Dhera menginjak gas mobilnya
lebih dalam lagi, waktu menunjukkan pukul lima pagi di hari pertama tahun 2013.
Ia menoleh ke jok di sebelah kirinya, Ferdi, kekasihnya tengah tertidur pulas.
Dhera yang menawarkan dirinya untuk menjadi ‘supir pengganti’ sampai Dhera tiba
di rumahnya di kawasan Cibubur. Menghabiskan waktu bersama dengan teman- teman
sembari merayakan datangnya tahun baru bersama kekasih sangat dinikmati Dhera
juga Ferdi, namun tidak bisa dipungkiri Ferdi pun lelah karena harus menempuh perjalanan
yang jauh, Dhera tersenyum melihat Ferdi yang masih dapat tertidur pulas meski
Dhera meliuk- liuk memecah sepinya jalan. Sesampainya di dalam rumah Dhera, ia
menggenggam tangan kekasihnya untuk membangunkannya.
“ hmmm… udah
sampe?” Ferdi masih belum membuka matanya.
“ udah..”
Ferdi segera
membuka safety belt-nya lalu membuka pintu mobilnya untuk melanjutkan
perjalanan pulang.
“ eh.. kamu
pulang sekarang?”
Ferdi
mengangguk, senyum mulai dapat terutas di wajah kuyunya.
“ jangan.. tidur
sini aja dulu sama Rangga..”
“ aduh jangan
deh, aku pengin cepetan pulang, pengin mandi sama ganti baju..”
“ tapi kamu
ngantuk, Fer,,” kata Dhera kuatir.
Ferdi tetap
menggeleng, “ tadi kan udah sempet tidur dari puncak sampe sini..” kata Ferdi
menenangkan kekasihnya itu.
Dhera menyerah,
percuma saja mendebat kemauan Ferdi, “ kamu yakin?”
“ iya.. nanti
kalo aku ngantuk, biar aku ke rest area aja istirahat,”
Dhera mulai
tenang, mudah- mudahan Ferdi benar- benar melakukan apa yang ia katakan.
“ ati- ati ya..”
kata Dhera sambil memberikan kunci mobil BMW itu kepada sang empunya.
“ oke, nanti aku
telpon…” kata Ferdi sembari mengenakan sabuk pengamannya.
****
Setengah jam setelah perjalanan,
Ferdi memasuki wilayah Tol Jagorawi, Ferdi mempertajam pandangannya dan mengurangi
kecepatan mobilnya sampai dengan batas minimum kecepatan yang diperbolehkan di
jalan tol. Tiba- tiba ponselnya berbunyi, telpon dari Dhera. Ferdi memasang
earphonenya.
“ halo,,” sapa
Ferdi.
“ dimana?”
“ KM 17..” jawab
Ferdi singkat. Ia tidak terlalu suka menerima telpon saat di jalan, tapi ia tau
Dhera akan terus menelponnya sampai ia mengangkatnya kalau sudah keadaan
seperti ini.
“ istirahat dulu
gih, sayang..”
“ iya ini
maunya, dua kilo lagi..” kata Ferdi sambil melihat papan jalan yang menunjukkan
rest area, pompa bensin, dan fasilitas umum lainnya.
“ ati- ati ya,,
jangan tidur..” Ferdi mengiyakan lalu memutus sambungan telponnya. Sebenarnya
untung Dhera menelpon, hampir saja Ferdi kehilangan kesadarannya, ia benar-
benar masih ngantuk.
REST AREA
500 M
Ferdi kembali
melihat plang jalan itu, kepalanya kini semakin berat karena mengantuk. Ia
menambah kecepatan mobilnya sampai 100KM/ jam dengan asumsi cepat sampai ke
rest area. Dengan kepala yang sudah sangat pening, pandangan matanya perlahan
kabur, sepersekian detik matanya terpejam dan
BLAAAARRRRRRRRRRRRR!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Detik berikutnya
tubuh Ferdi telah tertopang oleh air bag yang memang dirancang untuk mengembang
bila terjadi benturan keras pada mobil dengan tujuan melindungi pengemudi serta
penumpang di samping pengemudi.
Kini mata Ferdi
terbuka lebar sepenuhnya, jantungnya berdebar cepat, rasa kalut segera
menyerang benaknya.
Apa yang baru
saja terjadi????
Dengan sisa
kekuatannya Ferdi keluar dari mobil, keadaan diluar kacau.
Kini Ferdi sadar
bahwa karena kelalaiannya ia telah mengakibatkan kecelakaan yang sangat fatal.
Empat orang
korban terpental keluar mobil L-300 yang ditabrak oleh Ferdi. Daun pintu
penumpang L-300 itu bahkan sampai terlepas.
Ferdi semakin
kalut melihat korban yang tergeletak tidak berdaya di jalan, ia segera berusaha
menolong korban yang ia tabrak.
Diantara korban
bahkan ada yang tengah sekarat, terjadi pendarahan hebat di kepalanya. Ia tau
bila tidak segera ditangani, orang ini bisa meninggal dunia.
Sementara itu
Ferdi menggendong bayi yang terlepas dari ibunya, bayi itu hampir saja
terlindas oleh kendaraan yang melintas.
Tiba- tiba
seseorang datang menghampirinya, “ lo kenapa?” tanya orang itu.
“ gue nabrak..
gue salah..”
“ Sini SIM lo..”
Ferdi pergi ke
mobilnya untuk mengambil SIMnya lalu memberikan kepada orang tersebut.
Melihat Ferdi
yang terlihat sangat menyesal dan terpukul serta tidak melarikan diri, orang
tersebut melunak.
“ gue Aldo,
kenapa bisa sampe nabrak gini?”
Ferdi terlihat
terpukul, “Ferdi. gue ngantuk banget..”
Aldo geleng-
geleng kepala, namun ia tau saat ini tidak harusnya menyalahkan Ferdi. Masih
ada korban yang harus diselamatkan. Aldo pun segera menelpon PT Jasa Marga dan
Polsek setempat serta Ambulance.
Lima belas menit
kemudian bala bantuan datang, Aldo menyerahkan SIM milik Ferdi kepada yang
berwajib, sementara Ferdi masih bingung kesana kemari tidak tau apa yang harus
ia lakukan, Aldo menghampirinya.
“ udah.. bantuan
udah dateng. Mending kita duduk aja, sekalian lo inget- inget apa yang
terjadi.”
Ferdi duduk,
namun ia tentu masih shock akan apa yang menimpanya, berkali- kali Ferdi hanya
mampu menghela nafas panjang sambil membenamkan mukanya ke dalam kedua
tangannya.
****
Waktu menunjukkan pukul delapan
pagi, Dhera terbangun oleh suara ketukan kamar mamanya.
“ apaan sih,
Ma?”
Wajah mama Dhera
terlihat pucat, ia ragu harus memberi tau hal ini atau tidak.
Dhera bangun
dari tempat tidurnya, “ kenapa ma?”
