Total Tayangan Halaman

Minggu, 19 Februari 2012

LUCKY (IM IN LOVE WITH MY BEST FRIEND)



“ Saat kau mulai lelah, tetaplah mencintainya. Karena cinta akan selalu mampu menemukan cara untuk bertahan..”

Dion mempercepat langkahnya menuju ruang BK. Bukan karena dia dipanggil guru BK, tapi karena dia harus melakukan tes interview sebagai bagian dari seleksi pertukaran pelajar ke Sydney, Australia.

Sampai di ruang BK, Dion masih belum terlambat. Masih ada Luna, temannya juga yang ikut interview yang sama dengannya. Setelah menunggu beberapa saat, Luna pun keluar dengan wajah lega.

“Gimana, Lun? Sukses? “ sapa Dion kepada Luna. Dion bisa dibilang berteman akrab dengan Luna. Mereka ada di satu klub debat bahasa inggris di SMK mereka. Dion tau betul kemampuan bahasa Asing Luna, oleh karena itu dia enggak heran kalau Luna bisa sampai ke tahap ini, tahap akhir dari seleksi ini.

“Masih dag-dig-dug nih, Yon..” kata Luna sambil duduk di sebelah teman yang sudah cukup lama dikenalnya itu.

“ Hehehe.. tenang- tenang.. tarik napas dulu..” kata Dion

Beberapa saat kemudian, tiba giliran Dion untuk tes interview. Setelah hampir setengah jam di dalam sana, akhirnya Dion keluar dengan muka yang sama sumringahnya seperti Luna.

“ Akhirnya lo keluar juga.. hehe “ sambut Luna pada Dion

“ iya nih, tadi malah diajakin ngobrol kemana- mana..”

“ haha.. itu interviewernya seneng kali sama lo..” canda Luna

“hahahaha.. ngarep aja.. gue kan masi berondong..” tandas Dion yang di sambut muka manyun Luna.

“jadi sekarang lo pulang?” tanya Luna.

“hmm.. enggak. Gue ada kerjaan bareng Edwin. Ada wedding, gue diajakin dia, Lun. Lumayan buat tambahan..hehe..”

Dion adalah siswa jurusan Jasa Boga, sedang Luna jurusan Guiding. Jadi memang lebih banyak kesempatan part time yang bisa diambil oleh Dion. Dion bukan berasal dari keluarga yang mapan secara financial, untuk masuk ke SMK, ibunya harus bekerja keras mencari uang masuk. Oleh karena itu Dion berusaha keras untuk mencari celah pekerjaan diluar jam sekolahnya. Memang cukup melelahkan bagi anak seusia Dion, namun semangat Dion mengalahkan segalanya. Hal itulah yang membuat Luna sangat kagum pada Dion.

“ wedding dimana, Yon?” tanya Luna.

“ di Hyatt, Lun..”

“waaahhhh… hotel mewah dong? Pasti makanannya enak- enak..” goda Luna

“ngarep lo, gue kerja tauk, bukan icip- icip..” kata Dion geleng- geleng menanggapi celoteh temannya itu.

“hehehehe..iya- iya.. sukses ya, Yon. Inget besok pengumuman hasil tes tadi. Be there..” kata Luna sambil meninggalkan Dion.

                Acara wedding berjalan dengan lancar, begitu juga dengan pekerjaan Dion. Dia dan Edwin mendapat pujian dari supervisor catering hotel yang menyewa mereka.

“kerja kalian bagus. Saya harap saya bisa memanggil kalian lagi lain hari.” Kata bapak itu sambil tersenyum puas.

“ bukan apa- apa, pak. Kami hanya berusaha semampu kami.” Kata Dion sopan.

Bapak itu hanya tersenyum sambil menyodorkan amplop yang di dalamnya berisi uang seratus ribu rupiah sesuai perjanjian. Dion menerima uang itu dengan senang dan puas. Inilah uang hasil jerih payahnya semalam. Di benaknya sudah terbayang akan ia gunakan untuk apa uang ini.

Di perjalanan pulang, Dion berhenti sejenak di salah satu minimart. Ia membeli 2 buah susu kemasan siap minum. Satu rasa strawberry, satu lagi rasa coklat.

“mudah- mudahan Randy belum tidur..” kata Dion dalam hati.

Sampainya di rumah, ternyata benar Randy belum tidur. Randy adalah adik Dion yang paling kecil. Usianya baru 3 tahun, Randy paling suka kalau sudah minum susu kemasan yang harganya lumayan mahal ini. Ibunya tidak bisa membelikan susu kualitas nomor 1, mengingat ibunya masih harus menghidupi kakak Dion serta Dion sendiri. Hal inilah yang melatarbelakangi Dion mengambil jurusan SMK, ia segera ingin menjadi mandiri dan bisa mengurangi beban ibunya.

“kakak!!!!” teriak Randy dari dalam, ia berlari memeluk Dion yang telah ditunggunya sejak tadi.

“kamu belum tidur, Ndy? Udah malem loh..” kata Dion sambil mengusap- usap kepala adik semata wayangnya ini.

“belooomm, kak. Masih nonton shaun the sheep..” kata Randy polos.

“emang masih ada jam segini, buk?” tanya Dion pada ibunya yang sedang sibuk mengupas bawang.

Ibu Dion adalah pengusaha catering, sepeninggal ayahnya setahun lalu, ibunya harus merintis usaha lagi agar mampu bertahan hidup. Syukur ayahnya masih bisa menabung semasa hidup. Cukup dengan bunga dari tabungan ayahnya, mereka berempat masih bisa makan tiga kali sehari dengan layak.

“masih, Yon. Ibu maunya ganti chanel biar si Randy tidur, tapi enggak bisa. Ya udah, Cuma kamu yang ditunggu sama dia..” kata ibunya tersenyum.

Dion tersenyum, “ kak Nindy mana, bu?”

“apaaaa deeekkkk??” sahut kak Nindy dari kamar. Maklum, kakaknya ini sedang sibuk dengan skripsinya selama beberapa bulan ini, jadi paling enggak mau keluar kamar kalo moodnya lagi keluar.

“enggak papa kak.. Dion Cuma ngabsen..” kata Dion setengah berteriak juga.

“kak.. itu apaaa??” tunjuk Randy ke arah bungkusan di tangan Dion.

“Huuuu.. tau banget kalo kakak beliin buat kamu. Nih.. minumnya satu- satu, ya. Jangan sekalian..”

“waaa!!!! Susu!!! Ibu… Randy minum satu sekarang boleh??” kata Randy kegirangan.

Ibunya melirik ke arah Dion dengan senyum haru, “ ibu enggak tau, tanya kakak dong, kan kakak yang beliin..”

Dion mengangguk dengan cepat, ia pun meraih susu di tangan Randy , lalu membukakannya untuknya. Dion pun beralih ke arah ibunya.

“besok untuk berapa orang buk?”

“300, nak.. besok anterin ibu ya anterin ini..” kata ibunya sambil tetap mengupas bawang di tangannya.

“jam?”

“jam setengah 7, ini buat makan malem..”

“oke ibuku sayaaaanggg…”

Ibunya tersenyum, “ oia,kamu kapan pengumuman tes interviewnya?”

Wajah Dion mendadak menjadi sendu.

“hmm.. besok bu. Hmm.. bu..”

“kenapa, nak?”

“kalo seandainya Dion lolos tes besok,Dion udah mutusin, Dion enggak akan ambil.”

Ibunya kaget, lalu meletakkan pisau yang ada di tangannya. “maksud kamu, Yon?”

“iya, bu. Dion enggak akan ambil itu. Sejak awal, Dion Cuma pengin tau kemampuan Dion sampe dimana. Dion Cuma akan pergi kalo semua biaya ditanggung sekolah. Tapi itu enggak mungkin kan bu.jadi Dion enggak akan pergi..”

