kemudian bala bantuan datang, Aldo menyerahkan SIM milik Ferdi kepada yang berwajib, sementara Ferdi masih bingung kesana kemari tidak tau apa yang harus ia lakukan, Aldo menghampirinya.
“ udah.. bantuan udah dateng. Mending kita duduk aja, sekalian lo inget- inget apa yang terjadi.”
Ferdi duduk, namun ia tentu masih shock akan apa yang menimpanya, berkali- kali Ferdi hanya mampu menghela nafas panjang sambil membenamkan mukanya ke dalam kedua tangannya.

****

                Waktu menunjukkan pukul delapan pagi, Dhera terbangun oleh suara ketukan kamar mamanya.
“ apaan sih, Ma?”
Wajah mama Dhera terlihat pucat, ia ragu harus memberi tau hal ini atau tidak.
Dhera bangun dari tempat tidurnya, “ kenapa ma?”
Mama diam saja lalu mengambil remote TV kamar Dhera, mama segera mengganti ke channel berita.
“ Ferdiansyah Nazril, anak bungsu dari Menteri Pertahanan Ardiansyah Nazril, pagi ini dipastikan terlibat kecelakaan lalu lintas di jalur maut tol Jagorawi pada pukul enam pagi waktu Indonesia bagian barat. Dari kecelakaan ini, dua orang resmi dinyatakan tewas dan salah satu diantaranya adalah seorang bayi berusia 1,5 tahun. Sampai berita ini diturunkan, Ferdiansyah masih dalam keadaan shock akibat kecelakaan yang disebabkan olehnya.”
Dhera tercengang melihat tayangan berita itu, ia melihat handphonenya yang tadi ia pakai menelpon Ferdi dan mengingatkan dia untuk beristirahat sebentar. Dhera menatap mamanya bingung, mamanya pun tidak kalah bingungnya akan hal ini.
Dhera coba menelpon Ferdi, namun tidak diangkat. Entah bagaimana dan dimana Ferdi sekarang.
Ia kembali coba menghubungi mamanya Ferdi, namun niat itu urung dilakukan saat ia melihat live press conference oleh ayah Ferdi sendiri.
pagi ini, anak saya, Ferdiansyah Nazril telah terlibat dalam kecelaakaan yang menewaskan dua orang. Saya mewakili anak saya menyatakan maaf yang sebesar- besarnya kepada keluarga korban yang ditinggalkan, serta berjanji akan memberikan santunan yang layak bagi keluarga korban.”
Ayah Ferdi, meskipun pejabat publik yang telah terbiasa dengan keadaan media massa, tetap saja terisak untuk menjelaskan kenyataan tersebut.
saat ini, anak saya sedang dirawat di rumah sakit pondok indah untuk menjalani beberapa tes. Proses hukum terhadapnya akan dilaksanakan tepat setelah kondisi Ferdi membaik. Saya ucapkan maaf kepada seluruh pihak terkait akan kejadian ini..”
Air mata jatuh ke pipi Dhera, sosok ayah Ferdi yang biasanya penuh senyuman, begitu juga dengan wajah tante yang selalu ayu dengan makeup naturalnya pagi ini terlihat begitu terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang coba mereka urai kepada awak media. Sungguh Dhera bersedih akan keadaan ini.
Andai saja Ferdi mendengarkannya tadi, batinnya penuh penyesalan.