Mama diam saja
lalu mengambil remote TV kamar Dhera, mama segera mengganti ke channel berita.
“ Ferdiansyah Nazril, anak bungsu dari
Menteri Pertahanan Ardiansyah Nazril, pagi ini dipastikan terlibat kecelakaan
lalu lintas di jalur maut tol Jagorawi pada pukul enam pagi waktu Indonesia
bagian barat. Dari kecelakaan ini, dua orang resmi dinyatakan tewas dan salah
satu diantaranya adalah seorang bayi berusia 1,5 tahun. Sampai berita ini
diturunkan, Ferdiansyah masih dalam keadaan shock akibat kecelakaan yang
disebabkan olehnya.”
Dhera tercengang
melihat tayangan berita itu, ia melihat handphonenya yang tadi ia pakai
menelpon Ferdi dan mengingatkan dia untuk beristirahat sebentar. Dhera menatap
mamanya bingung, mamanya pun tidak kalah bingungnya akan hal ini.
Dhera coba
menelpon Ferdi, namun tidak diangkat. Entah bagaimana dan dimana Ferdi
sekarang.
Ia kembali coba
menghubungi mamanya Ferdi, namun niat itu urung dilakukan saat ia melihat live
press conference oleh ayah Ferdi sendiri.
“pagi ini, anak saya, Ferdiansyah Nazril
telah terlibat dalam kecelaakaan yang menewaskan dua orang. Saya mewakili anak
saya menyatakan maaf yang sebesar- besarnya kepada keluarga korban yang
ditinggalkan, serta berjanji akan memberikan santunan yang layak bagi keluarga
korban.”
Ayah Ferdi,
meskipun pejabat publik yang telah terbiasa dengan keadaan media massa, tetap
saja terisak untuk menjelaskan kenyataan tersebut.
“saat ini, anak saya sedang dirawat di rumah
sakit pondok indah untuk menjalani beberapa tes. Proses hukum terhadapnya akan
dilaksanakan tepat setelah kondisi Ferdi membaik. Saya ucapkan maaf kepada
seluruh pihak terkait akan kejadian ini..”
Air mata jatuh
ke pipi Dhera, sosok ayah Ferdi yang biasanya penuh senyuman, begitu juga
dengan wajah tante yang selalu ayu dengan makeup naturalnya pagi ini terlihat
begitu terpukul. Tidak ada seutas senyum pun yang coba mereka urai kepada awak
media. Sungguh Dhera bersedih akan keadaan ini.
Andai saja Ferdi
mendengarkannya tadi, batinnya penuh penyesalan.
****
Ferdi menjalani serangkaian tes
bersama kakaknya. Ia harus menjalani pemeriksaan seperti tes urine, CT- Scan
hingga MRI untuk memastikan bagaimana keadaa tubuhnya. Ferdi yang ditemani oleh
Lea kakaknya mengikuti tes- tes itu dalam diam, tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya meski kakaknya mencoba untuk bertanya atau mencoba menenangkan
adiknya ini. setiap pertanyaan kakaknya hanya dijawab Ferdi dengan anggukan,
gelengan, atau helaan nafas panjang. Ferdi masih terngiang korban- korban yang
tidak sempat ia selamatkan, korban yang bahkan telah tewas akibat kelalaiannya.
Ia cemas, lebih dari yang orang lain bisa bayangkan. Psikiater pun didatangkan
khusus untuk memeriksa keadaan Ferdi, dari keterangan psikiater, Ferdi sedang
mengalami goncangan jiwa akibat peristiwa ini. belum dapat diketahui seberapa
hebat goncangan itu karena Ferdi tidak mengungkapkan itu baik dalam kata- kata
maupun tindakannya. Hanya raut wajahnya saja yang sedikit bisa memberikan
petunjuk akan keadaan batin Ferdi saat ini.
Sementara di halaman rumah sakit
telah banyak pencari berita yang menunggu Ferdi ataupun keluarganya untuk
memberikan pernyataan. Dibalik kerumunan itu, Dhera berjalan diantaraya, ia
memutuskan untuk mencari tau sendiri keadaan kekasihnya itu. ia tidak tahan
mendengar berita simpang siur di TV.
“ wartawan-
wartawan ini kaya lalat.. selalu berkerubung di hal yang sama..” gumam Dhera
seraya melewati awak media yang dengan terbuka memberi jalan pada gadis yang
mereka tidak ketahui siapa. Sampai di dalam, ia bertanya kepada resepsionis di
kamar berapa Ferdi dirawat, namun pihak rumah sakit rupanya tidak bersedia
memberitahukan atas permintaan eksklusif pihak keluarga, ia hanya diberi
informasi bahwa Ferdi ada di ruangan President Suite.
Mendengar
pernyataan itu, Dhera seolah tersadar, of course, sejenak ia lupa siapa Ferdi.
Dhera tidak memaksa
lagi, ia berjalan dengan langkah gontai karena gagal melihat keadaan Ferdi.
Namun saat ia akan duduk di lobi depan, seseorang menyapanya.
“ Dhera..” suara
mama Ferdi memanggil dengan lirih. Dhera menatap mama Ferdi dengan penuh haru,
wajah mama Ferdi sangat kacau berantakan. Dhera memeluk mama Ferdi.
Pelukan itu
disambut dengan isak tangis mama Ferdi, sejak tadi ia tidak dapat meluapkan
emosinya. Bagaimanapun ia harus terlihat kuat paling tidak di hadapan suaminya
yang saat ini tidak kalah terguncangnya dengannya. Mama Ferdi mengajak Dhera
untuk mengobrol di Lounge VVIP rumah sakit agar awak media tidak dapat melihat
mereka.
“ kenapa bisa
gini, Dhera.. tante bener- bener sedih.. tante kasian sekali sama Ferdi.”
Dhera semakin
penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi pada Ferdi.
“ tante, Ferdi
luka berat juga?” tanya Dhera, namun mama Ferdi tidak menjawab.
“ Ferdi,.
Anakkku.. Ferdi…” tangis tante semakin menjadi. Dhera semakin bersedih melihat
mama Ferdi seperti itu, air mata ikut membasahi pipinya. Perlahan keluar kata-
kata dari mulut Dhera.
“ Dhera salah
tante, Dhera salah..”
Tante menatap
Dhera dengan mata sembabnya..
“ coba aja Dhera
paksa Ferdi lebih keras tinggal di rumah, pasti semua ini engga akan terjadi..”
Dhera berkata demikian sambil menggenggam erat tangan mama Ferdi.
Mama Ferdi
sempat tertegun mendengar pernyataan Dhera, namun ia tau itu semua tidak mampu
mengubah kenyataan yang sudah terjadi.
Beberapa saat
kemudian, ayah Ferdi datang mendatangi mereka berdua. Ayah Ferdi berusaha
membentuk senyum di bibirnya yang mulai terlihat mengeriput. Dhera langsung
berdiri menyambut kedatangan ayah Ferdi.