“Dion.. tapi ibu bisa cari utang dulu kan. Ibu pengin kamu menikmati hasil jerih payah dan kemampuan kamu, nak.. jangan kuatir soal uang.. tabungan ayahmu masih ada kok..”

Dion menghela napas panjang, “ibu.. itu yang Dion enggak mau. Dion enggak mau kalo ibu ngutang hanya karena supaya Dion bisa keluar negeri. Apalagi sampe pake tabungan ayah yang udah ayah kumpulin selama hidupnya. Demi apapun, kalo enggak terpaksa, Dion enggak mau pake uang itu. Lebih baik uang itu buat wisuda kak Nindy aja, ato buat beliin Randy susu yang enak, ato mungkin buat nambah- nambahin modal ibu catering. Tapi bukan buat Dion jalan- jalan ke Sydney.”

“kamu enggak jalan- jalan kesana nak, iya kan?” bela ibunya.

“tapi agenda itu pasti lebih banyak ketimbang pelajarannya kan bu? Enggak usah buk, nanti kalo Dion udah jadi koki profesioanal, Dion pasti bisa bolak- balik Indonesia- Sydney, ato kemanapun Dion mau.. ibu jangan kepikiran gitu..” papar Dion penuh pengertian.

Mata ibu Dion berkaca- kaca. Dia begitu terharu mendengar pengakuan anaknya ini. Dion benar- benar mampu menjalankan mandate ayahnya untuk menjaga keluarga ini sebaik- baiknya, karena Dionlah laki- laki di keluarga ini yang sudah bisa diandalkan sepenuhnya.

“terima kasih, nak.. kamu begitu pengertian. Ibu bangga sama kamu..” kata ibunya lalu menangis.

Dion kembali tersenyum sambil memegang tangan ibunya, “ yang penting ibu, kak Nindy, sama Randy sehat. Dion enggak mau apa- apa lagi, kalo Dion sukses, nanti Dion ajak ibu kemana aja. Mau kemana ibu?” goda Dion

“hmm.. colloseum, Roma..” canda ibunya.

“hahahaha.. doain Dion setiap hari kalo gitu ya, Bu?” balas Dion.

“udah, kamu tidur sana, ibu habis ngupas ini juga mau tidur. Kamu kan pasti capek habis kerja tadi..”

Di dalam kamarnya, Dion mengeluarkan amplop yang tadi baru diterimanya. Lembaran seratus ribu itu dia pandang penuh harap. Dari sela lemarinya, Dion mengambil buku tabungan yang baru saja ia buka seminggu lalu. Dari kerja part timenya selama sebulan, Dion berhasil menyisihkan uang dua ratus ribu rupiah. Setiap ia mendapat gaji, ia selalu menyisihkan 75% untuk dia tabung dan 25% ia gunakan untuk jajan atau membelikan makanan kesukaan ibu, kakak, atau adiknya. Rekening ini tidak diketahui oleh siapapun di rumahnya, ini murni niat dari Dion untuk bisa menabung demi masa depan yang tidak bisa ia tebak sama sekali.
****
                Dimana?
 Begitu bunyi sms Luna pada Dion yang belum kunjung datang untuk mendengar pengumuman seleksi kemarin. Ada lima orang yang diinterview kemarin, namun hanya 2 orang yang dipastikan berangkat ke Sydney akhir bulan depan.

Dion tidak membalas sms Luna, karena beberapa saat kemudian Dion datang dengan langkah tergopoh dan nafas tersengal- sengal.

“akhirnya kamu datang, Dion.” Sapa bu Siwi yang menunggunya sejak tadi.

Dion duduk dengan senyum tanpa kata. Ia siap mendengar hasil yang akan diumumkan bersama 4 orang lain di ruangan itu.

“jadi, dari seleksi kemarin, kami team panitia telah memutuskan siapa dari antara kalian yang akan berangkat untuk mewakili sekolah kita ke Sydney. Orang yang telah terpilih ini benar- benar selektif tanpa ada intervensi dari manapun, ini adalah event penting yang melibatkan banyak sekolah di seluruh Indonesia. Jadi dua orang yang terpilih ini akan benar- benar menjadi duta sekolah  bahkan Indonesia di Sydney nanti. Ibu sebagai pendamping kalian disana nanti sangat berharap kesiapan kalian untuk menyerap ilmu sebanyak mungkin disana untuk mungkin kita terapkan di sekolah kita ini..” jelas bu Siwi.

“hmm, bu..” kata Dion menyela pembicaraan. “kalo misalkan dari siswa yang terpilih nanti tidak bersedia untuk berangkat, apa itu mungkin?”

Luna melirik Dion dengan ekspresi kaget. Dion? Batin Luna.

“well.. secara pribadi itu sangat ibu sayangkan. Tapi kami dari pihak sekolah tentu akan menanyakan segala kesiapan dari siswa itu sendiri, bila siswa itu tidak siap, sekali lagi kami tidak akan memaksa, mengingat ini event penting yang harus dipersiapkan dengan matang. Bisa kita bahas itu nant, Dion?”

Dion mengangguk pelan.

“oke, kita lanjutkan. Ibu tau kalian sudah harap- harap cemas sejak tadi. Siapapun yang terpilih sekarang, ibu harap telah siap dan bagi yang belum terpilih, mudah- mudahan tahun depan sekolah kita masih diberi kepercayaan untuk mengikuti event ini..”

“Luna.. selamat. Kamu terpilih menjadi salah satu wakil sekolah untuk pergi ke Sydney bulan depan. Melihat kamu dari jurusan Guiding dengan prestasi cemerlang, kemampuan interaksi kamu yang sangat baik di mata guru dan teman- temanmu, ibu sangat berharap kamu mampu menjalin hubungan yang baik dengan siswa dari sekolah lain dan terlebih lagi dengan siswa di Sydney nanti.. ada keberatan Luna?” tanya bu Siwi.

“tidak bu. Saya siap..” jawab Luna yakin dengan senyum terkembang di bibirnya. Inilah mimpi Luna sejak awal. Ia ingin melibatkan diri di event paling bergengsi di sekolahnya ini, bahkan di tingkat nasional. Bukan hanya karena ia bisa melihat bagaimana dunia luar yang selama ini ia dambakan, tapi yang terpenting adalah, ia memiliki kesempatan untuk belajar di St. George selama 2 bulan penuh, sekolah hospitality nomor 2 paling bergengsi di negeri kangguru itu. This is what called dream come true.

                Kini mata bu Siwi menjelajah ke empat siswa lain di hadapannya. Hanya 1 lagi dari antara mereka yang memiliki tiket emas untuk pergi bersamanya dan Luna.
“ siswa satu lagi adalah.. selamat Dion, kamu terpilih!!!” kata bu Siwi.

Senyum semakin terkembang di wajah Luna, Dion adalah satu- satunya rekan yang ia harapkan untuk bisa diajak bertukar pikiran disana. Tentu karena ia tau dedikasi Dion untuk ilmu yang ditekuninya. Namun, senyum miris malah terkembang di wajah Dion.

“ jadi kami memilih Dion karena prestasinya yang cemerlang di bidang boga. Selain itu kami juga mengamati kegiatan Dion di luar jam sekolah yang menunjukkan kemandiriannya dalam mengaplikasikan ilmu yang ia tekuni. Selamat Dion, apa kamu bersedia untuk pergi?” tanya bu Siwi penuh harap. Bu Siwi adalah guru di jurusan Dion, jadi ia tau betul kemampuan anak didiknya ini. Ia senang sekali karena tim mampu melihat kemampuan luar biasa yang ada dalam diri Dion.

Dengan penuh keyakinan Dion menggeleng. Bahasa tubuh yang bukan berarti sekedar penolakan bagi Dion. Karena baginya, ini juga berarti dia harus membuang impiannya jauh- jauh untuk bisa belajar mengenai culinary internasional di St. George.