****

                Ferdi menjalani serangkaian tes bersama kakaknya. Ia harus menjalani pemeriksaan seperti tes urine, CT- Scan hingga MRI untuk memastikan bagaimana keadaa tubuhnya. Ferdi yang ditemani oleh Lea kakaknya mengikuti tes- tes itu dalam diam, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya meski kakaknya mencoba untuk bertanya atau mencoba menenangkan adiknya ini. setiap pertanyaan kakaknya hanya dijawab Ferdi dengan anggukan, gelengan, atau helaan nafas panjang. Ferdi masih terngiang korban- korban yang tidak sempat ia selamatkan, korban yang bahkan telah tewas akibat kelalaiannya. Ia cemas, lebih dari yang orang lain bisa bayangkan. Psikiater pun didatangkan khusus untuk memeriksa keadaan Ferdi, dari keterangan psikiater, Ferdi sedang mengalami goncangan jiwa akibat peristiwa ini. belum dapat diketahui seberapa hebat goncangan itu karena Ferdi tidak mengungkapkan itu baik dalam kata- kata maupun tindakannya. Hanya raut wajahnya saja yang sedikit bisa memberikan petunjuk akan keadaan batin Ferdi saat ini.
                Sementara di halaman rumah sakit telah banyak pencari berita yang menunggu Ferdi ataupun keluarganya untuk memberikan pernyataan. Dibalik kerumunan itu, Dhera berjalan diantaraya, ia memutuskan untuk mencari tau sendiri keadaan kekasihnya itu. ia tidak tahan mendengar berita simpang siur di TV.
“ wartawan- wartawan ini kaya lalat.. selalu berkerubung di hal yang sama..” gumam Dhera seraya melewati awak media yang dengan terbuka memberi jalan pada gadis yang mereka tidak ketahui siapa. Sampai di dalam, ia bertanya kepada resepsionis di kamar berapa Ferdi dirawat, namun pihak rumah sakit rupanya tidak bersedia memberitahukan atas permintaan eksklusif pihak keluarga, ia hanya diberi informasi bahwa Ferdi ada di ruangan President Suite.
Mendengar pernyataan itu, Dhera seolah tersadar, of course, sejenak ia lupa siapa Ferdi.
Dhera tidak memaksa lagi, ia berjalan dengan langkah gontai karena gagal melihat keadaan Ferdi. Namun saat ia akan duduk di lobi depan, seseorang menyapanya.
“ Dhera..” suara mama Ferdi memanggil dengan lirih. Dhera menatap mama Ferdi dengan penuh haru, wajah mama Ferdi sangat kacau berantakan. Dhera memeluk mama Ferdi.
Pelukan itu disambut dengan isak tangis mama Ferdi, sejak tadi ia tidak dapat meluapkan emosinya. Bagaimanapun ia harus terlihat kuat paling tidak di hadapan suaminya yang saat ini tidak kalah terguncangnya dengannya. Mama Ferdi mengajak Dhera untuk mengobrol di Lounge VVIP rumah sakit agar awak media tidak dapat melihat mereka.
“ kenapa bisa gini, Dhera.. tante bener- bener sedih.. tante kasian sekali sama Ferdi.”
Dhera semakin penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi pada Ferdi.
“ tante, Ferdi luka berat juga?” tanya Dhera, namun mama Ferdi tidak menjawab.
“ Ferdi,. Anakkku.. Ferdi…” tangis tante semakin menjadi. Dhera semakin bersedih melihat mama Ferdi seperti itu, air mata ikut membasahi pipinya. Perlahan keluar kata- kata dari mulut Dhera.
“ Dhera salah tante, Dhera salah..”
Tante menatap Dhera dengan mata sembabnya..
“ coba aja Dhera paksa Ferdi lebih keras tinggal di rumah, pasti semua ini engga akan terjadi..” Dhera berkata demikian sambil menggenggam erat tangan mama Ferdi.
Mama Ferdi sempat tertegun mendengar pernyataan Dhera, namun ia tau itu semua tidak mampu mengubah kenyataan yang sudah terjadi.
Beberapa saat kemudian, ayah Ferdi datang mendatangi mereka berdua. Ayah Ferdi berusaha membentuk senyum di bibirnya yang mulai terlihat mengeriput. Dhera langsung berdiri menyambut kedatangan ayah Ferdi.
“ Oomm..” Dhera menundukkan kepalanya.
Ayah Ferdi tersenyum sambil memegang pundak Dhera dengan tangannya yang hangat meski kini beban yang sangat berat ditanggung oleh tangan itu.
“ oom yakin kamu kesini mau ketemu Ferdi..”
Dhera menatap ayah Ferdi dengan penuh kesungguhan, untuk saat ini, melihat keadaan Ferdi satu- satunya hal yang bisa membuatnya tenang. Maka ayah Ferdi pun membawa Dhera ke kamar Ferdi, kedatangan mereka bersamaan dengan Lea yang hendak ke kantin membeli makanan. Ayah Ferdi mengisyaratkan kepada Lea untuk pergi ke kantin bersamanya dan memberi kesempatan pada Dhera untuk melihat kondisi Ferdi.