“ Oomm..” Dhera
menundukkan kepalanya.
Ayah Ferdi
tersenyum sambil memegang pundak Dhera dengan tangannya yang hangat meski kini
beban yang sangat berat ditanggung oleh tangan itu.
“ oom yakin kamu
kesini mau ketemu Ferdi..”
Dhera menatap ayah Ferdi dengan penuh kesungguhan, untuk saat ini,
melihat keadaan Ferdi satu- satunya hal yang bisa membuatnya tenang. Maka ayah
Ferdi pun membawa Dhera ke kamar Ferdi, kedatangan mereka bersamaan dengan Lea
yang hendak ke kantin membeli makanan. Ayah Ferdi mengisyaratkan kepada Lea
untuk pergi ke kantin bersamanya dan memberi kesempatan pada Dhera untuk
melihat kondisi Ferdi.
Ia membuka pintu kamar Ferdi perlahan- lahan, ia
tidak berniat untuk berbicara dengan Ferdi. Lagipula apa yang harus ia katakana
pada Ferdi? Ia tidak ingin lebih membebani Ferdi dengan kesedihan dan
penyesalannya. Kamar Ferdi di rumah sakit terbagi atas dua sekat besar, ruangan
pertama adalah tempat para pembesuk yang datang, hanya dibatasi tembok, adalah
tempat Ferdi beristirahat serta menjalani perawatan sambil ditemani televisi.
Dhera mencoba
melihat Ferdi lewat tembok pemisah ruangan, ia melihat Ferdi sedang makan siang
sambil menonton televisi. Dhera tersenyum lega melihat tidak ada perban
sehelaipun yang membalut tubuh Ferdi, ia terus memperhatikan Ferdi dari ujung
rambut sampai jarak yang bisa ia tangkap dari balik tembok. Dhera mengernyitkan
dahi saat melihat Ferdi meletakkan sendok makannya dan berhenti makan, mata
Ferdi terpaku pada televisi di depannya.
Di TV sedang
ditayangkan berita mengenai korban tewas akibat kecelakaan yang menimpa mobil
L-300 yang dikendarai oleh Ferdi. Tatapan mata kosong Ferdi menunjukkan betapa
perih hatinya melihat nyawa orang lain melayang akibat dirinya. Dhera mampu
mengartikan tatapan itu, ia merasakan perih yang Ferdi rasakan hanya melalui
tatapannya. Tanpa sadar Dhera meneteskan air mata, tak sengaja ia terisak.
Dhera kaget, tidak menyangka ia terisak dan menimbulkan suara. Ia menutup
mulutnya berharap Ferdi tidak mendengarnya.
Tetapi Ferdi
mengecilkan volume TVnya, ia menoleh ke sumber suara. Dhera cepat- cepat
menarik dirinya ke balik tembok untuk menyembunyikan dirinya. Ia tidak siap
bertemu dengan Ferdi sekarang, ia tidak boleh seperti ini bila ingin Ferdi
melihatnya. Dhera panik setengah mati kalau Ferdi sampai tau ia disini, ia
tidak tau apa yang harus dipebuat karena tidak ada ruang baginya untuk
bersembunyi lagi kalau saja Ferdi melewati tembok ini, ia hanya berharap- harap
cemas.
Namun ternyata
Ferdi benar tidak menyadari adanya kehadiran orang lain di kamarnya, Ferdi
malah masuk ke kamar mandi. Kesempatan ini digunakan Dhera untuk pergi
meninggalkan kamar Ferdi. Sebelum pergi ia menatap tempat tidur Ferdi yang
kosong dan berita yang masih menayangkan berita tentang kekasihnya itu,
sementara air mata terus mengalir dari pelupuk matanya. Dalam perjalanan
pulangnya, Dhera terus menangis melihat kondisi Ferdi yang harus bersembunyi
dan menghadapi kenyataan mengerikan ini, bukan hanya merenggut nyawa orang
lain, namun hukuman penjara sudah menantinya di depan mata. Dhera menghapus air
matanya saat sampai di rumah.
“ Dhera, gimana
keadaan Ferdy?” tanya mamanya.
Dhera hanya menggeleng
lemah, ia tidak ingin banyak bicara saat ini.
Mama menatap
papanya Dhera, mereka berdua menghela nafas dalam, merasa ikut bersedih akan
peristiwa ini.
“ padahal Ferdy
itu anak baik ya pah, tapi harus terjebak dalam situasi kaya gini..”
“ iya, kasian
dia.. mudah- mudahan dia kuat sama proses yang akan panjang ini..”
Dhera
mendengarnya dari dapur, ia cemas mendengar kata ‘proses panjang’. Ia
meletakkan gelasnya lalu ke kamar.
Sementara di kamar rumah sakit,
Ferdi sedang termenung sambil sesekali menengok ke halaman rumah sakit. Media
sudah mulai sepi sekarang, pemberitaan di televisi juga sudah mulai berganti
dengan sinetron atau acara talkshow. Ia menghela nafas panjang, tak bisa hilang
dari pandangan matanya kecelakaan naas yang diakibatkannya, namun setiap kali
ia mengingat hal itu mendadak kepalanya sakit, ia tidak bisa mengingat detail
yang terjadi hari itu, hanya lewat berita ia bisa tau apa yang terjadi. Hal ini
membuat Ferdi stress, karena setiap stasiun TV memiliki versi yang berbeda.
Ayah dan ibunya sedang mengunjungi keluarga korban, kini ia tau salah satu
alasan kenapa tidak ada wartawan di sini, pasti mereka sedang memburu ayahnya
sekarang. Karena dia, ayahnya yang harus terkena imbasnya, Ferdi marah pada
dirinya sendiri karena ayahnya harus terkena imbas buruk akan kelalaiannya.
Bayangan Dhera muncul di benaknya, sesekali Ferdi ingin Dhera berada di
sampingnya saat ini, bersamanya melewati masa sulit ini. namun sekali waktu
lagi, Ferdi menganggap bahwa lebih baik Dhera menjauh darinya, tidak perlu tau
bagaimana keadaannya, karena bukan tidak mungkin Dhera akan terkena imbas dari
kasus ini. ia tidak ingin itu terjadi, kalau pun bisa, ia ingin hanya dirinya
saja yang harus menanggung malu, beban, serta hukuman atas perbuatannya.
****
“ tok tok tok..” pagi- pagi
pintu kamar Ferdi berbunyi, suster biasanya pada jam 6 pagi datang untuk
mengecek kondisinya. Ferdi tidak menjawab apa- apa, biasanya suster langsung
masuk tanpa harus dipersilahkan lebih dulu, Ferdi kembali memejamkan matanya..
beberapa lama kemudian, suster tidak kunjung memeriksa kondisinya, malah suara
berisik tas plastik yang ia dengar. Ferdi pun membuka matanya dan kaget melihat
sosok yang mendatanginya pagi- pagi begini.