“Dion?? Jadi lo nanya tadi..” perkataan Luna tidak bisa ia lanjutkan karena ibu Siwi pun tidak kalah herannya dengan Luna.

“tapi kenapa Dion? Bisa ibu tau alasannya?” tanya bu Siwi perlahan.

Dion mengangguk pelan yang menandakan bahwa ia bersedia menjawab, tapi tidak di depan teman- temannya. Bukan karena ia malu, tapi lebih karena ini sifatnya sangat pribadi. Untungnya bu Siwi mengerti maksud Dion.

“hmm.. yang lain boleh kembali ke kelas. Luna, nanti ibu bicara lagi sama kamu mengenai teknis yang harus kita siapkan. Dion, ke kantor saya.”

Dion mengangguk pelan, sementara Luna tak henti menatap Dion dan menunggu Dion untuk balas menatap matanya, namun hal itu tidak terjadi, Dion segera mengikuti bu Siwi ke kantornya.

                Dion dan bu Siwi duduk berhadapan di ruangan bu Siwi.
“ Dion, ibu tau masalah kamu. Ibu bisa bantu kamu pergi dengan uang tabungan ibu dulu.”

Dion terkejut menatap bu Siwi berkata demikian. Ia tidak menyangka kalau gurunya akan berkata demikian, memberikan penawaran demikian. Mendadak Dion jadi menimbang- nimbang lagi keputusannya semalam, ia membayangkan bagaimana ia akan menikmati hari- harinya di Sydney nanti.

Namun muncul bayangan Randy yang selalu merengek menunggu ia pulang, bagaimana ia bisa meninggalkan Randy selama dua bulan? Bisa- bisa Randy sakit karena kurang tidur setiap hari. Ia juga memikirkan ibunya yang selalu membutuhkan dia kalo cateringnya lagi banyak pesenan, ibunya harus pergi sama siapa? Dalam beberapa menit, ia telah bisa kembali mengendalikan dirinya.

“maaf bu.. tapi ini bukan sebatas masalah uang. Kalo masalah itu, ibu saya pun sudah memberi  solusi. Ini lebih tentang beban moral yang harus saya abaikan kalo saya memutuskan untuk pergi. Saya berat kalo harus meninggalkan keluarga selama dua bulan. Diatas semua itu, saya juga sayang bu kalo harus buang- buang kesempatan part time selama dua bulan. Saya udah komitmen sama Edwin kalo kita bakal berjuang bareng dalam hal itu..” jelas Dion. Ia bener- bener lega sudah mengatakan ini semua ke orang yang tepat.

That’s the point!! Batin bu Siwi. Pemikiran Dion sungguh jauh dari apa yang ia kira.

“ sayang sekali, Dion. Padahal dengan kemampuan memasak kamu, ibu yakin, 1000% yakin kamu pasti bisa menyerap banyak ilmu disana. Dalam sejarah,kamu murid pertama yang berhasil lolos seleksi dari jurusan boga. Dan ibu pribadi sangat berharap kamu bisa bergabung. Tapi, kamu yakin sudah bulat dengan keputusanmu?” tanya bu Siwi.

Dion mengangguk pelan tapi pasti. Ia tau kalau belum saatnya ia pergi, suatu hari nanti mungkin ia akan pergi. Mungkin. Dion pergi meninggalkan ruangan bu Siwi, diluar, ternyata Luna masih menunggunya.

“Dion, lo enggak..” Luna bertanya terputus.

Dion menggeleng, ia mengerti apa akhir pertanyaan Luna temannya itu.

“kenapa?” tanya Luna singkat namun penuh arti. Dion duduk di sebelahnya, mencoba menjelaskan segalanya. Luna mencoba mengerti semua penjelasan dan alasan logis yang Dion berikan, Luna pun tidak mampu memaksa Dion lagi. Hanya saja, Luna juga kecewa dengan keputusan temannya ini.

“Yon, lo inget enggak ini udah jadi mimpi kita berdua sejak lama? Lo inget pas di klub debat, kita selalu omongin hal ini. Gue inget gimana berapi- apinya lo setiap saat ngomongin hal ini, tapi sekarang, disaat mimpi kita udah di depan mata, kenapa elo lepasin gitu aja?” mata Luna mulai berkaca- kaca.

“ maafin gue, Lun. Tapi, gue enggak pernah lepasin mimpi gue. Gue hanya menunda untuk meraih mimpi gue. Lo tau kalo sekarang gue disuruh nginep di dapur sekolah buat nemuin resep baru, gue enggak akan keberatan. Itu karena begitu besarnya mimpi gue buat jadi koki, bahkan chef handal di Indonesia, kalo perlu dunia.”

“gue minta maaf karena untuk sekarang, kita enggak bisa jalanin mimpi kita bareng- bareng. Tapi lo bisa itung sendiri berapa wedding yang akan gue lewatin kalo gue pergi, apa yang ada di pikiran gue ini lebih dari apa yang bisa lo pikirin, dan gue enggak minta lo buat ngerti. Karena emang enggak sederhana.” Kata Dion lagi.

Luna meneteskan air matanya, ternyata seberat itu beban yang ada di pundak sahabatnya ini. Ia tidak pernah bisa benar- benar mengerti itu, karena selama ini Luna hidup di dunia yang berbeda dengan Dion. Bagi Luna, ia hanya tinggal belajar dan berusaha, dan untuk masalah uang ia tidak perlu kuatir.

Berbeda dengan Dion yang harus mempertimbangkan segala sesuatunya kalo sudah bersangkutan dengan masalah uang. Dia bener- bener enggak bisa lagi berkata- kata. Sejenak ia tertunduk untuk menguasai emosinya sendiri..

“iiiihhh!!! Nyebelinn!!!” teriak Luna sambil menjambak rambut Dion.

“addduhhhh!!!” kata Dion sambil tertawa, ia senang melihat Luna tampaknya bisa menerima keputusan berat yang baru saja diambilnya.

“pokoknya enggak ada oleh- oleh buat lo! Yang ada Cuma buat tante, Randy, sama kak Nindy. Buat Randy yang paling banyak! Paham lo??” ancam Luna.

“hahahaha.. lo pikir Randy bisa makan sendiri tanpa ijin gue?”
“huuuu..” Luna manyun mendengar sanggahan Dion barusan.

“anyway, gue titip resep aja ya.. yang banyak. Trus kalo lo ikut kelas masak, fotoin semua hasil yang kalian bikin. Nanti gue bakal praktekin di rumah.. hehe..”

“ongkos..” kata Luna melet..

“ck.. nanti kalo gue udah jadi chef handal, gue masakin tiap hari..” canda Dion.

“hahahahaha.. kapan ya kapan ya??” goda Luna. Dalam hatinya, Luna berharap hari itu akan datang. Hari disaat sahabatnya ini menjadi chef sukses yang membanggakan keluarga dan semua orang terdekatnya.
****
3 bulan kemudian..
                Dion dan Edwin baru saja selesai ganti baju setelah acara seminar internasional di salah satu villa besar di Bali. Tiba- tiba cellphone Dion berbunyi, menandakan ada sms yang masuk.

Baru sampe rumah :D

Itu sms dari Luna, orang yang paling ditunggunya selama 2 bulan terakhir ini. Dan secara sembunyi- sembunyi juga ia mulai rindukan. Dion mengambi tasnya lalu berangkat dari Villa itu ke rumah Luna, meninggalkan Edwin yang heran melihat Dion yang begitu bersemangat. Satu jam kemudian, ia sampai di rumah Luna.

“Dioooonnn!!!” teriak Luna di pintu masuk sembari spontan memeluk laki- laki di hadapannya. Dion tertawa sambil menyambut pelukan Luna.