Ia  membuka pintu kamar Ferdi perlahan- lahan, ia tidak berniat untuk berbicara dengan Ferdi. Lagipula apa yang harus ia katakana pada Ferdi? Ia tidak ingin lebih membebani Ferdi dengan kesedihan dan penyesalannya. Kamar Ferdi di rumah sakit terbagi atas dua sekat besar, ruangan pertama adalah tempat para pembesuk yang datang, hanya dibatasi tembok, adalah tempat Ferdi beristirahat serta menjalani perawatan sambil ditemani televisi.
Dhera mencoba melihat Ferdi lewat tembok pemisah ruangan, ia melihat Ferdi sedang makan siang sambil menonton televisi. Dhera tersenyum lega melihat tidak ada perban sehelaipun yang membalut tubuh Ferdi, ia terus memperhatikan Ferdi dari ujung rambut sampai jarak yang bisa ia tangkap dari balik tembok. Dhera mengernyitkan dahi saat melihat Ferdi meletakkan sendok makannya dan berhenti makan, mata Ferdi terpaku pada televisi di depannya.
Di TV sedang ditayangkan berita mengenai korban tewas akibat kecelakaan yang menimpa mobil L-300 yang dikendarai oleh Ferdi. Tatapan mata kosong Ferdi menunjukkan betapa perih hatinya melihat nyawa orang lain melayang akibat dirinya. Dhera mampu mengartikan tatapan itu, ia merasakan perih yang Ferdi rasakan hanya melalui tatapannya. Tanpa sadar Dhera meneteskan air mata, tak sengaja ia terisak. Dhera kaget, tidak menyangka ia terisak dan menimbulkan suara. Ia menutup mulutnya berharap Ferdi tidak mendengarnya.
Tetapi Ferdi mengecilkan volume TVnya, ia menoleh ke sumber suara. Dhera cepat- cepat menarik dirinya ke balik tembok untuk menyembunyikan dirinya. Ia tidak siap bertemu dengan Ferdi sekarang, ia tidak boleh seperti ini bila ingin Ferdi melihatnya. Dhera panik setengah mati kalau Ferdi sampai tau ia disini, ia tidak tau apa yang harus dipebuat karena tidak ada ruang baginya untuk bersembunyi lagi kalau saja Ferdi melewati tembok ini, ia hanya berharap- harap cemas.
Namun ternyata Ferdi benar tidak menyadari adanya kehadiran orang lain di kamarnya, Ferdi malah masuk ke kamar mandi. Kesempatan ini digunakan Dhera untuk pergi meninggalkan kamar Ferdi. Sebelum pergi ia menatap tempat tidur Ferdi yang kosong dan berita yang masih menayangkan berita tentang kekasihnya itu, sementara air mata terus mengalir dari pelupuk matanya. Dalam perjalanan pulangnya, Dhera terus menangis melihat kondisi Ferdi yang harus bersembunyi dan menghadapi kenyataan mengerikan ini, bukan hanya merenggut nyawa orang lain, namun hukuman penjara sudah menantinya di depan mata. Dhera menghapus air matanya saat sampai di rumah.
“ Dhera, gimana keadaan Ferdy?” tanya mamanya.
Dhera hanya menggeleng lemah, ia tidak ingin banyak bicara saat ini.
Mama menatap papanya Dhera, mereka berdua menghela nafas dalam, merasa ikut bersedih akan peristiwa ini.
“ padahal Ferdy itu anak baik ya pah, tapi harus terjebak dalam situasi kaya gini..”
“ iya, kasian dia.. mudah- mudahan dia kuat sama proses yang akan panjang ini..”
Dhera mendengarnya dari dapur, ia cemas mendengar kata ‘proses panjang’. Ia meletakkan gelasnya lalu ke kamar.
                Sementara di kamar rumah sakit, Ferdi sedang termenung sambil sesekali menengok ke halaman rumah sakit. Media sudah mulai sepi sekarang, pemberitaan di televisi juga sudah mulai berganti dengan sinetron atau acara talkshow. Ia menghela nafas panjang, tak bisa hilang dari pandangan matanya kecelakaan naas yang diakibatkannya, namun setiap kali ia mengingat hal itu mendadak kepalanya sakit, ia tidak bisa mengingat detail yang terjadi hari itu, hanya lewat berita ia bisa tau apa yang terjadi. Hal ini membuat Ferdi stress, karena setiap stasiun TV memiliki versi yang berbeda. Ayah dan ibunya sedang mengunjungi keluarga korban, kini ia tau salah satu alasan kenapa tidak ada wartawan di sini, pasti mereka sedang memburu ayahnya sekarang. Karena dia, ayahnya yang harus terkena imbasnya, Ferdi marah pada dirinya sendiri karena ayahnya harus terkena imbas buruk akan kelalaiannya. Bayangan Dhera muncul di benaknya, sesekali Ferdi ingin Dhera berada di sampingnya saat ini, bersamanya melewati masa sulit ini. namun sekali waktu lagi, Ferdi menganggap bahwa lebih baik Dhera menjauh darinya, tidak perlu tau bagaimana keadaannya, karena bukan tidak mungkin Dhera akan terkena imbas dari kasus ini. ia tidak ingin itu terjadi, kalau pun bisa, ia ingin hanya dirinya saja yang harus menanggung malu, beban, serta hukuman atas perbuatannya.