“ Dhera?” Ferdi
kaget setengah mati melihat Dhera ada di samping tempat tidurnya, sibuk
merapikan barang bawaannya.
“ Dhera?” Ferdi
kembali memanggilnya, memastikan kalau itu bukan mimpi. Karena baru semalam ia
memikirkan kekasihnya ini.
“ apa?” jawab
Dhera pada akhirnya dengan seutas senyum lebar di bibirnya. Ia senang sekali
Ferdi mau berbicara dengannya. Keterangan yang ia dapat, Ferdi amat sulit
diajak berkomunikasi.
“ kamu kok
disini?”
Dhera mengangkat
bahunya, “ aku dateng kesini pagi- pagi supaya engga ada lalat- lalat yang
keburu dateng..”
“ lalat?” tanya
Ferdi yang kurang mengerti tentang peristilahan Dhera untuk media. Dhera hanya
mengangguk sambil kembali mengurai senyum.
“ kamu engga
papa kesini?”
“ kenapa?”
“ yah.. soalnya
kan..” Ferdi bingung harus jawab apa.
“ aku mikirin
dua kemungkinan hal yang bisa aku lakuin. Aku mau dateng kesini, ato aku engga
dateng kesini ketemu kamu.” Dhera kini menatap Ferdi lekat- lekat.
“ setelah aku
timbang- timbang, lebih berat buatku untuk engga dateng kesini.. lebih berat
buatku ngeliat fotomu di TV, aku bertanya- tanya ‘ apa yang lagi dilakuin sama
orang di dalem foto itu ya?’.. jadi aku dateng kesini..”
Ferdi tersenyum
mendengar jawaban kekasihnya yang tidak mengada- ada itu, pertama kalinya
setelah beberapa hari ini ia merasakan perasaannya hangat. Hangat melihat
senyum di wajah Dhera.
“ coffee?” Dhera
menawarkan satu cup Cappucino yang masih hangat. Ferdi meraih kopi itu, mereka
menikmati pagi itu berdua saja.
Malam sebelumnya, mama Dhera
mengetuk pintu kamarnya. Setelah dibujuk, Dhera menceritakan keadaan Ferdi saat
ini, hanya bagian yang dapat ia tangkap dari pertemuan sepintasnya tadi.
“ ma..”
“ ya?”
“ menurut mama,
Dhera harus dateng ke rumah sakit sekarang tanpa peduli Ferdi mau ketemu Dhera
apa engga, atau haruskah Dhera nunggu sampe saat yang tepat? Meskipun Dhera
engga tau kapan itu ‘saat yang tepat’..” Dhera menghela nafas.
“ Dhera takut
ma, Dhera bingung.. Dhera takut apa yang akan Dhera lakuin malah bikin Ferdi
semakin parah kondisinya. Dhera takut kalo tiap Ferdi liat Dhera, dia bakal
nyalahin dirinya sendiri, Dhera takut kehadiran Dhera disampingnya malah bikin
dia tetap trauma.. tapi di lain sisi Dhera engga tega ngeliat dia sendirian
gitu.. gimana kalo dia engga mau makan, gimana kalo dia engga minum obat..”
Dhera meneteskan air matanya.
“ sayang.. coba
kamu posisikan dirimu di posisinya Ferdi. Dia baru aja terlibat kecelakaan yang
gak terduga- duga, coba kamu bayangkan rasa bersalah dan penyesalan dalam yang
dia rasakan. Tapi bayangkan dia bahkan engga bisa mengungkapkan itu ke siapa-
siapa. Orang tuanya sibuk mengurus kasus ini, seperti yang kamu liat, dia
sendirian disana. Apa yang paling dia perlukan sekarang adalah teman untuk
diajak ngobrol, yang bisa membuat dia merasa bahwa dia tidak sendiri menghadapi
cobaan ini. kalau kamu merasa punya tanggung jawab itu, jangan ragu untuk
melakukannya. Kalo dia emang engga mau ketemu kamu, toh kamu tinggal pulang
aja, tapi apa kamu pernah tau apakah dia engga pengin ato malah pengin banget
ada kamu disisinya? Gimana kalo kamu menjadi satu- satunya harapannya sekarang?
Kamu masih mau disini nebak- nebak keinginan hatinya Ferdi?” terang mamanya.
Kata- kata
mamanya membuat Dhera tersadar, bahwa benar ia tidak bisa hanya berdiam diri
disini. Ia harus dan akan berada di samping Ferdi, sampai kapanpun ia sanggup.
Kembali ke rumah sakit, Ferdi
dan Dhera menikmati kebersamaan mereka dengan mengobrol membicarakan hal- hal
yang menyenangkan. Ferdi mengatakan bahwa ia mungkin tidak bisa kembali sekolah
di London dalam waktu dekat, ia harus memberi tau Frank, teman asramanya untuk
merawat hamster kesayangannya lebih lama lagi. Tiba- tiba pintu kamar terbuka,
papa Ferdi datang, Ferdi langsung membenahi posisi duduknya, Dhera langsung
meninggalkan ruangan, memberikan waktu kepada ayah dan anak itu.
“ pah..” Ferdi
menyapa sosok yang sangat dihormati dan dibanggakannya seumur hidupnya.
Di wajah
lelahnya, ayah Ferdi tetap dapat tersenyum pada anak lelaki satu- satunya ini.
“ kemarin papa
sama mama udah datang ke keluarga korban, intinya mereka ikhlas akan hal ini..”
Ferdi menunduk
dalam, kenapa harus papanya yang minta maaf atas kesalahannya.
“ pa.. Ferdi
minta maaf, Ferdi tau dengan minta maaf engga akan mengubah apapun. Tapi paling
enggak, papa tau kalo Ferdi nyesel. Ferdi engga akan minta papa ngapa- ngapain,
Ferdi akan tanggung jawab..”
Ayah Ferdi
menatap wajah anaknya, wajah anak yang begitu ia sayangi. Wajah yang ia tidak
inginkan tergores bahkan sedikitpun. Kini wajah itu begitu kuyu, begitu pucat..
hatinya begitu terluka melihatnya.
“ Ferdi minta
maaf pa, karena Ferdi, papa harus juga mengambil kesalahan Ferdi. Maaf kalo
Ferdi nyusahin papa, nyusahin mama..”
“ Fer, kamu
inget dulu waktu SD papa pernah ke sekolahmu karena kamu habis mukul temenmu
yang jelek- jelekin papa?”
Ferdi
mengangguk,
“ waktu itu kamu
salah, salahmu karena kamu mukul oran sembarangan. Kamu tau engga baik. Tapi
waktu itu papa bilang kalo wajar seorang anak marah saat orang tuanya dijelek-
jelekkan. Sekarang ini pun sama, dan kamu tau betul kamu harus bertanggung
jawab. Tapi percayalah nak, papa engga akan berhenti melindungi kamu, sama
seperti dulu. Apapun yang harus kamu lalui, papa akan berjalan sama kamu sampai
akhir..”