“gimana kabar lo, Lun?” sapa Dion. Luna mempersilakan dia masuk sambil menyuruhnya masuk. Di dalam, ada mamanya Luna sedang nonton tivi bersama papanya.

“malam oom.. tante..”sapa Dion ramah. Ini bukan kali pertama dia datang ke rumah Luna.

“sudah makan, Yon?” tanya papa Luna.

“kok malem sudah kesini? Pasti dipaksa Luna ya?” tanya mamanya curiga menatap Luna. Luna Cuma mengangkat bahunya.

“Sudah oom, saya habis dari villa seminyak tante, habis ada kerjaan tadi. Pas baru selesai, eh Luna sms. Jadi saya langsung kesini aja. “ jelas Dion sopan.

“itu baru namanya anak muda. Mengisi waktu untuk cari pengalaman. Bukannya kaya anak muda kebanyakan, kerjanya ngerokok, kebut- kebutan, enggak jelas. Sebel oom liatnya..” keluh papa Luna yang disambut gerutu dari anak gadisnya itu, Dion hanya tersenyum mendengar pernyataan papanya Luna.

“nih..” kata Luna menyerahkan sebuah buku mirip diary dan segelas sirup pada Dion.

Dion menatap Luna dengan senyum menggoda. Maksudnya, sejak kapan Luna mencatat resep di buku bagus macem gini? Dion mikir kalo Luna pasti Cuma mencatat semuanya di sobekan kertas yang berantakannya kemana- mana. Itulah Luna yang ia kenal, syukur ia mengambil jurusan guiding, yang tidak perlu sesistematis jurusan boga.

“ya udah kalo engga mau..” kata Luna sembari merampas lagi bukunya. Namun belum selesai ia mengambil bukunya, Dion sudah mencegahnya lebih dulu.

“eiittttssss!! Engga bisa, ini pesenan gue dari awal..” kata Dion. Beberapa saat ia terlarut dalam lembar- demi lembar resep yang tersusun rapi dan jelas. Belum lagi foto- foto yang bikin Dion semakin pengin cepet- cepet pulang dan mempraktekannya. Tanpa disadari, Luna mulai ngambek.

“gue sehat- sehat aja kok. Gue cocok kok dengan udara disana. Orangnya baik- baik kok, ramah- ramah. host family gue juga baik banget,,” jelas Luna tanpa ditanya. Dia bête, baru dateng tapi Dion malah buka bukunya doang, engga nanya kek gimana kabarnya dia disana selama 2 bulan..

“ciee cieee.. ngambek ya mbak? Hehe.. sori- sori.. gue nunggu ini udah luaaammma, Lun. Maklum lah.. “ kata Dion sambil mengacak- acak rambut sahabatnya itu. Dalam hatinya, I miss you too, Luna.

“pake nanya lagi.. eh, lo beneran mau bikin itu semua?”

“hmm.. gue pelajari dulu. Liat juga bahannya ada apa enggak disini. Kalo agak susah dapetnya, nanti gue akalin diganti pake apa. Tapi secara umum sih kayanya iya. Kenapa?”

“hmm.. gue ikutan ya? Itu.. gue pengin lo bikinin gue yang ini..” kata Luna sambil menunjuk foto sausage roll di bukunya. Dion membaca resepnya sejenak. Ia menggangguk yakin kalau dia bisa membuat ini di rumah.

“sippo.. siap ya menerima setiap kegagalan resep ini?” jawab Dion tersenyum. Setelah itu Dion pulang, membiarkan Luna istirahat dulu.
****
                Luna memang sahabat Dion. Tapi Luna jarang bisa ke rumah Dion, karena Dion memang jarang ada di rumah kalo sorean. Hari ini baru kali ketiga Luna ke rumah Dion, itupun untuk mulai mempraktekkan resep yang diberikan Luna beberapa minggu lalu. Dengan sifat Luna yang supel, dengan mudah ia bisa menyesuaikan diri dengan anggota keluarga Dion, ia tidak pernah menanyakan tentang keberadaan ayah Dion sampai Dion menceritakannya sendiri, Luna mengerti kalau bagi Dion itu mungkin hal yang tidak bisa ia ceritakan ke sembarang orang.

“Lun, telornya tambahin satu deh..” kata Dion.

“hah? Lagi? Yakin lo? Enggak kebanyakan?”

“ck, kalo semuanya diitung kaya lo, enggak akan enak makanannya tauk..” ejek Dion yang dibalas seringai kesal Luna. Kalo soal masak apapun, serahin aja deh sama Dion.

Beberapa lama kemudian, quiche buatan Dion siap untuk disantap. Hari ini dimulai dengan menu yang paling simple dulu, yang bahannya paling gampang dicari. Di supermarket juga banyak.

“gimana bu?” tanya Dion.ibunya ini punya lidah yang sangat selektif. Tidak heran kalo Dion selalu minta advice dari ibunya ini.

“hmmm… enak, nak.. enak banget. Pas. Kerasa kejunya..” balas ibunya sambil terus memakan quiche buatan anaknya itu.

“kaaakk.. Randy mau..”

“kakak juga deekk.. enak emang punya adik tukang masak..hehe..” goda kak Nindy.

Dion memotongkan quiche itu, potongan sedang untuk kak Nindy dan Luna, dan potongan kecil untuk Randy. Dion enggak perlu banyak makan, ia hanya perlu tau apa rasanya udah sesuai ato belum sama keinginannya.

“ Yon.. lo uang darimana buat beli bahan sebanyak ini? Maksud gue, keju yang tadi kan mahal..” tandas Luna.

Dion mengeluarkan buku kecil dari dalam tasnya lalu memberikannya pada Luna. Luna membuka buku kecil itu, yang ternyata adalah buku tabungan Dion.

“ini,,,”

“tabungan gue. Baru gue mulai sekitar 4 bulan yang lalu. Gue ngerasa perlu buka tabungan untuk nyimpen uang hasil part time gue..” Dion memandang ke dalam sejenak, memandang adik, ibu, dan kakaknya yang sedang senang menikmati makanan buatannya.

“gue enggak akan ngerepotin mereka lagi demi hobi gue ini, Lun.. jadi gue putusin untuk ngumpulin uang dari gue kerja selama ini..”

“jadi, lo ikutan tes ke Sydney Cuma untuk nguji seberapa lo bisa?” tanya Luna memastikan.

“yep.. akhirnya lo mengerti juga. Gue enggak bisa omongin itu ke elo, gue enggak tau apa gue harus ngomong itu apa enggak..”

Luna menghela nafas sambil menangguk mengerti. Kini dia benar- benar menghargai bahkan bangga dengan apa yang telah sahabatnya korbankan untuk keluarganya. Kalo Luna sih, punya duit lebih bakal langsung dipake buat beli apa aja yang dia mau, mungkin beberapa tahun ke depan dia baru kepikiran sama buku tabungan.

“ dulu ayah seniman. Dia pelukis andal yang lukisannya kemana –mana. Cuma selayaknya seniman, dia Cuma ngelukis bukan berdasar pesanan, tapi berdasar moodnya dia. Kalo dia enggak mood 3 bulan, ya dia enggak akan ngelukis 3 bulan. Dan selama itu, ibuku selalu bisa dengan susah payah mengatur keuangan kita, buat makan, bayar sekolah, dan semua keperluannya.”

“untung ayah rajin menabung, jadi saat dia pergi, kita semua enggak kelabakan. Gue rasa dari dialah bakat menabung gue lahir..”

“and your passion for something..” lanjut Luna. Dion menatap Luna lalu tersenyum..

“and my passion for something..”