****

                “ tok tok tok..” pagi- pagi pintu kamar Ferdi berbunyi, suster biasanya pada jam 6 pagi datang untuk mengecek kondisinya. Ferdi tidak menjawab apa- apa, biasanya suster langsung masuk tanpa harus dipersilahkan lebih dulu, Ferdi kembali memejamkan matanya.. beberapa lama kemudian, suster tidak kunjung memeriksa kondisinya, malah suara berisik tas plastik yang ia dengar. Ferdi pun membuka matanya dan kaget melihat sosok yang mendatanginya pagi- pagi begini.
“ Dhera?” Ferdi kaget setengah mati melihat Dhera ada di samping tempat tidurnya, sibuk merapikan barang bawaannya.
“ Dhera?” Ferdi kembali memanggilnya, memastikan kalau itu bukan mimpi. Karena baru semalam ia memikirkan kekasihnya ini.
“ apa?” jawab Dhera pada akhirnya dengan seutas senyum lebar di bibirnya. Ia senang sekali Ferdi mau berbicara dengannya. Keterangan yang ia dapat, Ferdi amat sulit diajak berkomunikasi.
“ kamu kok disini?”
Dhera mengangkat bahunya, “ aku dateng kesini pagi- pagi supaya engga ada lalat- lalat yang keburu dateng..”
“ lalat?” tanya Ferdi yang kurang mengerti tentang peristilahan Dhera untuk media. Dhera hanya mengangguk sambil kembali mengurai senyum.
“ kamu engga papa kesini?”
“ kenapa?”
“ yah.. soalnya kan..” Ferdi bingung harus jawab apa.
“ aku mikirin dua kemungkinan hal yang bisa aku lakuin. Aku mau dateng kesini, ato aku engga dateng kesini ketemu kamu.” Dhera kini menatap Ferdi lekat- lekat.
“ setelah aku timbang- timbang, lebih berat buatku untuk engga dateng kesini.. lebih berat buatku ngeliat fotomu di TV, aku bertanya- tanya ‘ apa yang lagi dilakuin sama orang di dalem foto itu ya?’.. jadi aku dateng kesini..”
Ferdi tersenyum mendengar jawaban kekasihnya yang tidak mengada- ada itu, pertama kalinya setelah beberapa hari ini ia merasakan perasaannya hangat. Hangat melihat senyum di wajah Dhera.
“ coffee?” Dhera menawarkan satu cup Cappucino yang masih hangat. Ferdi meraih kopi itu, mereka menikmati pagi itu berdua saja.
                Malam sebelumnya, mama Dhera mengetuk pintu kamarnya. Setelah dibujuk, Dhera menceritakan keadaan Ferdi saat ini, hanya bagian yang dapat ia tangkap dari pertemuan sepintasnya tadi.
“ ma..”
“ ya?”
“ menurut mama, Dhera harus dateng ke rumah sakit sekarang tanpa peduli Ferdi mau ketemu Dhera apa engga, atau haruskah Dhera nunggu sampe saat yang tepat? Meskipun Dhera engga tau kapan itu ‘saat yang tepat’..” Dhera menghela nafas.
“ Dhera takut ma, Dhera bingung.. Dhera takut apa yang akan Dhera lakuin malah bikin Ferdi semakin parah kondisinya. Dhera takut kalo tiap Ferdi liat Dhera, dia bakal nyalahin dirinya sendiri, Dhera takut kehadiran Dhera disampingnya malah bikin dia tetap trauma.. tapi di lain sisi Dhera engga tega ngeliat dia sendirian gitu.. gimana kalo dia engga mau makan, gimana kalo dia engga minum obat..” Dhera meneteskan air matanya.
“ sayang.. coba kamu posisikan dirimu di posisinya Ferdi. Dia baru aja terlibat kecelakaan yang gak terduga- duga, coba kamu bayangkan rasa bersalah dan penyesalan dalam yang dia rasakan. Tapi bayangkan dia bahkan engga bisa mengungkapkan itu ke siapa- siapa. Orang tuanya sibuk mengurus kasus ini, seperti yang kamu liat, dia sendirian disana. Apa yang paling dia perlukan sekarang adalah teman untuk diajak ngobrol, yang bisa membuat dia merasa bahwa dia tidak sendiri menghadapi cobaan ini. kalau kamu merasa punya tanggung jawab itu, jangan ragu untuk melakukannya. Kalo dia emang engga mau ketemu kamu, toh kamu tinggal pulang aja, tapi apa kamu pernah tau apakah dia engga pengin ato malah pengin banget ada kamu disisinya? Gimana kalo kamu menjadi satu- satunya harapannya sekarang? Kamu masih mau disini nebak- nebak keinginan hatinya Ferdi?” terang mamanya.
Kata- kata mamanya membuat Dhera tersadar, bahwa benar ia tidak bisa hanya berdiam diri disini. Ia harus dan akan berada di samping Ferdi, sampai kapanpun ia sanggup.
                Kembali ke rumah sakit, Ferdi dan Dhera menikmati kebersamaan mereka dengan mengobrol membicarakan hal- hal yang menyenangkan. Ferdi mengatakan bahwa ia mungkin tidak bisa kembali sekolah di London dalam waktu dekat, ia harus memberi tau Frank, teman asramanya untuk merawat hamster kesayangannya lebih lama lagi. Tiba- tiba pintu kamar terbuka, papa Ferdi datang, Ferdi langsung membenahi posisi duduknya, Dhera langsung meninggalkan ruangan, memberikan waktu kepada ayah dan anak itu.
“ pah..” Ferdi menyapa sosok yang sangat dihormati dan dibanggakannya seumur hidupnya.
Di wajah lelahnya, ayah Ferdi tetap dapat tersenyum pada anak lelaki satu- satunya ini.
“ kemarin papa sama mama udah datang ke keluarga korban, intinya mereka ikhlas akan hal ini..”
Ferdi menunduk dalam, kenapa harus papanya yang minta maaf atas kesalahannya.
“ pa.. Ferdi minta maaf, Ferdi tau dengan minta maaf engga akan mengubah apapun. Tapi paling enggak, papa tau kalo Ferdi nyesel. Ferdi engga akan minta papa ngapa- ngapain, Ferdi akan tanggung jawab..”
Ayah Ferdi menatap wajah anaknya, wajah anak yang begitu ia sayangi. Wajah yang ia tidak inginkan tergores bahkan sedikitpun. Kini wajah itu begitu kuyu, begitu pucat.. hatinya begitu terluka melihatnya.
“ Ferdi minta maaf pa, karena Ferdi, papa harus juga mengambil kesalahan Ferdi. Maaf kalo Ferdi nyusahin papa, nyusahin mama..”
“ Fer, kamu inget dulu waktu SD papa pernah ke sekolahmu karena kamu habis mukul temenmu yang jelek- jelekin papa?”
Ferdi mengangguk,
“ waktu itu kamu salah, salahmu karena kamu mukul oran sembarangan. Kamu tau engga baik. Tapi waktu itu papa bilang kalo wajar seorang anak marah saat orang tuanya dijelek- jelekkan. Sekarang ini pun sama, dan kamu tau betul kamu harus bertanggung jawab. Tapi percayalah nak, papa engga akan berhenti melindungi kamu, sama seperti dulu. Apapun yang harus kamu lalui, papa akan berjalan sama kamu sampai akhir..”
Perkataan ayahnya membuat Ferdi semakin kuat, semakin banyak orang yang menopangnya sekarang. Ia tau ia harus segera bersiap diri, karena perkataan papanya barusan juga merupakan tanda bahwa proses pemeriksaan atas dirinya akan segera berlangsung.