Perkataan
ayahnya membuat Ferdi semakin kuat, semakin banyak orang yang menopangnya
sekarang. Ia tau ia harus segera bersiap diri, karena perkataan papanya barusan
juga merupakan tanda bahwa proses pemeriksaan atas dirinya akan segera
berlangsung.
****
“ proses penyelidikan akan
dilaksanakan tiga hari lagi..”
Dhera terbelalak
mendengar pernyataan dari mulut ayah Ferdi ini.
“ pah! Kenapa
papa mesti lakuin ini sama Ferdi? Papa orang yang mestinya paling mengerti
dengan kondisi anak kita sekarang..” protes mama Ferdi.
“ ma, kalo kita
menunda proses pemeriksaan lebih lama lagi, tekanan semakin besar malah akan
Ferdi rasakan. Setiap hari yang dia saksikan Cuma berita- berita yang
menyudutkan posisinya. Dia harus angkat bicara..”
“ mama tau, tapi
bukan sekarang. Bukan tiga hari lagi.. tim dokter bahkan bilang waktu sebulan
belum tentu cukup menyembuhkan traumanya dia. Apa papa tega maksa Ferdi untuk
ke kantor polisi?”
“ apa yang papa
coba lakuin adalah untuk melindungi dia, kalo papa, papa bisa tahan sama
hujatan atau protes yang ditujukan ke papa. Tapi kalo untuk Ferdi, papa engga
kuat menahan ini lebih lama.. membawa Ferdi ke kantor polisi adalah satu-
satunya cara untuk membuat Ferdi lebih kuat dan bisa menerima keadaannya.
Bagaimanapun, tiga hari lagi Ferdi akan siap ke kantor polisi untuk menjalani
pemeriksaan.”
Ayah Ferdi
meninggalkan lounge, sementara mama Ferdi hanya menangis dengan keputusan yang
dibuat suaminya. Dhera setengah mengerti dan setengahnya lagi tidak mengerti
atas keputusan yang dibuat ayahnya Ferdi. Apa yang sedang oom coba lakukan?
Benarkah untuk melindungi Ferdi dari cercaan banyak orang? Ataukah untuk
melindungi dirinya sendiri dan citra keluarga pejabat?
Entah.. Dhera
tidak mengerti tentang seni politik.
Dhera menonton berita melalui
I-Padnya, ia menyaksikan pemberitaan yang terus- menerus menanti kemunculan
Ferdi di hadapan publik. Banyak yang mempertanyakan apakah hukum akan benar
ditegakkan sama bagi semua orang, meski orang itu anak pejabat semacam Ferdi
sekalipun. Bahkan di jejaring sosial, banyak yang menuduh bahwa Ferdi hanya
tengah berkamuflase tentang trauma dirinya untuk menghindari jerat hukum yang
mengancamnya. Tercabik rasanya hati Dhera membaca tweet-tweet kejam yang
ditujukan untuk kekasihnya itu, mungkin benar apa kata orang : ‘ mereka yang
paling banyak bicara adalah mereka yang sesungguhnya tidak tau apapun..’ Dhera
menutup I-padnya, ia pergi ke kamar Ferdi. Saat ia masuk, terlihat Ferdi sedang
melihat berita juga melalui I-Padnya, ketika Dhera datang, Ferdi cepat- cepat
menutupnya. Dhera yang menangkap gelagat itu tidak ingin mengungkitnya.
“ let’s take a
walk..” ajak Dhera. Ia pun mengajak Ferdi berjalan di sekitar areal rumah sakit
yang aman dari wartawan. Mereka berjalan menikmati udara yang hari itu lumayan
sejuk dibanding hari biasanya. Banyak orang di rumah sakit itu yang mengenali
wajah Ferdi yang seminggu ini menghiasi layar kaca. Beberapa diantara mereka
bahkan memandangi Ferdi dengan tatapan beragam, ada yang sinis, ada pula
tatapan iba. Beban kembali menggelayuti Ferdi, ia sadar mungkin saat ini ia
adalah public enemy number one bagi banyak orang. Ia tidak mampu mengangkat
kepalanya, Dhera yang mengerti akan hal itu lalu menggandeng lengan Ferdi,
Ferdi menoleh ke lengannya yang digandeng oleh Dhera.
“ aaahhhhh..
untung aja hari ini engga panas banget kaya kemaren.. “ kata Dhera sambil tersenyum
lebar ke arah Ferdi. Ferdi membalas senyuman itu dengan mata yang berkaca-
kaca. Wajah yang sendu itu ditambah lagi dengan air mata bening yang sudah di
pelupuk mata, Dhera tidak mampu menahan dirinya untuk beberapa detik lagi, ia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling taman rumah sakit untuk mengusir air
matanya dan mengajak Ferdi duduk di salah satu bangku yang kosong.
“ tapi haus juga
ya, aku beli minum dulu deh,, kamu mau minum apa?” tanya Dhera ceria sambil
berdiri untuk membeli minuman.
Ferdi
mencegahnya, ia menarik pergelangan tangan Dhera untuk kembali duduk di
sampingnya.
Suara Ferdi
terbata, namun ia akhirnya angkat bicara, “ aku engga haus..” sebuah jawaban
yang sama sekali engga pas untuk menahan seseorang, namun Dhera menatap Ferdi
sejenak lalu mengikuti keinginannya.
“ kamu udah
denger kan?” kata Ferdi sambil menerawang. Ia menghela nafas panjang, ia
mencoba untuk tersenyum.
Dhera tau apa
yang dimaksud Ferdi, ia mengangguk.
“ pada akhirnya
aku harus menghadapi ini semua, sekarang atau nanti engga ada bedanya..”
Dhera menatap
Ferdi lekat- lekat, air mata kembali menggenang di mata indahnya.
“ kalo kamu
ngerasa ini terlalu berat, jangan paksain dirimu untuk tetap ada di sini. Aku
tau berat buatmu untuk bisa bertahan sampai sekarang..”
“ setelah ini
aku engga tau apa yang akan terjadi sama aku, masa depan kaya apa yang akan aku
bangun nanti. Tapi aku engga mau masa depanmu terganggu karena aku, makanya aku
engga akan nyalahin kamu seandainya kamu memutuskan untuk pergi..” Ferdi menatap
Dhera dalam- dalam, menyatakan kesungguhan dan ketetapan hatinya.
Dhera tertegun
mendengar kata- kata kekasihnya itu, “ kalo aku pergi, apa kamu bakal baik-
baik aja?”
Ferdi
memalingkan wajahnya, pertanyaan yang sulit untuk dia jawab. Dhera akan tau kalau
ia berbohong.
“ setelah ini
aku engga akan jadi Ferdi yang sama kaya dulu..”