“lo tau, Yon.. waktu di Sydney kemaren, gue liat kalo St. George lagi bangun college untuk bidang yang sama. St. Joseph, itu nama sekolah tinggi yang akan dibangun. Gue ngebayangin lo bisa kesana, bisa sekolah disana dan menggapai mimpi lo dari sana. Apapun yang terjadi, Yon, jangan pernah nyerah. Gue bakal selalu dukung lo, gimana pun caranya itu..”

“makasi banget, Lun. Gue pasti berusaha meraih mimpi gue. Gue enggak akan berenti sampe gue berhasil, karena gue pengin ibu enggak kerja keras lagi di masa tuanya, gue pengin Randy sekolah di tempat terbaik tanpa perlu khawatir gimana dia membayar sekolahnya. Gue pengin jadi orang berarti buat keluarga gue..”

“lo pasti bisa.. selama lo mau berusaha..” kata Luna sambil menatap Dion dalam- dalam.

                Sampai di rumah, Luna memberikan quiche buatan Dion pada mamanya, dan mamanya amat menyukainya.

“Dion itu, sangat berbakat ya,,” Luna hanya mengangguk sambil tersenyum.

“tapi ma, Dion itu hidupnya susah. Maksudnya, enggak kaya Luna. Yang apa- apa gampang, Luna punya papa yang ngasi Luna semua yang Luna mau, beda banget kaya Dion. Itu kenapa ma, Dion pulang malem hampir tiap hari buat cari- cari tambahan uang. Ini bahan- bahan untuk buat ini semua dari tabungannya dia. Tadi Luna dikasi liat tabungannya, lumayan banyak ma, lumayan buat anak seumuran kita. Luna ngebayangin apa Luna bisa kaya dia kalo Luna ada di posisi yang sama, atau Luna Cuma mengeluh sama keadaan..”

Mamanya tersenyum mendengar pernyataan Luna, “mama senang akhirnya kamu sadar betapa beruntungnya kamu. Mama bukan bilang kalo hidupnya Dion itu sengsara, malah justru hidupnya dia nanti pasti bakal sukses, karena dia tau betul susahnya bertahan hidup. Mama lega kamu punya teman yang berkualitas seperti dia, dari dia kamu bisa belajar tentang sulitnya mencari uang, lelahnya mengejar mimpi. Mimpi yang indah- indah itu enggak apa- apa, asal kamu mampu berusaha untuk meraih itu semua..” jelas mamanya lembut.

“pacaran aja, Lun..” sela papanya tiba- tiba. Luna kaget mendengar papanya berkata tiba- tiba seperti itu..

“papa..”

“iya.. kenapa juga kamu mesti pacaran sama anak yang enggak jelas kaya yang banyak sekarang? Ini yang deket ada, jangan kamu lepasin gitu aja. Dia juga suka kamu, tinggal tunggu waktu..” goda papanya.

“papa sok tau banget..” jawab Luna.

“looh.. papamu ini lelaki loh, ahli membaca sinyal, dari sinyal yang papa tangkep, Dion pasti ada rasa ke kamu. Kalo enggak, mana mungkin dia mau dateng kesini malem- malem kaya kemaren?”

“papa ngomongnya udah kaya provider, sinyal mulu yang diomongin..” kata Luna sambil masuk ke kamarnya. Dia enggak menyangka papanya memperhatikan sejauh itu.

                Hari- hari berikutnya banyak dihabiskan Luna bersama Dion, tidak jarang juga bersama dengan keluarganya. Semakin hari, Luna semakin kagum dengan sosok Dion yang penuh semangat. Meski badannya lelah luar biasa, namun ia tetap menemukan cara untuk tetap sehat, tak jarang Luna mengingatkan Dion untuk tetap rutin makan.
                Tidak terasa 2 tahun telah berlalu. Kini Dion dan Luna telah siap untuk melangkah meraih mimpi masing- masing. Luna akan kuliah di jurusan Public Relation, sedangkan Dion akan sekolah kuliner di salah satu sekolah yang akan menerimanya. Hari ini, mereka akan mengadakan perpisahan dengan teman- teman di klub debat mereka.

“untuk kak Luna dan kak Dion.. senior kita yang paling banyak menyumbang piala di klub kita..” kata seorang adik kelas yang langsung disambut riuh oleh semua anggota.

“ aku berharap, kalian bisa berusaha lebih baik dari kami. Kami mau saat kami kesini nanti suatu hari, kami akan melihat lemari- lemari pajangan lain yang isinya piala dari klub debat bahasa inggris..” balas Dion penuh makna.

“yang kalian butuhkan Cuma semangat, hal baik lain bakal mengikuti di belakang kalian..” sambung Luna yang kembali disambut tepuk tangan dari seluruh anggota klub. Setelah acara perpisahan, Luna menyempatkan diri lagi untuk mampir ke rumah Dion. Luna janji untuk main kesana setelah ia berhasil mendapat tiket masuk ke Universitas Diponegoro, Semarang, jurusan Public Relation. Selain itu ia menagih janji Dion yang akan membuatkannya sausage rolls idamannya.
                Sesampai di rumah Dion, Luna menghabiskan waktu untuk membantu ibunya Dion atau bermain bersama Randy. Randy sangat senang kalo Luna main ke rumah, selain ramah, Luna juga selalu sempat membawakan makanan- makanan kesukaan Randy, meski sudah berulang kali ibunya Dion melarang Luna, tapi tetap saja Luna enggak pernah menggubris himbauan ibu Dion yang ia anggap tidak lebih sebagai bentuk rasa tidak enak.
                Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya sausage rolls Dion jadi juga. Dion sengaja enggak mengijinkan Luna ikut bikin makanan ini, ia ingin membuat makanan Luna ini sendiri, Luna nurut karena diancam kalo dia ikut bantu, maka Dion enggak akan membuatkan itu untuk Luna.

“ya owloh.. akhirnya jadi juga ini makanan.. hmmm wangi banget, Yoooonnn…” kata Luna sambil menciumi sausage rolls buatan Dion.

“silahkan tante.. “ kata Luna mempersilahkan ibu Dion untuk mencicipi terlebih dulu. Setelah itu baru Luna mencoba makanannya.

“enak banget, Yoon.. jago banget lo. Sama banget rasanya kaya yang gue makan di Sydney kapan hari..”

Dion tersenyum puas, “ hehe.. makasi Lun.. oia.. gue beli ini juga tadi,,”kata Dion sambil memberikan sebuah fortune cookies untuk Luna.

Luna segera membuka kue itu lalu membaca tulisan di dalamnya..

‘ what if we were made for each other, born to become a bestfriend and lover..’

Itu tulisan yang ada di dalam fortune cookies, ada yang salah nih, mana ada fortune cookies isinya begini? Luna menatap Dion..

“lo yang buat ini. Kue ini, iya kan?” kata Luna menahan senyum di bibirnya..

“hmm..” desah Dion.

“lo engga usah repot boong sama gue, lo pikir gue enggak pernah makan fortune cookies sebelumnya?” tes Luna.

Dion enggak menjawab pertanyaan yang sudah diketahui Luna jawabannya, ia malah mengalihkan pembicaraan ke arah awal yang ia ingin bicarakan.

“jadi.. apa lo mau jadi ‘the lover’ buat gue? Karena gue rasa, gue butuh lo buat support gue selalu kaya yang selama ini lo lakuin, Lun. Jujur, lo tuh salah satu sumber semangat gue setelah keluarga gue..” papar Dion.

“gue selalu nunggu momen ini,Yon. Dan gue selalu nunggu buat bilang ‘iya’ ke elo. Elo sosok yang bisa jadi contoh buat gue, dari lo gue banyak belajar, dari lo gue punya keluarga baru yang bikin hidup gue semakin berwarna.. “

“tapi, Lun.. inilah kehidupan gue. Jauh beda sama kehidupan lo yang serba cukup. Gue kuatir apa elo enggak canggung ada di lingkungan gue? Gue bakal berusaha memperbaiki semua ini, tapi sementara itu, apa elo bisa nunggu?”

Luna tertawa kecil, “Dion, justru kehidupan lo yang seperti ini yang gue cintai. Kehangatan, kasih sayang yang bener- bener tulus dari semuanya udah bikin gue enggak mampu minta apa- apa lagi. Lo bilang lo bakal berjuang buat mimpi lo, gue bakal ada disini buat dampingin lo berjuang sampe kapan pun. Kalopun lo gagal, gue tetep yakin gue sedang ada sama orang yang tepat.. karena gue tau siapa cowok yang gue sayangin..”

“so.. it’s a yes?” tanya Dion

“it’s a yes..” jawab Luna lalu disambut pelukan dari Dion.

“makasi buat kesempatan lo, Lun.. tapi masih ada satu kejutan lagi..” Dion menyerahkan surat yang masih ada di dalam amplop. Dion meminta Luna untuk membukanya. Dan betapa kagetnya Luna saat membaca isi surat itu..

“St. Joseph?????? Lo KETERIMA di St. Joseph???!!!” Luna sangat senang sampai secara spontan kembali ia memeluk Dion.

“ya ampun, Yooonn!! Selamet yaaa.. akhirnya gue enggak keterima sendirian..hehe.. gimana ceritanya? Kok lo enggak pernah cerita sama gue?”

“ya biar surprise lah, Lun. Lagian waktu ngelamar kesana juga aku masih ragu, secara St. Joseph gitu kan. Sekolah tinggi hospitality paling bergengsi seAussie, sehebat apapun gue menurut banyak orang, gue tetep ada minder. Maunya kalo enggak keterima yang gue enggak akan cerita apa- apa sama lo.”

“gue bisa dapet formnya dari salah satu supervisor wedding yang pernah gue bantu. Dia bilang dia suka sama kerja gue, setelah ngobrol- ngobrol lama akhirnya dia nawarin kalo dia punya temen yang punya akses langsung ke St. George. Gue keinget elo pernah cerita gimana itu St. George. Gue tertarik dan akhirnya gue coba buat masukin lamaran gue kesana..”

Luna mengangguk pelan, “tapi..lo enggak akan buang ini lagi kan? Kaya dulu..” tanya Luna takut. Ia enggak pengin sahabat yang baru sah jadi kekasihnya ini kembali harus membuang mimpinya.

Dion menggeleng sambil tersenyum yang disambut pula dengan senyum lega Luna, “scholarship. Kali ini gue enggak akan sia- siain kesempatan ini. Dengan tabungan gue, cukup untuk mengurus segala keperluan teknis untuk gue stay disana..” jelas Dion.

“apa? Jadi lo sekolah disana dibayarin juga?”

“sampe gue lulus..”

“astaga!!! Lo manusia macem apa sih., yon? Kenapa lo bisa beruntung gini sih hah??” kata Luna gemes sambil ngacak- acak rambut Dion.

Dion tersenyum penuh syukur, namun sekejap raut wajahnya berubah, “so.. can I go?”

Luna mencoba menjawab pertanyaan Dion, bukan Luna namanya kalo enggak bisa bikin Dion tercekat, “emang kalo gue bilang enggak, elo enggak akan pergi?”

Dion kaget setengah mati mendengar pernyataan Luna, “Luna?” kata Dion.

“hahaha.. kena dehhh!!! Cuma ngetes, Yon. Gue tau kalo saat ini bakal dateng, gue tau elo siapa, apa mimpi dan ambisi besar lo. Lo pikir gue bisa minta lo mengubur itu semua? Cuma karena alasan cinta lagi, cemen banget lahh..hehehe.. “

Dion geleng- geleng kepala mendengar kemampuan Luna membuat jantungnya hampir lepas dari tempatnya. Karena jujur, Dion engga tau harus jawab apa pertanyaan Luna tadi.

“ gue akan ada disana kurang lebih 5 taun, paling lama 8 tahun kalo gue pengin jadi professional..”

“well.. selama itu gue bisa cari cowok laen dulu laah..” goda Luna.

“heh!! Berani lo? Yakin bisa dapet yang persis kaya gue?”

“iih.. maleesss..” tepis Luna, “seperti yang baru gue bilang, gue enggak akan menghalangi satupun langkah lo buat meraih apa yang udah jadi mimpi lo. Gue aka nada disini sebagai orang yang sama. Lagipula gue juga mesti sekolah yang bener, mengejar karir gue untuk bisa jadi wanita karier yang handal.. jadi gue ijinin elo pergi.. asal lo janji bakal balik ke gue..” jawab Luna tersenyum manis.

“gue bisa pergi kemana lagi sih, Lun.. selain keluarga gue, gue Cuma punya lo..” balas Dion. “makasi ya, gue janji bakal balik secepet yang gue bisa..”

“jangan buru- buru,. Gue enggak mau punya pacar yang sekolahnya setengah- setengah gara- gara udah kebelet nikah.. hehe.. tetep jaga hasrat lo yang kaya sekarang.. jangan goyah apapun yang terjadi.,” tegas Luna.

“pasti..”
****
                Tahun- tahun berlalu. Pasangan ini menjalani cita- citanya masing- masing. Luna menyelesaikan studynya selama 3,5 tahun dengan predikat layak mendapat pujian alias cumlaude,setelah selesai kuliah Luna bekerja di salah satu perusahaan property raksasa di Indonesia bagian pemasaran. Selama bekerja, Luna kembali melanjutkan studi S2 nya di UI agar ia mampu meraih jabatan yang lebih tinggi lagi yakni manager bagian pemasaran, pendidikan lebih lanjut dirasa sangat penting mengingat Luna nantinya tidak hanya berhadapan dengan konsumen saja, melainkan juga investor besar baik dari dalam maupun luar negeri.
                Di luar sana Dion menjalani hari- harinya nyaris mulus. Dengan semangat dan kemampuan yang ia miliki, Dion mampu menjadi bintang di St. Joseph. Setiap hari selama hampir 4 tahun Dion belajar dan bekerja siang malam, ia dipercaya untuk menjadi asisten dapur di restoran bintang 5 di Sydney, Australia. Dion juga rajin mengembangkan resep- resep baru agar dapat menjadi menu- menu andalannya suatu hari nanti. Menjelang akhir tahun ke empatnya, Dion mendapat kesempatan untuk mendalami masakan Eropa di Munich, Jerman. Untuk alasan ini, ia harus resign dari St. Joseph atas dukungan penuh dari guru- gurunya disana.
                Karier yang cemerlang tidak membuat hubungan Dion dan Luna menjadi renggang. Hampir setiap hari mereka sempatkan untuk saling berkomunikasi. Mungkin seminggu sekali mereka ber- skype untuk beberapa jam, sekali dalam setahun Dion pasti pulang ke Indonesia untuk mengunjungi keluarganya dan Luna. Kini ibunya  tidak perlu lagi memikirkan biaya pendidikan Randy, karena uang kiriman Dion sudah lebih dari cukup untuk menyekolahkan adik kesayangannya itu. Mimpi Dion untuk dapat membahagiakan keluarga sudah hampir tercapai. Natal tahun ini Dion kembali datang ke Indonesia, kali ini dengan tujuan yang lebih khusus, yakni melamar kekasihnya Luna. Tentu saja Luna tidak tau akan rencana ini, bagi Luna ini hanya kepulangan rutin Dion ke Indonesia.
                Hari ini adalah ‘ The Day’ yang sudah disiapkan Dion sejak lama. Ia berharap malam ini ia bisa pulang dengan hati yang penuh kebahagiaan, begitu juga dengan Luna. Dion sudah memesan tempat eksklusif di salah satu restoran mewah di Bali, ia sudah memesan tempat ini sejak lama karena restoran ini adalah milik salah satu gurunya di St. Joseph. Waktu menunjukkan pukul 8 malam, dari kejauhan Dion bisa melihat kedatangan Luna dengan gaun diatas lutut dan berlengan panjang membalut tubuh indahnya. Luna tersenyum lebar saat meihat Dion telah menunggunya.

“ hai sayang.. I miss you..” kata Dion sambil mencium pipi Luna dan menarikkan tempat duduk Luna.

“ i always am..” balas Luna lembut.

“ kok sepi, Yon?” tanya Luna heran melihat suasana sepi di sekitarnya. Cuma ada alunan music yang sepertinya berasal dari MP3.

“ enggak tau, kamu mau rame? Aku panggilin Randy aja ya?” goda Dion

“hehehe.. jangan, jangan. Enggak usah..” “menunya mana nih? Udah laper..” kata Luna lagi.

“enggak usah pake menu, makanannya gue yang atur..hehe..”

“huu.. iya deh bapak Chefku tercinta..” jawab Luna yang disambut senyum manis Dion.

Beberapa menit kemudian seorang pelayan datang menuangkan carmenere red wine tahun 2004. Dion tak henti menatap Luna sejak tadi, menatap sosok wanita yang begitu setia mendampinginya dari jauh selama lima tahun lebih. Padahal ia tau, bahwa sangat mudah bagi Luna mendapatkan lelaki yang sudah mapan ketimbang menunggu dirinya sukses seperti sekarang ini, belum lagi kesabaran Luna menghadapi hasratnya untuk terus berkarier di kancah yang lebih tinggi. Terkadang ia ingin puas sampai disini, tapi malah Luna yang tidak pernah mengijinkan itu dan mengatakan bahwa tidak perlu mengkhawatirkan tentang dirinya.

“Luna.. lo enggak bosen nungguin gue enggak jelas selama ini? Maksud gue, elo enggak capek? Saat temen- temen lo pada bisa pacaran tiap malam minggu, tapi elo ketemu gue Cuma setahun sekali,,” tanya Dion memulai pembicaraan.

“ funny. I’ve been asking that to my self for all these year..” jawab Luna singkat.

“ tapi, gue udah memilih buat mendampingi elo. Awalnya gue mikir mungkin gue bisa coba,kalo gue ngerasa enggak bisa, gue enggak akan nunda buat bilang gue done sama semua ini. Tapi lambat laun gue ngerasa kalo inilah cinta, maksud gue, ini yang namanya proses menuju kedewasaan. Kita enggak bisa ketemu tiap minggu, tapi karena itu gue bisa menghargai waktu yang kita punya buat bareng- bareng, Yon. “

“ ada satu titik dimana gue capek, bosen sama semua ini. Ini enggak gampang buat gue. Terus gue keinget elo yang jauh disana, apa elo juga enggak capek selalu berusaha seneng di depan gue? Padahal gue tau gimana keras dan capeknya elo belajar dan kerja di luar sana. Apa adil buat lo kalo gue hanya minta lo buat sering dateng dan ada buat gue? Ini emang enggak sesederhana hubungan orang lain, itulah yang buat gue masih dan terus akan bertahan mencintai orang di depan gue ini..” jelas Luna.

Dion tidak mampu berkata- kata lagi.kini ia benar yakin mengenai cewek yang sudah berubah menjadi wanita dewasa seutuhnya. Temen SMA yang dulu ia kenal secara tidak sengaja kini malah menjadi tempat sandarannya yang tidak perlu ia ragukan lagi..

“lo tau, gue lelaki yang sangat beruntung karena pernah kenal, sahabatan, bahkan menyerahkan semua yang gue punya sama wanita seperti Luna. Makasi elo udah lakuin ini semua selama gue pergi.. “ kata Dion sedikit serak karena menahan rasa harunya.

Luna tersenyum, “ so.. can we eat?” kata Luna sambil tertawa..

Dion ikut tertawa lepas mendengar jawaban spontan Luna, beberapa saat kemudian makanan datang.

“sebelum lo makan,boleh gue ceritain ini makanan?” tawar Dion.

“waah.. boleh-boleh.. biasanya gue didongengin sebelum tidur, tapi sekarang sebelum makan..hehe”

“ ini pengembangan resep gue, Lun. Gue milih- milih sejak di Jerman, mana yang akan gue tunjukin ke elo. Dan akhirnya gue memilih ini untuk menu makan malam kita. Scallops with cheese and ginger sauce . “

Luna memandang makanan yang terkesan sangat mewah ini, ia tidak sabar mencicipi masakan baru terobosan Dion, “ slrrrppp.. pasti enak nih ya, eh tunggu, lo bilang ini resep lo, kok elo disini? Terus yang masak siapa?”

“anda memanggil saya, nona?” sebuah suara dari belakangnya membuat Luna menoleh ke belakang, Dion tersenyum ke arah suara itu.

“hah? Edwin???!!” Luna melonjak kaget. “jadi, elo yang masak ini? Waaaww..”

Edwin tertawa kecil, “ lo tau, gue mengalami training yang melelahkan buat kepercayaan bikin masakan ini. Lelaki itu cerewet banget sama gue, mulai dari bahan, sampe cara gue nyuci bahan aja di komen, kalo bukan temen lama.. enggak tau deh..”

Luna menggeleng dan tersenyum senang, “ loh,kapan lo belajarnya? Kan Dion baru balik kemaren lusa..”

“skype. Dan gue enggak mau resep gue gagal karena dimasak dengan cara yang salah.. oke, Win?” goda Dion.

“gue baru kali ini denger orang diajarin masak lewat skype..hahha” canda Luna.

“apa kata lo, deh bro.. dan selamat menikmati, Lun..” kata Edwin sambil pergi meninggalkan mereka berdua.

Luna kembali berkonsentrasi dengan makanan di depannya. Ia benar- benar menikmati makanan ini, pertama karena makanan ini udah enggak perlu diragukan lagi rasa dan kualitasnya dan yang kedua, ia ditemani oleh si empunya resep ini.. luar biasa!!

“enggak rugi gue lepasin lo di luar sana..” canda Luna.

“ini akan jadi menu andalan yang bakal gue ajuin ke le grande, Italia.. jadi belum ada yang tau tentang menu ini selain gue, elo, sama Edwin..” kata Dion.

“wawww.. gue yakin ini bakal jadi menu andalan beneran di le grande. Menurut lo ini bisa langsung masuk ke menu?” tanya Luna.

“hmm.. gue enggak tau. It’s le grande. Restoran nomor 1 Italia yang selalu dapet sorotan dari para kritikus makanan. Gue rasa masih perlu pengembangan lebih lanjut untuk bikin ini jadi ‘the list’ disana..”

“trus menurut lo apa yang bisa bikin ini andalan?” selidik Luna.

“ginger.. mereka suka kalo ada makanan dengan sentuhan rempah. Gue dari Indonesia, jahe bukan makanan asing buat kita, tapi disana jahe itu makanan langka yang harganya selangit. Karena itu gue terinspirasi buat bikin ini.. itung- itung buat promosi negara kita lah..”jelas Dion.

“clever..” balas Luna sambil menghabiskan main dish itu. “ini kalo enggak lagi di sini dan enggak pake baju beginian, gue bakal habisin ini saus di pinggir- pinggir.. so yummy!!!” kata Luna.

Dion bahagia karena Luna menyukainya, meski selama ini Luna engga pernah engga suka dengan masakannya, paling enggak resepnya. Baru selesai Luna menyantap habis makanannya, datang lagi makanan dessert yang tidak kalah menggodanya..

“ passionate de Luna..” kata Edwin sambil membuka penutup dessert itu.

“passionate de who?” tanya Luna memastikan nama hidangan yummy di depannya ini.

“kamu enggak salah denger, sayang..”