****

                “ proses penyelidikan akan dilaksanakan tiga hari lagi..”
Dhera terbelalak mendengar pernyataan dari mulut ayah Ferdi ini.
“ pah! Kenapa papa mesti lakuin ini sama Ferdi? Papa orang yang mestinya paling mengerti dengan kondisi anak kita sekarang..” protes mama Ferdi.
“ ma, kalo kita menunda proses pemeriksaan lebih lama lagi, tekanan semakin besar malah akan Ferdi rasakan. Setiap hari yang dia saksikan Cuma berita- berita yang menyudutkan posisinya. Dia harus angkat bicara..”
“ mama tau, tapi bukan sekarang. Bukan tiga hari lagi.. tim dokter bahkan bilang waktu sebulan belum tentu cukup menyembuhkan traumanya dia. Apa papa tega maksa Ferdi untuk ke kantor polisi?”
“ apa yang papa coba lakuin adalah untuk melindungi dia, kalo papa, papa bisa tahan sama hujatan atau protes yang ditujukan ke papa. Tapi kalo untuk Ferdi, papa engga kuat menahan ini lebih lama.. membawa Ferdi ke kantor polisi adalah satu- satunya cara untuk membuat Ferdi lebih kuat dan bisa menerima keadaannya. Bagaimanapun, tiga hari lagi Ferdi akan siap ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan.”
Ayah Ferdi meninggalkan lounge, sementara mama Ferdi hanya menangis dengan keputusan yang dibuat suaminya. Dhera setengah mengerti dan setengahnya lagi tidak mengerti atas keputusan yang dibuat ayahnya Ferdi. Apa yang sedang oom coba lakukan? Benarkah untuk melindungi Ferdi dari cercaan banyak orang? Ataukah untuk melindungi dirinya sendiri dan citra keluarga pejabat?
Entah.. Dhera tidak mengerti tentang seni politik.
                Dhera menonton berita melalui I-Padnya, ia menyaksikan pemberitaan yang terus- menerus menanti kemunculan Ferdi di hadapan publik. Banyak yang mempertanyakan apakah hukum akan benar ditegakkan sama bagi semua orang, meski orang itu anak pejabat semacam Ferdi sekalipun. Bahkan di jejaring sosial, banyak yang menuduh bahwa Ferdi hanya tengah berkamuflase tentang trauma dirinya untuk menghindari jerat hukum yang mengancamnya. Tercabik rasanya hati Dhera membaca tweet-tweet kejam yang ditujukan untuk kekasihnya itu, mungkin benar apa kata orang : ‘ mereka yang paling banyak bicara adalah mereka yang sesungguhnya tidak tau apapun..’ Dhera menutup I-padnya, ia pergi ke kamar Ferdi. Saat ia masuk, terlihat Ferdi sedang melihat berita juga melalui I-Padnya, ketika Dhera datang, Ferdi cepat- cepat menutupnya. Dhera yang menangkap gelagat itu tidak ingin mengungkitnya.
“ let’s take a walk..” ajak Dhera. Ia pun mengajak Ferdi berjalan di sekitar areal rumah sakit yang aman dari wartawan. Mereka berjalan menikmati udara yang hari itu lumayan sejuk dibanding hari biasanya. Banyak orang di rumah sakit itu yang mengenali wajah Ferdi yang seminggu ini menghiasi layar kaca. Beberapa diantara mereka bahkan memandangi Ferdi dengan tatapan beragam, ada yang sinis, ada pula tatapan iba. Beban kembali menggelayuti Ferdi, ia sadar mungkin saat ini ia adalah public enemy number one bagi banyak orang. Ia tidak mampu mengangkat kepalanya, Dhera yang mengerti akan hal itu lalu menggandeng lengan Ferdi, Ferdi menoleh ke lengannya yang digandeng oleh Dhera.
“ aaahhhhh.. untung aja hari ini engga panas banget kaya kemaren.. “ kata Dhera sambil tersenyum lebar ke arah Ferdi. Ferdi membalas senyuman itu dengan mata yang berkaca- kaca. Wajah yang sendu itu ditambah lagi dengan air mata bening yang sudah di pelupuk mata, Dhera tidak mampu menahan dirinya untuk beberapa detik lagi, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman rumah sakit untuk mengusir air matanya dan mengajak Ferdi duduk di salah satu bangku yang kosong.
“ tapi haus juga ya, aku beli minum dulu deh,, kamu mau minum apa?” tanya Dhera ceria sambil berdiri untuk membeli minuman.
Ferdi mencegahnya, ia menarik pergelangan tangan Dhera untuk kembali duduk di sampingnya.
Suara Ferdi terbata, namun ia akhirnya angkat bicara, “ aku engga haus..” sebuah jawaban yang sama sekali engga pas untuk menahan seseorang, namun Dhera menatap Ferdi sejenak lalu mengikuti keinginannya.
“ kamu udah denger kan?” kata Ferdi sambil menerawang. Ia menghela nafas panjang, ia mencoba untuk tersenyum.
Dhera tau apa yang dimaksud Ferdi, ia mengangguk.
“ pada akhirnya aku harus menghadapi ini semua, sekarang atau nanti engga ada bedanya..”
Dhera menatap Ferdi lekat- lekat, air mata kembali menggenang di mata indahnya.
“ kalo kamu ngerasa ini terlalu berat, jangan paksain dirimu untuk tetap ada di sini. Aku tau berat buatmu untuk bisa bertahan sampai sekarang..”
“ setelah ini aku engga tau apa yang akan terjadi sama aku, masa depan kaya apa yang akan aku bangun nanti. Tapi aku engga mau masa depanmu terganggu karena aku, makanya aku engga akan nyalahin kamu seandainya kamu memutuskan untuk pergi..” Ferdi menatap Dhera dalam- dalam, menyatakan kesungguhan dan ketetapan hatinya.
Dhera tertegun mendengar kata- kata kekasihnya itu, “ kalo aku pergi, apa kamu bakal baik- baik aja?”
Ferdi memalingkan wajahnya, pertanyaan yang sulit untuk dia jawab. Dhera akan tau kalau ia berbohong.
“ setelah ini aku engga akan jadi Ferdi yang sama kaya dulu..”
Dhera memandang jemari kekasihnya itu, jemari yang selama ini senantiasa mengenggam tangannya itu kini bergetar, tak cukup kuat lagi untuk menggenggam tangannya. Kini dialah yang harus menggenggam tangan itu..
Dhera meraih tangan Ferdi, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ferdi.
hal yang paling ingin aku lakuin saat ini Cuma ada di sampingmu,, untuk hal itu, apa gak bisa?” Dhera berkata dalam hatinya sambil meneteskan air matanya.
Ferdi kini menggenggam erat tangan Dhera juga,
if to keep you by my side won’t hurt you, I’ll accept all consequences..”
Ferdi pun meneteskan air matanya, mereka berdua menangis pedih dalam diam.