Dhera memandang
jemari kekasihnya itu, jemari yang selama ini senantiasa mengenggam tangannya
itu kini bergetar, tak cukup kuat lagi untuk menggenggam tangannya. Kini dialah
yang harus menggenggam tangan itu..
Dhera meraih
tangan Ferdi, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Ferdi.
“ hal yang paling ingin aku lakuin saat ini
Cuma ada di sampingmu,, untuk hal itu, apa gak bisa?” Dhera berkata dalam
hatinya sambil meneteskan air matanya.
Ferdi kini
menggenggam erat tangan Dhera juga,
“ if to keep you by my side won’t hurt you,
I’ll accept all consequences..”
Ferdi pun
meneteskan air matanya, mereka berdua menangis pedih dalam diam.
****
Ferdi merapikan baju yang
dikenakannya, hari ini ia harus pergi ke kantor polisi untuk memberikan
keterangan mengenai kecelakaan yang ia timbulkan. Ferdi dengan berat hati
melakukan ini demi keinginan sang ayah, karena
tiap kali ia mencoba mengingatnya, selalu berhenti pada poin saat ia
telah menabrak mobil, ia kehilangan bayangan tentang berapa kecepatan mobilnya
serta apa yang dia tabrak. Keadaan semakin menyulitkan dirinya karena saksi
utama dan kepolisian memiliki dua versi yang berbeda mengenai mobil yang
ditabrak Ferdi. Ferdi menghela nafasnya, ia berharap ingatan itu bisa datang
padanya hari ini.
Dhera
menghampiri dirinya, “ don’t push yourself..” nasihat Dhera kepada Ferdi.
Ferdi tersenyum,
lega hatinya mendengar perkataan Dhera, rasa takut itu sedikit menghilang.
“ aku bakal
disini waktu kamu balik..” kata Dhera sambil tersenyum. Ferdi mengangguk yakin,
ia akan kembali lagi disini dan menceritakan semuanya pada Dhera.
Wajah Ferdi
nampak pucat karena ia belum berada dalam kondisi stabil, Dhera mengkhawatirkan
kondisi Ferdi, namun saat ini ia tidak bisa melarangnya. Ia hanya berharao
Ferdi bisa melalui hari ini.
Dhera menonton breaking news
yang menayangkan Ferdi serta kedua orang tuanya tiba di Polda Metro Jaya,
matanya tidak terlepas dari tatapan kuyu Ferdi. Sesekali Ferdi menatap ayahnya
yang sedang memberikan keterangan kepada pers, sejenak kemudian ia mengedarkan
pandangannya ke sekeliling dengan pandangan kosong. Ibunya yang menangis sambil
merangkul lengannya tidak dihiraukan Ferdi, sementara matanya terlihat lelah dibuat silau oleh blitz blitz kamera
yang entah berapa banyaknya. Dhera mengepalkan kedua tangannya di mukanya,
jantungnya berdegup kencang, ia memejamkan
matanya, berdoa untuk Ferdi agar dapat menghadapi pemeriksaan hari ini.
Sementara di kantor polisi Ferdi
tengah dalam persiapan penyidikan, kamera- kamera ‘pengintai’ sudah pergi
darinya.
Ayah Ferdi
mengangguk padanya, meminta Ferdi untuk dapat melewati proses ini. sementara
ibunya hanya mengelus- elus punggung anak lelaki satu- satunya ini sebelum
mereka berdua pergi. Ferdi akan ditemani oleh tantenya sekaligus kuasa
hukumnya. Beberapa pertanyaan dapat dijawab Ferdi dengan lancar, namun ia
nampak kesulitan menjawab saat penyidik menanyakan tentang berapa kecepatan
mobilnya pada saat kejadian, untuk mengetahui apakah Ferdi melanggar batas
kecepatan maksimal di jalan tol.
“ berapa
kecepatan mobil saudara pada saat sebelum anda menabrak L- 300 di depan anda?”
Ferdi menghela
nafas dalam, pertanyaan ini akhirnya ditanyakan padanya. Ia berjanji akan
memberikan kesaksian sebisa mungkin. Ia memejamkan matanya, mencoba melihat
dalam memori pikirannya. Sementara penyidik mempertanyakan apa yang Ferdi
lakukan.
“ Saudara
Ferdi..”
Ferdi tidak
menjawab.
“ saudara
Ferdi..”
Tante Ferdi akhirnya
angkat bicara, “ pak.. seperti diketahui bahwa Ferdi mengalami trauma akibat
kejadian ini. mohon kesabaran bapak untuk proses ini.. dia pasti mencoba
menemukan jawabannya..”
Ferdi tetap
berkonsentrasi, ia dapat menangkap bayangan speedometer mobilnya, waktu itu ia
sempat menoleh sejenak ke arah speedometernya sebelum melihat plang tempat
peristirahatan. Namun angkanya masih kabur dalam ingatan Ferdi, ia menaikkan
ingatannya untuk melihat secara jelas berapa kecepatan mobilnya pada saat itu,
setelah beberapa saat akhirnya ia bisa mengingatnya.
“ 100 km/jam..”
jawab Ferdi akhirnya. Ia menghembuskan nafas panjang setelah berhasil menjawab
pertanyaan itu. kepalanya mendadak pusing.
“ selanjutnya,
apakah saudara mengetahui mobil apa yang saudara tabrak?”
Ferdi menatap
penyidik, wajahnya memucat. Ini dia kunci dari peristiwa naas ini. bisakah ia
mengingatnya?!
Ferdi kembali
memejamkan matanya, ia kembali membawa pikirannya ke waktu ia mengemdikan
mobilnya di tol jagorawi. Tidak ada bayangan apapun saat pertama kali ia
mencobanya, hal ini seperti bagian puzzle yang hilang, membuatnya frustasi
harus mencarinya darimana.
Ia kembali
mengernyitkan dahinya, kali ini lebih lama dari pertanyaan sebelumnya.
Lima menit
kemudian Ferdi masih belum mengatakan apapun, sementara penyidik terus
mendesaknya.
Tante Ferdi
menatap ponakannya ini cemas, ia memegang pundak Ferdi. Pundaknya bergetar
mencoba memanggil memori yang begitu menakutkan baginya.
Ia berusaha
lebih keras lagi, memaksakan ingatannya sendiri membuat Ferdi tidak bisa
mengendalikan pikirannya, ia malah terbawa ke saat- saat korban telah jatuh
bergelimpangan di sekitarnya.
Keringat mulai
membasahi dahi dan tubuhnya, ia membuang memori itu dan mencoba kembali fokus.
Kepalanya
semakin berat, aliran darah terasa semakin cepat dari kaki hingga kepalanya,
sementara jantungnya berdegup kencang,
Samar- samar ia
melihat bayangan bentuk mobil, namun tidak tau apa itu sebenarnya.
Sementara trauma
kembali membawanya mendengar bunyi sirine ambulance dan lampu biru mobil polisi
menyamarkan ingantannya lagi.
Ferdi menutup
telinganya, berharap suara sirine itu berhenti mengganggunya.
Ia mencoba
kembali fokus untuk kesekian kalinya, nafasnya semakin cepat.
Sementara
penyidik terus menerus mengkonfirmasi kebenaran yang ia tidak bisa ingat.
Dengan sisa
tenaganya, Ferdi sedikit dapat melihat bentuk mobil itu, bentuknya sedikit aneh
untuk Ferdi. Namun saat ia mencoba menggali ingatan itu lebih dalam, tangannya
terlepas dari kedua telinganya, dan mendadak semua gelap.
****
“FERDI!!!” Dhera menjerit di
kamar rumah sakit saat menyaksikan breaking news yang meliput Ferdi yang tengah
pingsan usai proses penyidikan. Wajah Ferdi nampak lebih pucat dibanding
terakhir Dhera melihatnya, Dhera kalut. Hatinya semakin teriris melihat awak
media yang bahkan tidak bisa berhenti mencari berita meski sumber beritanya
tengah terkapar tak berdaya.
“ Ferdi,,
Ferdi..” ia terus mengucapkan nama kekasihnya itu. menunggu kedatangan Ferdi ke
rumah sakit.
Beberapa saat
kemudian, pintu kamar Ferdi terbuka lebar, suster dan dokter serta psikiater
masuk ke dalam ruangan untuk memberikan pertolongan yang diperlukan.
Dhera mencoba
tetap tenang, memperhatikan langkah- langkah yang dilakukan tim medis dengan
seksama.
“ dokter..” Dhera memanggil salah satu tim
medis untuk menanyakan keadaan Ferdi.
“ Dhera..” sapa
dokter itu sambil melepaskan kancing jubahnya, ia nampak sedikit frustasi
dengan kondisi Ferdi yang mendadak drop.
“ kondisi ini
tidak pernah saya inginkan terjadi, Ferdi menurut saya terlalu memaksakan diri.
Ingatan itu bukan sesuatu yang bisa dipanggil atau diusir sesuai dengan
keinginannya sendiri. Bahkan seorang mentalis pun perlu bertahun- tahun untuk
bisa mengendalikan kekuatan pikirannya. Ditambah lagi Ferdi yang memiliki
trauma mendalam terhadap kecelakaan ini, saya tidak habis pikir kenapa pak Ardi
memaksakan untuk cepat- cepat membawa Ferdi ke polisi tanpa menghiraukan advice
medis dari kami.” Jelas dokter sambil menghela nafas.
“ terus sekarang
Ferdi gimana dok? Apa dia kehilangan ingatannya lebih banyak lagi?”
Dokter kembali
menghela nafas sambil menggeleng, “ kita tidak pernah bisa tau. Semua
tergantung pada kemauan Ferdi, namun tekanan yang berat malah akan memperburuk
kondisinya. Seperti sekarang ini.. dokter dan Dhera menatap Ferdi yang sedang
tertidur pulas, dokter meninggalkan ruangan sementara Dhera menatap kekasihnya
itu.
Ia menatap wajah kekasihnya itu,
bibirnya terlihat pucat. Meski nafasnya kini sudah mulai teratur namun keringat
masih bercucuran di dahinya. Dhera cemas, apa yang mungkin sedang Ferdi alami
di alam bawah sadarnya, Dhera menyeka butir- butir keringat itu dengan tatapan
iba namun penuh kasih. Setelah selesai membasuh keringatnya, Dhera memijat-
mijat kecil lengan kekasihnya itu sambil terus memandangi wajah tampannya itu.
“ I told you not
to push your self..” suara Dhera mulai bergetar, air mata menumpuk di pelupuk
matanya. Sungguh hatinya hancur melihat Ferdi yang harus mengalami kejadian
naas seperti ini. belum lewat dua minggu semenjak ia hang out dengan Ferdi
untuk merayakan tahun baru 2013.
Senyum cerah di
wajah Ferdi tak lagi dijumpai Dhera, hanya kekhawatiran yang ia rasakan
berkecamuk di batin Ferdi. Sementara Dhera, ia hampir frustasi karena tidak
bisa menemukan cara apapun untuk bisa membantu Ferdi. Andai tubuh mereka bisa
bertukar, akan ia tukar jiwanya dengan Ferdi saat ini juga. Asal kan Ferdi bisa
sembuh terlebih dahulu, tanpa tekanan dari manapun.
Dhera
membenamkan wajahnya sambil menangis di lengan Ferdi.
Isak tangisnya
membangunkan Ferdi dari ketidaksadarannya, Ferdi nampak bingung tentang
keberadaannya. Ia memegang kepalanya yang masih berat dengan tangan kirinya, ia
melihat sekeliling dan sadar bahwa ia telah berada di rumah sakit. Sepersekian
detik kemudian ia merasakan ada yang menindih tangan kanannya, ia melihat Dhera
yang membenamkan wajahnya di lengannya sambil sayup terdengar isak tangis
Dhera. Sekarang ia ingat, ia pingsan setelah menjalani pemeriksaan itu artinya
dia gagal menghadapi tantangan terbesarnya hari ini.
Sementara itu
tangis Dhera belum berhenti, lebih dari siapapun, ia sangat terpukul melihat
kondisi kekasihnya yang biasanya kuat ini menjadi berada di titik terlemahnya.
Ia menangis dan menangis,
Ferdi mengangkat
tangan kirinya dengan berusaha tanpa suara, ia hendak membelai rambut
kekasihnya yang tengah menangis karena kelemahan dirinya. Hatinya tak kalah
hancurnya melihat wanita yang dikasihinya harus ikut juga merasakan traumanya,
air mata sudah menggenangi matanya.
Tepat sebelum
Ferdi membelai rambut Dhera, Dhera mengangkat kepalanya. Cepat- cepat Ferdi
memalingkan wajahnya dan mengembalikan tangannya di posisi semula.
“ aku harus
kuat, iya kan Fer? Karena aku udah janji untuk ada di sampingmu..” ucap Dhera
sambil menghapus air matanya, ia berusaha menguatkan dirinya, sekuat tenaga ia
membentuk senyum di bibirnya.
Sementara di
balik pandangan mata Dhera, air mata Ferdi telah tumpah. Dalam terpejam ia
berkata..
“ maafin aku
Dhera, please don’t cry anymore. I can stand all of this pressure and even
more. But I couldn’t bear to see your tears. Your tears, it hurts me more..”
****
“ Mau berangkat sekarang?” tanya
Ferdi kepada Dhera yang sedang sibuk merapikan barang- barang untuk kuliah.
Dhera
mengangguk, ia tersenyum menatap Ferdi. Senyum yang penuh arti.
“ kenapa?” tanya
Ferdi heran..
Dhera
menggeleng, ia mengampiri kekasihnya itu.. “ aku kesini sorean ya, mau beresin
kamar dulu..”
Ferdi mengangguk
sambil mengusap rambut Dhera, tiba- tiba seseorang datang ke kamar.
Ferdi melihat
ayahnya masuk dengan jas rapi, siap untuk berangkat kerja.. Ferdi langsung
mengambil posisi duduk. Ia mendadak tegang, Dhera tau ia tidak harus disana, ia
pamit keluar.
Sepeninggal
Dhera, Ayah Ferdi menatapnya lekat- lekat, sulit menerka apa yang akan beliau
katakan. Ferdi tau, karena dirinya, ayahnya sudah mengalami berbagai kesulitan.
Kesalahan dan
hujatan yang seharusnya ditanggung olehnya, tapi malah ayahnya yang menanggung.
“ pa.. Ferdi
salah.. Ferdi minta maaf..” Ferdi menundukkan kepalanya dihadapan ayah yang
sangat dicintai dan dihormatinya. Kata- kata itu, kata- kata yang dari awal
ingin ia ungkapkan akhirnya keluar juga.
Ayah Ferdi hanya
terdiam, tanpa kata, kini ayahnya ikut menunduk.
“ papa yang
salah.. papa yang memaksakan kamu untuk pergi ke polisi. Papa tidak pedulikan
kesehatanmu. Papa pikir apa yang papa lakukan adalah demi kebaikanmu.. tapi
papa salah.. maafkan papa, nak..” air mata jatuh di pipi ayah Ferdi.
Ferdi kaget
mendegar pernyataan ayahnya, ia melihat air mata mengalir dari mata ayahnya, pertahanannya
luruh..
Kini keduanya
menangis, mereka berdua sama- sama menyesali perbuatannya..
“ papa engga
akan berbuat hal egois seperti kemarin lagi.. apapun itu, papa akan berunding
dulu sama kamu,, “
Ferdi
menggeleng, “ pa.. Ferdi janji pa, Ferdi bakal cepet sembuh. Ferdi bakal inget
semua kejadian hari itu dan bertanggung jawab apapun itu akibatnya. Pa, tolong
ijinkan Ferdi mencoba lagi..”
Ayahnya tidak
mampu berkata apa- apa mendengar tekad bulat anak bungsunya ini, ia kembali
memeluk anaknya.
Diluar, Dhera
belum pergi. Ia menyaksikan percakapan ayah dan anak itu, meski suara mereka
tidak terdengar, namun hati Dhera jauh lebih lega karena akhirnya hati ayah dan
anak ini menemui titik tautnya. Dhera menangis bahagia dibalik pintu kamar
Ferdi.
Kue berbalut coklat anti leleh sudah ada di
tangan Dhera, hari ini adalah hari ulang tahun Ferdi. Ferdi bahkan tidak
mengingatnya, sudah jelas bagi Dhera betapa berat hari- hari yang harus di
lalui Ferdi. Sampai di rumah sakit, kue ulang tahun itu sudah dibubuhi lilin diatasnya,
Dhera melihat Ferdi yang sedang menonton tivi.
“ happy birthday
to you.. happy birthday to you.. happy birthday, happy birthday.. happy
birthday to you..” Dhera menyanyi dengan suara lembutnya.
Ferdi kaget
melihat kue ulang tahun beserta lilin yang dibawa oleh Dhera, ia melihat jam
tangannya, lalu menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.
“ makasi ya..”
ucap Ferdi penuh ketulusan. Ia menatap Dhera lekat- lekat, dengan tatapan
“makasi, Dhera,,”
Dhera menangguk,
“ time to make your wish.. aku juga make a wish.. so we have our own wish..”
Ferdi mengangguk
setuju, Dhera memejamkan matanya.. nampak tersenyum dalam doanya.
Sementara ferdi
tidak memejamkan matanya, ia menatap Dhera. Ia tersenyum penuh haru melihat
kekasihnya yang entah sedang menaikkan harapan macam apa.
Lalu Dhera
membuka matanya, ia melihat Ferdi yang tidak melakukan apa yang ia katakan
untuk menaikkan permohonan.
“ haahhh.. emang
mestinya engga ngajakin kamu beginian nih..” Dhera ngambek dengan sikap tidak
kompak Ferdi.
Ferdi tersenyum
tipis, “ emang kamu engga ada harapan apa- apa?” tanya Dhera.
Ferdi kembali
tersenyum, “ yah kalo engga ada, ya paling enggak kan..”
“ YOU,,” jawab
Ferdi memutus omongan Dhera.
Dhera tertegun
mendengar jawaban Ferdi, “ aku punya kamu, aku mau berharap apalagi?” kata
Ferdi singkat.
Dhera salah
tingkah, “ ehmm.. katanya harapannya bisa engga terkabul kalo dibilang-
bilang..”
Ferdi meraih
tangan Dhera, lalu mencium keningnya. Ferdi berkata dalam hatinya, “ even
though it’s hard, but you’ve stayed.. thank you..”
Seolah dapat
merasakan perkataan Ferdi, Dhera kembali meneteskan air mata bahagianya.
“ makasi, Fer..
udah ijinin aku tinggal di sampingmu..”
****
When things are easier when you leave, will
you stay?
When things may get worse when you stay,
will you leave?
When pressure comes around, could you endure
it?
Ps: well yeah, cerita ini bener- bener
terinspirasi dari kisahnya Rasyid Rajasa yang sampe detik ini (30 januari)
masih belum bisa menjalani pemeriksaan di kepolisian. I hope, you will find
someone who will stay by your side till the end.. I believe there are.. :D. I
woke up in the middle of night, listened to this song. I thought it could
represent what I’ve wrote about.. yes, it’s a song..
Title : Choose
You
Singer: Stan
Walker
I’m so mad at
you right now, that I can’t think straight..
And I should
shut my mouth, so I don’t let out the cruel thing I’d said..
Coz when love
starts out, it’s all peachy
I love you, you
love me seems EASY, it’s like a walk in a park..
But sometimes it
takes an act of my will, and a walk in a park turns to uphill
But I PROMISE
I’ll give you my heart,,
Reff:
I will choose to
LOVE you,
Even though
wanna stay MAD
Even though
wanna get ANGRY
Though it maybe
easier TO WALK AWAY
I will choose to
stay..
And LOVE you..
Love Is just so
beautiful, sometimes it takes works.
And the one you
loved, at times, can leave you so hurt..
Coz when love
starts out, it’s all peachy
I love you, you
love me SEEMS EASY
It’s like a walk
in a park..
But the picture
of love some try to paint, It's a contrast to the real landscape
But I promise to
give you my heart..
Bridge:
Some people
think, that LOVE IS JUST A FEELING
So they fall out
of love as quickly as they fell in..
Some people
think that LOVE IS JUST A GAME
But they the one
who always seems to end up getting played..
Though
everything around might change..
One thing will
still remain..
Sumpah ini lagu
dalem banget..hehe.. buat bahan refleksi aja sih buat aku sama pembaca.. :D