Luna geleng- geleng kepala mendengar jawaban Dion, “jadi apa ini menu yang Cuma gue, elo, dan Edwin yang tau?”

Dion menggeleng, “enggak.. ini menu dessert best seller di restoran gue di Munich, mereka bilang alasan awal mereka memesan ini karena menurut mereka nama dessert ini ‘kind of sexy’.. tapi selanjutnya, mereka bilang enggak bisa melupakan sensasi sausnya..”

Luna segera mencoba dessert yang menyertakan namanya ini dengan segera. Kue ini kalo dilihat sebentar engga ada bedanya sama cheese cake. Tapi di bagian atasnya, dibuat shiffon cake yang terbuat dari tape, campuran pas antara keju dan tape memang menghasilkan rasa yang sangat unik. Sausnya sendiri dibuat dari campuran coklat, rum, dan durian. Siapa yang menyangka kalau durian bisa menjadi favorit lidah- lidah barat? Bukan Dion namanya kalo tidak membuat gebrakan begini.

“ dan kenapa elo enggak pernah cerita tentang ini? Maksud gue, elo make nama gue, mestinya lo ijin dulu tauk.. “ canda Luna.

“ elo tau istilah ‘save best for last’? dan gue Cuma seneng bisa mengabadikan sumber inspirasi gue di karya gue, gue engga pernah nyangka ini bakal jadi best menu dalam waktu sebulan penjualan..” jelas Dion penuh haru.

“makasi sayang, ya.. sumpah aku seneng banget sama kue ini, dan aku engga bisa jelasin gimana bahagianya aku malam ini.. “ kata Luna mulai berkaca- kaca. Cewek emang gampang banget kepancing sama momen kaya gini.

Dion mencium tangan Luna lalu mengambil sesuatu dari dalam kantongnya. This is it,batin Dion. Ini saatnya melancarkan aksi!

“kalo enggak ada lo, gue yakin engga akan pernah bisa sampe sekarang. Sejak dulu gue ragu apa bisa buat lo bahagia, sampai detik ini gue masih berusaha buat bahagiain lo. Gue enggak mau bikin lo nunggu lebih lama.. gue serius bakal memilih elo jadi pendamping hidup, penolong gue seumur hidup gue sampe gue mati nanti..”

Dion mengambil kotak cincin dari dalam kantong jasnya, ia membukanya perlahan, lalu terlihatlah kilau cahaya dari pantulan cincin berlian di dalam kotak itu..

“menikahlah denganku, Luna Pramoedya..” Dion menatap mata Luna dalam- dalam.

Luna menangis, ia menatap Dion penuh rasa bahagia. Mimpi pun ia tidak pernah kalau ia akan dilamar hari ini. Maksudnya, ia pikir Dion masih akan pergi mengejar mimpinya. Tapi ia salah, ia memang tidak pernah bisa menebak apa yang Dion sediakan untuk dirinya.. tanpa ragu lagi, Luna menerima lamaran manis Dion.

Luna pun mengangguk penuh arti. Dion beranjak dari tempat duduknya, berlutut di hadapan Luna lalu memakaikan cincin berlian itu di jemari lentik Luna. Luna begitu bahagia sehingga ia langsung memeluk lelaki yang sangat dicintainya itu..

“ makasi, Dion..” kata Luna di sela tangis bahagianya.

Dion tersenyum tak kalah bahagianya. Akhirnya wanita yang juga sangat dicintainya ini menerima lamarannya.

“sekarang lo tunangan gue, elo enggak bisa macem- macem lagi selama gue jauh..” canda Dion sembari kembali ke tempat duduknya.

“apa? Jadi ini cincin buat pengikat gue biar enggak macem- macem? Huhuhu.. enggak sangka gue..” kata Luna cemberut.

“ hehe.. kira- kira begitu nona..”

“lo enggak perlu cincin ini buat mencegah gue macem- macem saat lo jauh. Karena lo enggak akan pernah jauh lagi dari gue..”  tandas Luna yang membuat Dion terdiam.

“ maksudnya, Lun? Lo tau kan gue masih akan ke Jerman setelah ini, terus..” kata- katanya terputus.

“setelah itu le grande, Italia, dan perjalanan menuju kesana bukan setaun dua tahun, iya kan?”

“gue akan pergi sama elo. Kemanapun, gue akan ada di samping lo..”

“tapi, Lun.. bukan ini yang gue maksud. Maksud gue, gimana karir lo? Yang udah lama lo rtintis, apa mau lo tinggalin gitu aja?” “gue tau gimana elo berjuang sampe disini..”

Luna menghela nafas, “ Dion, gue ngerasa udah cukup gue merasakan jatuh bangun berkarir, punya uang sendiri. Dan jujur, gue ngerasa udah engga bisa lagi berada jauh dari lo.. buat 4 atau 5 tahun lagi, gue enggak sanggup, Yon. Enggak bisa gue biarin elo capek sendirian disana, sedangkan gue hanya bisa menyemangati elo dari sini, gue tersiksa banget selama itu. Bertahun- tahun ini gue berusaha sebaik mungkin bekerja dan belajar, itu semua gue siapin buat layak bersama lo suatu hari nanti.”

“dan kalo kita nikah nanti, apa mudah buat suami istri hidup berjauhan terus- terusan? Ini udah keputusan akhir gue, papa mama udah setuju dan mereka mengerti betul hal ini. Apalah arti karir cemerlang tapi gue enggak punya lo buat gue ajak berbagi,, jadi tolong.. ijinin gue.. ya?” pinta Luna.

Dion menghela nafas panjang. Dia bukannya tidak senang Luna akan ikut bersamanya, dalam hatinya ia pun tersiksa harus berjauhan dengan wanita yang dicintainya ini. Tapi di sisi lain, ia tidak ingin meminta Luna melepaskan karirnya di Indonesia. Dion pun bosan setiap hari harus mengurusi dirinya sendiri, saat ia lelah ia juga ingin ada yang bisa memberinya, paling tidak, segelas teh dan sebuah kecupan hangat..

“ apa sekarang gue keliatan egois? Apa sejak dulu gue egois, Lun ke elo? Selama ini selalu elo yang ngerti, yang ngalah.. yang gue tinggalin sendirian, dan sekarang elo bakal ninggalin semuanya demi gue, lagi..” keluh Dion.

Luna menggelengkan kepala pelan sambil tersenyum, “ terlalu sempit rasanya kalo gue hanya menjawab iya ato enggak. Dan gue enggak tua apa ini namanya egois ato enggak, yang gue tau hanyalah gue enggak bisa berjauhan sama lo lebih lama.. tolong ijinin gue pergi sama lo. Gue pengin saat lo capek lo lari hanya ke gue, saat lo seneng lo hanya akan datang ke gue.. ini baru namanya egois..”

“kalo itu egoisnya elo, maka jadilah egois selamanya buat gue..” jawab Dion sambil kembali menatap Luna dalam- dalam.

“asiiikkkk!!! Mungkin elo bisa pergi duluan, gue akan beresin urusan gue disini dulu, mungkin tahun depan gue nyusul ke Jerman. “ jelas Luna.

“makasi, Lun., buat keputusan besar yang udah elo ambil..” jawab Dion sambil mencium kening Luna.

Luna kembali tersenyum.. “ Dion..”

“ya?”

“bisa kita pergi dari sini, trus kita cari tukang nasi goreng terdekat?”

Tawa Dion meledak, “hahahahahahaha.. elo laper?”

“ yah, sejak kapan gue kenyang dengan 3 biji scallops dan dessert sepotong, sayang?”

Dion pun meraih tangan Luna dan mengajaknya ke mobil. Di tengah malam, mereka berjuang keras mencari makanan yang paling merakyat di Indonesia, nasi goreng..
END








Tidak ada komentar:

Posting Komentar