****

                Ferdi merapikan baju yang dikenakannya, hari ini ia harus pergi ke kantor polisi untuk memberikan keterangan mengenai kecelakaan yang ia timbulkan. Ferdi dengan berat hati melakukan ini demi keinginan sang ayah, karena  tiap kali ia mencoba mengingatnya, selalu berhenti pada poin saat ia telah menabrak mobil, ia kehilangan bayangan tentang berapa kecepatan mobilnya serta apa yang dia tabrak. Keadaan semakin menyulitkan dirinya karena saksi utama dan kepolisian memiliki dua versi yang berbeda mengenai mobil yang ditabrak Ferdi. Ferdi menghela nafasnya, ia berharap ingatan itu bisa datang padanya hari ini.
Dhera menghampiri dirinya, “ don’t push yourself..” nasihat Dhera kepada Ferdi.
Ferdi tersenyum, lega hatinya mendengar perkataan Dhera, rasa takut itu sedikit menghilang.
“ aku bakal disini waktu kamu balik..” kata Dhera sambil tersenyum. Ferdi mengangguk yakin, ia akan kembali lagi disini dan menceritakan semuanya pada Dhera.
Wajah Ferdi nampak pucat karena ia belum berada dalam kondisi stabil, Dhera mengkhawatirkan kondisi Ferdi, namun saat ini ia tidak bisa melarangnya. Ia hanya berharao Ferdi bisa melalui hari ini.
                Dhera menonton breaking news yang menayangkan Ferdi serta kedua orang tuanya tiba di Polda Metro Jaya, matanya tidak terlepas dari tatapan kuyu Ferdi. Sesekali Ferdi menatap ayahnya yang sedang memberikan keterangan kepada pers, sejenak kemudian ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan pandangan kosong. Ibunya yang menangis sambil merangkul lengannya tidak dihiraukan Ferdi, sementara matanya terlihat  lelah dibuat silau oleh blitz blitz kamera yang entah berapa banyaknya. Dhera mengepalkan kedua tangannya di mukanya, jantungnya berdegup kencang,  ia memejamkan matanya, berdoa untuk Ferdi agar dapat menghadapi pemeriksaan hari ini.
                Sementara di kantor polisi Ferdi tengah dalam persiapan penyidikan, kamera- kamera ‘pengintai’ sudah pergi darinya.
Ayah Ferdi mengangguk padanya, meminta Ferdi untuk dapat melewati proses ini. sementara ibunya hanya mengelus- elus punggung anak lelaki satu- satunya ini sebelum mereka berdua pergi. Ferdi akan ditemani oleh tantenya sekaligus kuasa hukumnya. Beberapa pertanyaan dapat dijawab Ferdi dengan lancar, namun ia nampak kesulitan menjawab saat penyidik menanyakan tentang berapa kecepatan mobilnya pada saat kejadian, untuk mengetahui apakah Ferdi melanggar batas kecepatan maksimal di jalan tol.
“ berapa kecepatan mobil saudara pada saat sebelum anda menabrak L- 300 di depan anda?”
Ferdi menghela nafas dalam, pertanyaan ini akhirnya ditanyakan padanya. Ia berjanji akan memberikan kesaksian sebisa mungkin. Ia memejamkan matanya, mencoba melihat dalam memori pikirannya. Sementara penyidik mempertanyakan apa yang Ferdi lakukan.
“ Saudara Ferdi..”
Ferdi tidak menjawab.
“ saudara Ferdi..”
Tante Ferdi akhirnya angkat bicara, “ pak.. seperti diketahui bahwa Ferdi mengalami trauma akibat kejadian ini. mohon kesabaran bapak untuk proses ini.. dia pasti mencoba menemukan jawabannya..”
Ferdi tetap berkonsentrasi, ia dapat menangkap bayangan speedometer mobilnya, waktu itu ia sempat menoleh sejenak ke arah speedometernya sebelum melihat plang tempat peristirahatan. Namun angkanya masih kabur dalam ingatan Ferdi, ia menaikkan ingatannya untuk melihat secara jelas berapa kecepatan mobilnya pada saat itu, setelah beberapa saat akhirnya ia bisa mengingatnya.
“ 100 km/jam..” jawab Ferdi akhirnya. Ia menghembuskan nafas panjang setelah berhasil menjawab pertanyaan itu. kepalanya mendadak pusing.
“ selanjutnya, apakah saudara mengetahui mobil apa yang saudara tabrak?”
Ferdi menatap penyidik, wajahnya memucat. Ini dia kunci dari peristiwa naas ini. bisakah ia mengingatnya?!
Ferdi kembali memejamkan matanya, ia kembali membawa pikirannya ke waktu ia mengemdikan mobilnya di tol jagorawi. Tidak ada bayangan apapun saat pertama kali ia mencobanya, hal ini seperti bagian puzzle yang hilang, membuatnya frustasi harus mencarinya darimana.
Ia kembali mengernyitkan dahinya, kali ini lebih lama dari pertanyaan sebelumnya.
Lima menit kemudian Ferdi masih belum mengatakan apapun, sementara penyidik terus mendesaknya.
Tante Ferdi menatap ponakannya ini cemas, ia memegang pundak Ferdi. Pundaknya bergetar mencoba memanggil memori yang begitu menakutkan baginya.
Ia berusaha lebih keras lagi, memaksakan ingatannya sendiri membuat Ferdi tidak bisa mengendalikan pikirannya, ia malah terbawa ke saat- saat korban telah jatuh bergelimpangan di sekitarnya.
Keringat mulai membasahi dahi dan tubuhnya, ia membuang memori itu dan mencoba kembali fokus.
Kepalanya semakin berat, aliran darah terasa semakin cepat dari kaki hingga kepalanya, sementara jantungnya berdegup kencang,
Samar- samar ia melihat bayangan bentuk mobil, namun tidak tau apa itu sebenarnya.
Sementara trauma kembali membawanya mendengar bunyi sirine ambulance dan lampu biru mobil polisi menyamarkan ingantannya lagi.
Ferdi menutup telinganya, berharap suara sirine itu berhenti mengganggunya.
Ia mencoba kembali fokus untuk kesekian kalinya, nafasnya semakin cepat.
Sementara penyidik terus menerus mengkonfirmasi kebenaran yang ia tidak bisa ingat.
Dengan sisa tenaganya, Ferdi sedikit dapat melihat bentuk mobil itu, bentuknya sedikit aneh untuk Ferdi. Namun saat ia mencoba menggali ingatan itu lebih dalam, tangannya terlepas dari kedua telinganya, dan mendadak semua gelap.

****

                “FERDI!!!” Dhera menjerit di kamar rumah sakit saat menyaksikan breaking news yang meliput Ferdi yang tengah pingsan usai proses penyidikan. Wajah Ferdi nampak lebih pucat dibanding terakhir Dhera melihatnya, Dhera kalut. Hatinya semakin teriris melihat awak media yang bahkan tidak bisa berhenti mencari berita meski sumber beritanya tengah terkapar tak berdaya.
“ Ferdi,, Ferdi..” ia terus mengucapkan nama kekasihnya itu. menunggu kedatangan Ferdi ke rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, pintu kamar Ferdi terbuka lebar, suster dan dokter serta psikiater masuk ke dalam ruangan untuk memberikan pertolongan yang diperlukan.
Dhera mencoba tetap tenang, memperhatikan langkah- langkah yang dilakukan tim medis dengan seksama.
“  dokter..” Dhera memanggil salah satu tim medis untuk menanyakan keadaan Ferdi.
“ Dhera..” sapa dokter itu sambil melepaskan kancing jubahnya, ia nampak sedikit frustasi dengan kondisi Ferdi yang mendadak drop.
“ kondisi ini tidak pernah saya inginkan terjadi, Ferdi menurut saya terlalu memaksakan diri. Ingatan itu bukan sesuatu yang bisa dipanggil atau diusir sesuai dengan keinginannya sendiri. Bahkan seorang mentalis pun perlu bertahun- tahun untuk bisa mengendalikan kekuatan pikirannya. Ditambah lagi Ferdi yang memiliki trauma mendalam terhadap kecelakaan ini, saya tidak habis pikir kenapa pak Ardi memaksakan untuk cepat- cepat membawa Ferdi ke polisi tanpa menghiraukan advice medis dari kami.” Jelas dokter sambil menghela nafas.
“ terus sekarang Ferdi gimana dok? Apa dia kehilangan ingatannya lebih banyak lagi?”
Dokter kembali menghela nafas sambil menggeleng, “ kita tidak pernah bisa tau. Semua tergantung pada kemauan Ferdi, namun tekanan yang berat malah akan memperburuk kondisinya. Seperti sekarang ini.. dokter dan Dhera menatap Ferdi yang sedang tertidur pulas, dokter meninggalkan ruangan sementara Dhera menatap kekasihnya itu.
                Ia menatap wajah kekasihnya itu, bibirnya terlihat pucat. Meski nafasnya kini sudah mulai teratur namun keringat masih bercucuran di dahinya. Dhera cemas, apa yang mungkin sedang Ferdi alami di alam bawah sadarnya, Dhera menyeka butir- butir keringat itu dengan tatapan iba namun penuh kasih. Setelah selesai membasuh keringatnya, Dhera memijat- mijat kecil lengan kekasihnya itu sambil terus memandangi wajah tampannya itu.
“ I told you not to push your self..” suara Dhera mulai bergetar, air mata menumpuk di pelupuk matanya. Sungguh hatinya hancur melihat Ferdi yang harus mengalami kejadian naas seperti ini. belum lewat dua minggu semenjak ia hang out dengan Ferdi untuk merayakan tahun baru 2013.
Senyum cerah di wajah Ferdi tak lagi dijumpai Dhera, hanya kekhawatiran yang ia rasakan berkecamuk di batin Ferdi. Sementara Dhera, ia hampir frustasi karena tidak bisa menemukan cara apapun untuk bisa membantu Ferdi. Andai tubuh mereka bisa bertukar, akan ia tukar jiwanya dengan Ferdi saat ini juga. Asal kan Ferdi bisa sembuh terlebih dahulu, tanpa tekanan dari manapun.
Dhera membenamkan wajahnya sambil menangis di lengan Ferdi.
Isak tangisnya membangunkan Ferdi dari ketidaksadarannya, Ferdi nampak bingung tentang keberadaannya. Ia memegang kepalanya yang masih berat dengan tangan kirinya, ia melihat sekeliling dan sadar bahwa ia telah berada di rumah sakit. Sepersekian detik kemudian ia merasakan ada yang menindih tangan kanannya, ia melihat Dhera yang membenamkan wajahnya di lengannya sambil sayup terdengar isak tangis Dhera. Sekarang ia ingat, ia pingsan setelah menjalani pemeriksaan itu artinya dia gagal menghadapi tantangan terbesarnya hari ini.
Sementara itu tangis Dhera belum berhenti, lebih dari siapapun, ia sangat terpukul melihat kondisi kekasihnya yang biasanya kuat ini menjadi berada di titik terlemahnya. Ia menangis dan menangis,
Ferdi mengangkat tangan kirinya dengan berusaha tanpa suara, ia hendak membelai rambut kekasihnya yang tengah menangis karena kelemahan dirinya. Hatinya tak kalah hancurnya melihat wanita yang dikasihinya harus ikut juga merasakan traumanya, air mata sudah menggenangi matanya.
Tepat sebelum Ferdi membelai rambut Dhera, Dhera mengangkat kepalanya. Cepat- cepat Ferdi memalingkan wajahnya dan mengembalikan tangannya di posisi semula.
“ aku harus kuat, iya kan Fer? Karena aku udah janji untuk ada di sampingmu..” ucap Dhera sambil menghapus air matanya, ia berusaha menguatkan dirinya, sekuat tenaga ia membentuk senyum di bibirnya.
Sementara di balik pandangan mata Dhera, air mata Ferdi telah tumpah. Dalam terpejam ia berkata..
“ maafin aku Dhera, please don’t cry anymore. I can stand all of this pressure and even more. But I couldn’t bear to see your tears. Your tears, it hurts me more..”

****

                “ Mau berangkat sekarang?” tanya Ferdi kepada Dhera yang sedang sibuk merapikan barang- barang untuk kuliah.
Dhera mengangguk, ia tersenyum menatap Ferdi. Senyum yang penuh arti.
“ kenapa?” tanya Ferdi heran..
Dhera menggeleng, ia mengampiri kekasihnya itu.. “ aku kesini sorean ya, mau beresin kamar dulu..”
Ferdi mengangguk sambil mengusap rambut Dhera, tiba- tiba seseorang datang ke kamar.
Ferdi melihat ayahnya masuk dengan jas rapi, siap untuk berangkat kerja.. Ferdi langsung mengambil posisi duduk. Ia mendadak tegang, Dhera tau ia tidak harus disana, ia pamit keluar.
Sepeninggal Dhera, Ayah Ferdi menatapnya lekat- lekat, sulit menerka apa yang akan beliau katakan. Ferdi tau, karena dirinya, ayahnya sudah mengalami berbagai kesulitan.
Kesalahan dan hujatan yang seharusnya ditanggung olehnya, tapi malah ayahnya yang menanggung.
“ pa.. Ferdi salah.. Ferdi minta maaf..” Ferdi menundukkan kepalanya dihadapan ayah yang sangat dicintai dan dihormatinya. Kata- kata itu, kata- kata yang dari awal ingin ia ungkapkan akhirnya keluar juga.
Ayah Ferdi hanya terdiam, tanpa kata, kini ayahnya ikut menunduk.
“ papa yang salah.. papa yang memaksakan kamu untuk pergi ke polisi. Papa tidak pedulikan kesehatanmu. Papa pikir apa yang papa lakukan adalah demi kebaikanmu.. tapi papa salah.. maafkan papa, nak..” air mata jatuh di pipi ayah Ferdi.
Ferdi kaget mendegar pernyataan ayahnya, ia melihat air mata mengalir dari mata ayahnya, pertahanannya luruh..
Kini keduanya menangis, mereka berdua sama- sama menyesali perbuatannya..
“ papa engga akan berbuat hal egois seperti kemarin lagi.. apapun itu, papa akan berunding dulu sama kamu,, “
Ferdi menggeleng, “ pa.. Ferdi janji pa, Ferdi bakal cepet sembuh. Ferdi bakal inget semua kejadian hari itu dan bertanggung jawab apapun itu akibatnya. Pa, tolong ijinkan Ferdi mencoba lagi..”
Ayahnya tidak mampu berkata apa- apa mendengar tekad bulat anak bungsunya ini, ia kembali memeluk anaknya.
Diluar, Dhera belum pergi. Ia menyaksikan percakapan ayah dan anak itu, meski suara mereka tidak terdengar, namun hati Dhera jauh lebih lega karena akhirnya hati ayah dan anak ini menemui titik tautnya. Dhera menangis bahagia dibalik pintu kamar Ferdi.
                Kue  berbalut coklat anti leleh sudah ada di tangan Dhera, hari ini adalah hari ulang tahun Ferdi. Ferdi bahkan tidak mengingatnya, sudah jelas bagi Dhera betapa berat hari- hari yang harus di lalui Ferdi. Sampai di rumah sakit, kue ulang tahun itu sudah dibubuhi lilin diatasnya, Dhera melihat Ferdi yang sedang menonton tivi.
“ happy birthday to you.. happy birthday to you.. happy birthday, happy birthday.. happy birthday to you..” Dhera menyanyi dengan suara lembutnya.
Ferdi kaget melihat kue ulang tahun beserta lilin yang dibawa oleh Dhera, ia melihat jam tangannya, lalu menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.
“ makasi ya..” ucap Ferdi penuh ketulusan. Ia menatap Dhera lekat- lekat, dengan tatapan “makasi, Dhera,,”
Dhera menangguk, “ time to make your wish.. aku juga make a wish.. so we have our own wish..”
Ferdi mengangguk setuju, Dhera memejamkan matanya.. nampak tersenyum dalam doanya.
Sementara ferdi tidak memejamkan matanya, ia menatap Dhera. Ia tersenyum penuh haru melihat kekasihnya yang entah sedang menaikkan harapan macam apa.
Lalu Dhera membuka matanya, ia melihat Ferdi yang tidak melakukan apa yang ia katakan untuk menaikkan permohonan.
“ haahhh.. emang mestinya engga ngajakin kamu beginian nih..” Dhera ngambek dengan sikap tidak kompak Ferdi.
Ferdi tersenyum tipis, “ emang kamu engga ada harapan apa- apa?” tanya Dhera.
Ferdi kembali tersenyum, “ yah kalo engga ada, ya paling enggak kan..”
“ YOU,,” jawab Ferdi memutus omongan Dhera.
Dhera tertegun mendengar jawaban Ferdi, “ aku punya kamu, aku mau berharap apalagi?” kata Ferdi singkat.
Dhera salah tingkah, “ ehmm.. katanya harapannya bisa engga terkabul kalo dibilang- bilang..”
Ferdi meraih tangan Dhera, lalu mencium keningnya. Ferdi berkata dalam hatinya, “ even though it’s hard, but you’ve stayed.. thank you..”
Seolah dapat merasakan perkataan Ferdi, Dhera kembali meneteskan air mata bahagianya.
“ makasi, Fer.. udah ijinin aku tinggal di sampingmu..”

****

When things are easier when you leave, will you stay?
When things may get worse when you stay, will you leave?
When pressure comes around, could you endure it?
Ps: well yeah, cerita ini bener- bener terinspirasi dari kisahnya Rasyid Rajasa yang sampe detik ini (30 januari) masih belum bisa menjalani pemeriksaan di kepolisian. I hope, you will find someone who will stay by your side till the end.. I believe there are.. :D. I woke up in the middle of night, listened to this song. I thought it could represent what I’ve wrote about.. yes, it’s a song..
Title : Choose You
Singer: Stan Walker

I’m so mad at you right now, that I can’t think straight..
And I should shut my mouth, so I don’t let out the cruel thing I’d said..
Coz when love starts out, it’s all peachy
I love you, you love me seems EASY, it’s like a walk in a park..
But sometimes it takes an act of my will, and a walk in a park turns to uphill
But I PROMISE I’ll give you my heart,,
Reff:
I will choose to LOVE you,
Even though wanna stay MAD
Even though wanna get ANGRY
Though it maybe easier TO WALK AWAY
I will choose to stay..
And LOVE you..

Love Is just so beautiful, sometimes it takes works.
And the one you loved, at times, can leave you so hurt..
Coz when love starts out, it’s all peachy
I love you, you love me SEEMS EASY
It’s like a walk in a park..
But the picture of love some try to paint, It's a contrast to the real landscape
But I promise to give you my heart..

Bridge:
Some people think, that LOVE IS JUST A FEELING
So they fall out of love as quickly as they fell in..
Some people think that LOVE IS JUST A GAME
But they the one who always seems to end up getting played..
Though everything around might change..
One thing will still remain..

Sumpah ini lagu dalem banget..hehe.. buat bahan refleksi aja sih buat aku sama pembaca.. :D





                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar