‘
birthday girl!! I’ll pick you up at 10 :D’ Abby tersenyum membaca sms
Anta. Waktu menunjukkan pukul setengah
sepuluh pagi, Abby bergegas mengambil handuk dan peralatan mandi lainnya. Saat
masuk ke dalam kamar mandi ternyata lampu kamar mandi mati, Abby mengeluh.
“ aduh!!! Mana buru- buru lagi..”
Abby keluar dari kamar mandi untuk mengambil tangga dan
lampu serta memasangnya di kamar mandi. Saat diluar ia berpesan pada wanita
paruh baya yang datang seminggu sekali untuk membersihkan rumahnya.
“ mbak.. nanti kalo ada yang cari Abby suruh masuk aja ya..”
“ njih.. Mbak..”
Dengan cekatan Abby mengambil tangga dari gudang untuk
mengganti lampu. Di tengah ia mengerjakan proses penggantian lampu, suara Anta
memanggilnya dari luar..
“ Abby!!!” seru Anta yang terdengar memecah keheningan di
rumah besar itu.
Abby terkejut, hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.
“ jangan teriak- teriak! Aku di kamar mandi!” seru Abby
kesal.
Anta
melihat pintu kamar mandi yang terbuka dan hanya melihat tangga di dalamnya. Ia
segera berjalan dan sangat terkejut melihat Abby yang sedang melepas lampu
kamar mandi.
“ Abby!! Kenapa kamu naik kesana?”
“ menurutmu? Lampu kamar mandinya mati, kalau ga diganti aku
ga bisa mandi..”
“ ya tapi kenapa harus kamu yang naik? Bahaya.. lantai kamar
mandi ini licin, By..”
“ ya trus siapa dong?” kata Abby sambil memutar bola lampu
dan akhirnya berhasil melepaskannya.
“ tolong pegangin dong, trus ambilin lampu yang baru..”
pinta Abby.
Anta mengambil lampu itu dari tangan Abby, “ By.. please
turun sekarang.. sini biar aku aja yang pasang..” wajah Anta semakin pucat
melihat kelihaian Abby tanpa gugup berjalan di papan tangga yang sempit.
Abby menuruni anak tangga, Anta meminta Abby menunggunya
diluar. Beberapa saat kemudian Anta keluar membawa lampu dan tangga lalu
menghampiri Abby.
“ udah.. mandi sana sekarang..”
“ makasi Anta, oia.. ditaruh disana ya tangganya.. aku mandi
dulu.. tungguin!!” Abby bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Anta
meletakkan tangga di gudang, ia teringat lagi percakapannya dengan Abby
barusan.
‘ kenapa harus kamu yang naik?’
‘ ya kalo bukan aku, siapa lagi dong..’
Anta menghela nafas, “ iya ya.. kalo bukan kamu siapa lagi..
papamu?” Anta duduk di sofa, tidak sengaja ia memikirkan hal apa lagi yang
harus Abby lakukan demi menggantikan peran lelaki di rumah ini. ia melihat
gallon air mineral yang diletakkan di lantai, ia yakin pasti Abby yang harus
memindahkan itu kalau air mineral yang di dalam dispenser sudah habis.
“ Abby,, Abby.. how’d you live your life all these years..”
“ apa?” Abby muncul di hadapan Anta.
“ udah siap? Yuk berangkat,,” ajak Anta.
“ kita
mau kemana nih?” tanya Abby di dalam mobil. Anta tersenyum, ia tidak menjawab
pertanyaan Abby. Beberapa saat kemudian, mobil Anta sampai di parkiran toko
perkakas terkenal di kota Surabaya. Abby bingung, untuk apa mereka datang
kesini.
“ ayok..” Anta mengajak Abby masuk. Sampai di dalam, Anta
berkeliling sejenak mencari benda ini.
“ kamu cari apa sih? Kasih tau dong,, biar aku bantu,,” kata
Abby. Anta melihat papan diatas yang menunjukkan barang yang ada di masing-
masing lorong.
“ ah! Itu kali ya.. ayok!” Anta menarik tangan Abby.
“ nah! Ini dia..” Anta tersenyum puas.
Abby penasaran dengan barang yang dicari Anta sejak tadi, “
apaan sih?”
“ nih.. biar kamu ga usah naik- naik lagi kalo masang
lampu..” kata Anta sambil menyerahkan tongkat pemasang lampu kepada Abby.
Abby tertawa lepas, “ astaga.. kamu nyari ini buat aku?
Hahahahaha..”
Anta
setengah kesal, “ siapa suruh kamu aneh- aneh tadi naik tangga gitu? Kalo kamu
jatuh gimana? Kepalamu pecah? Bisa beli dimana lagi?”
Abby tersenyum geli melihat kekhawatiran Anta, “ makasi ya,
Nta..” Abby tersenyum manis.
Kekesalan Anta langsung memudar melihat senyuman Abby, “ ini
bisa dipanjangin sampe dua setengah meter.. jadi jangan naik- naik lagi.. oke?”
Abby mengangguk senang, “ tapi jangan- jangan..”
“ apa?”
“ jangan- jangan ini kado ulang taunku ya?”
Anta tertawa lantang, “ HAHAHAHAHAHA.. iya emang! Makanya
jangan aneh- aneh.. tadinya aku mau beliin kamu yang lain, tapi aku berubah
pikiran setelah liat kamu di kamar mandi tadi..”
“ curang!!!! Aku ga mau,, nih aku balikin aja.. aku bisa
beli sendiri nanti..” protes Abby. Anta tertawa dan membawa barang itu ke
kasir.
“
beneran kamu ngajak aku pergi kesini doang?” tanya Abby saat di dalam mobil.
“ kamu pikir kemana?” goda Anta. Abby menggeleng, ia tidak
berani menebak.
“laper nih, nyemil yuk..” kata Anta sambil membelokkan mobil
ke lajur kanan.
Beberapa saat kemudian mereka berdua sampai di Igor’s, toko
kue yang menyediakan berbagai macam kue dan tempat yang nyaman untuk ngobrol.
Anta mempersilahkan Abby duduk, sementara Anta pergi ke
kasir.
“ kita pesen apa nih?” tanya Abby.
“ hmm.. tunggu ditanyain aja ya.. hehe..” sesaat kemudian,
seorang pelayan membawa sepiring besar macaroon
yang sudah disusun menjadi menara macaroon
berbagai warna. Dari warna ungu, coklat, kuning, hijau, dan warna cerah
lainnya. Di puncak menaranya, tertancap sebuah lilin yang sudah menyala.
Pelayan itu meletakkan piring tersebut di antara Anta dan Abby.
Abby histeris melihat menara macaroon itu.. “ oh my god!! Keren banget!!! Lucu banget!!!”
Anta kembali tersenyum menatap Abby, “ happy birthday..”
Abby mengangguk senang, ia menatap Anta.. dalam hati ia
berkata.. “ makasih Anta..”
“ it’s a pleasure..”
Anta menjawab dalam hatinya.
“ make
a wish.. make a wish..” kata Anta. Abby memejamkan matanya, lalu ia segera
meniup lilinnya..
“ wishmu apa?” tanya Anta.
“ berdoa.. mudah- mudahan macaroon ini engga mubazir.. gila.. berapa biji nih? Masa aku mesti
habisin semua?”
Anta tertawa geli, “ ga tau deh.. itung aja coba..” Abby
beneran menghitung macaroon itu.
total ada 30 buah..
“ ooh gampang.. nanti buat kamu, mama, oom sama tante..
beres,,” Abby tersenyum memandangi
menara cantik di depannya.
Anta tersenyum melihat raut gembira di wajah Abby. Abby
meminta pelayan café untuk membungkus macaroon menjadi beberapa kotak agar
mudah diberikan. Setelah itu, mereka berdua meninggalkan café itu.
“ oia sih.. mau ga anter aku ke kampus sebentar? Aku mau cek
nilai dulu nih..”
Anta melirik jam tangannya, “ oke.. “ sahutnya sambil
berjalan ke arah mobilnya.
Waktu menunjukkan pukul dua, butuh waktu empat puluh lima
menit untuk sampai di kampus Abby. Namun di jalan yang biasa dilewati, sedang
terjadi kecelakaan truk hingga menimbulkan kemacetan hingga 5 km.
“ yaaaahhhhh… mana macet lagi..”
“ iya nih, sabar ya,,”
Abby melihat jam tangannya, sudah jam dua sore. Komputer di
kampusnya pasti sudah dimatikan jam segini. Beruntung kalo bisa sampe disana
jam tiga sore.
Akhirnya pukul empat mereka sampai di kampus, niat untuk cek
nilai pun pupus sudah. Abby dan Anta memutuskan ke kantin sebentar. Disana
hanya ada segelintir mahasiswa yang masih betah di kampus. Mereka berbincang-
bincang ringan sejenak, di tengah perbincangan Anta berubah serius.
“ apa
rencanamu hari ini?”
Abby menatap Anta bingung, “ maksudnya?”
“ yaahh.. ga ada rencana sama mamamu?”
Abby menggeleng, “ mestinya sih ada, tapi mama lagi sibuk
hari ini. jadi ga bisa rayain bareng mama..”
Abby menghela nafas panjang, “ menurutmu, apa yang
sebenernya terjadi sama papaku? Kenapa untuk jawaban itu aku harus menunggu
selama ini.. aku..”
“ kenapa?”
Abby menghela nafas lagi, “ ragu.. gimana kalo ternyata
lebih baik aku engga mendengar yang sebenernya?”
Anta menatap Abby lekat- lekat, “ By.. engga ada yang lebih
baik daripada kebenaran. Meski menutupi kebenaran lebih mudah daripada menutupi
kebohongan, tapi kebenaran nantinya juga harus terungkap,,”
“ aku takut, aku merasa aku bisa bikin mama sedih. Aku
pernah bahas tentang ini sama mama, matanya mama waktu bahas itu, “ Abby
berhenti sejenak.
“aku sempet pengin kubur dalam- dalam keinginanku itu.. di
dunia ini, aku Cuma punya mama, mama Cuma punya aku. So,..”
“ but
don’t you think you deserve to know? What if it something that you should know?
What if it is just about good timing? Not anything else.. “
Abby mulai berpikir mendengar perkataan Anta.
“ketakutan yang kita rasakan, seringkali pada akhirnya sama
sekali tidak terbukti..”
Abby menatap Anta, Anta tersenyum sambil menggenggam tangan
Abby.
“ ayuk kita berangkat, katamu hari ini ga ada acara lain
kan?”
Abby mengangguk membenarkan, “ tapi sekarang kita mau
kemana?”
“ dinner..” Anta tersenyum lebar.
Setengah jam kemudian, mobil sport Anta sudah tiba di
pelataran hotel JW Marriot di pusat kota Surabaya.
Abby turun dari mobil, “ waduh.. kita makan disini nih? Aku
pake baju beginian lagi,,” Abby minder dengan pakaiannya yang terlalu santai
untuk tempat sekaliber hotel JW Marriot.
Anta
tersenyum lebar, “ tenang..” Anta mengeluarkan tiga tas lumayan besar dari
kursi belakang mobilnya.
“ kamu ganti baju sama dandan seperlunya.. jangan minta
handuk ya tapi..hehe..” setelah mengambil barangnya, Anta menyerahkan kunci mobil
kepada petugas valley parking.
Abby tersenyum senang, ia bergegas menuju ruang ganti, “ aku
tunggu di restoran ya..”
Abby mengangguk, saat sudah ganti baju, abby membuka tas
lain yang berisikan make up dan satu lagi jas yang ia yakini milik Anta. Abby
terkejut melihat peralatan make up yang sangat beragam untuk sekedar
memperbaiki penampilan. Abby tersenyum geli dengan apa yang Anta sediakan
untuknya.
Beberapa saat kemudian Abby menyusul Anta ke restoran hotel,
“ kamu ga ganti baju?”
“ nanti aja, kalo udah di ruangan..”
“ oia.. alat make upnya, kamu pikir aku make up artis gitu?
Lengkap banget bawanya,,”
Anta tersenyum malu, “ hehe.. sori,, habisnya aku mana
ngerti begituan.. jadi aku beli aja mbaknya tawarin..”
Anta
dan Abby diantarkan oleh pelayan ke area restoran yang private, di meja telah
tertata rapi bunga dan lilin.
“ wahhh.. you prepare this?” tanya Abby masih sambil
mengagumi meja di hadapannya.
Anta menggeleng, “ not really,,”
“ trus?”
Mata Anta tertuju pada sosok di belakang Abby. Mamanya!
“ mama!!” Abby terkejut melihat mamanya datang tiba- tiba.
Abby segera beranjak dari tempat duduknya dan memeluk mamanya. Anta ikut
berdiri dan tersenyum melihat ibu dan anak ini.
“ jadi kamu sama mama kerja sama ya?”
Anta tersenyum, “ silakan tante.. saya mau pamit dulu..”
Mama Abby tersenyum terima kasih, “ makasih banyak ya, dari
kecil kamu emang udah manis, sampe sekarang ga berubah..”
Anta nampak tersipu, ia juga pamit pada Abby.
“ yaah.. kamu pulang ya?”
Anta
menganguk, “ have a good dinner..” kata Anta sambil meninggalkan ruangan. Saat
sampai di pintu keluar, wajah tersenyum Anta menghilang. Ia tidak pulang, ia
memutuskan untuk mencari tau apa yang terjadi dengan Abby dan keluarganya. Ia
mengambil handphonenya.
Sementara di dalam, Abby dan mamanya terlibat perbincangan
yang hangat,
“ ma.. makasi ya udah sempet dateng kesini.. “ Abby
tersenyum pada mamanya.
“ iya sayang, mama seneng bisa datang sekarang. Mr. Cang
dari Macau lagi terjebak cuaca buruk di sana, jadi meetingnya ditunda sampe
besok pagi, makanya mama minta tolong Anta untuk atur pertemuan ini..”
Abby tersenyum tipis, lagi- lagi Anta pelakunya. Pelaku yang
membuat hatinya berbunga.
“ jadi gimana sama Mr. Cang, ma? Udah sampe mana dealnya?”
“ mama baru aja kirim proposal beberapa minggu yang lalu,
mama masih belum tau gimana responnya untuk pengembangan megamall di kawasan Ngagel nanti. Tapi karena responnya lumayan
cepet, sepertinya beliau tertarik..” jelas mama Abby panjang lebar, membuatnya
menutup mulutnya sendiri.
“
aduh.. maaf sayang.. mestinya no business on the table..” mama Abby terlihat
menyesal. Sejak kecil Abby selalu protes kalau mamanya menyinggung masalah
pekerjaan saat makan.
Abby tertawa geli, melihat mamanya yang begitu antusias
menjelaskan semuanya, ia bangga dengan kerja keras yang telah mamanya lakukan.
“ ma,. Abby sekarang udah besar. Secepatnya Abby yang akan
gantikan mama sebagai penerus CJ Group. Saat itu, mama bisa istirahat.. gentian
Abby yang kerja keras kaya mama sekarang..”
Mama Abby terharu, secara pribadi ia tidak ingin Abby
terlibat di dunia bisnis yang keras dan terkadang kotor. Namun di sisi lain,
memang harus ada yang meneruskan perusahaan yang telah dirintis semenjak kakek
buyut Abby.
“ Abby jangan kuatir, mama ga akan maksa kalo ini bukan yang
Abby mau.. “ katanya sambil menggenggam tangan Abby.
Sesaat kemudian, kereta makanan datang dengan hidangan yang
tertutup. Pelayan membuka penutup hidangan itu, lalu menyalakan lilin di atas
kue itu. Abby dan mamanya menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Mama Abby
memintanya untuk berdoa memanjatkan permintaan. Saat mata Abby tengah terpejam,
mamanya mengeluarkan sebuah amplop besar dari dalam tasnya.
Abby terkejut saat membuka matanya.
****
Anta
menelpon mamanya, “ halo ma.. Anta mau tanya sesuatu.. mama harus jawab jujur
dan singkat..”
“ waduh.. ada apa?”
“ papanya Abby.. sebenernya ada apa dengan papanya Abby?”
Mama Anta tercekat, ia kaget mengapa sang anak menanyakan
hal itu, “ kenapa kamu tanya hal itu? kenapa kamu mau tau?”
“ ma.. aku udah bilang kalo mama harus jawab.. “
“ tapi itu urusan keluarga orang, kamu ga boleh ikut
campur,”
“ ma.. please.. sekali ini aja.. hari ini Abby mau nanya
tentang papanya langsung ke tante, dia akan tau hari ini ma., Anta engga
mungkin tanya langsung kan sama dia? Tapi Anta merasa kalo ini sesuatu yang
Anta harus tau..”
Mamanya menghela nafas, “ oke.. tapi apapun yang kamu
dengar, jangan pernah ikut campur.. kamu cukup tau, jangan berbuat apa- apa..”
Anta mengangguk, ia menatap sejenak ke ruangan dimana Abby
dan mamanya berada..
Sementara
di ruangan itu, Abby masih bingung denga amplop yang ada di depannya, “ ini apa
ma?”
Mamanya menghela nafas panjang, “ yang kamu tanyakan selama
ini. yang mama simpan selama ini..”
Abby menatap mamanya, matanya berkaca- kaca, namun mamanya
terlihat tabah. Abby meletakkan amplop itu kembali,
“ ma.. apa ga boleh kalo Abby denger langsung dari mama?”
Mamanya mengangguk, “ mama memang akan menceritakannya
sendiri ke kamu. Tidak adil rasanya buat mama kalo kamu hanya mendapat
informasi dari kertas di dalam sana..”
Abby menyiapkan hatinya, dan Anta melakukan hal yang sama
diluar. Bersamaan mereka berkata di tempat yang berbeda..
“ tell me, mom..”
Mama Abby memulai kisah hidupnya dua puluh tahun lalu, “
waktu itu mama masih muda. Mama jatuh cinta sama pria ini, pria yang perhatian
sekali sama mama. Beberapa bulan kami menjalin hubungan, tapi mama sudah
melangkah ke jalan yang tidak seharusnya.. sampai kemudian mama sadar kalau
mama hamil..”
Abby mengernyitkan dahinya, semakin serius mendengarkan
ucapan mamanya.
“ mama panik, waktu itu mama masih muda. Mama takut kalo
mama engga bisa merawat anak dengan baik. Tapi kakek dan nenekmu melarang mama
untuk mengugurkan kandungan mama. Waktu itu, dengan berat hati mama tetap
menjaga kandungan itu dan menikah dengan papamu.”
“ beberapa waktu berjalan, mama mulai merintis karir di
perusahaan ini sembari merawatmu dalam kandungan. Sementara itu, papamu rupanya
menyesali pernikahan kami, dia pergi dengan wanita lain sementara mama sibuk
bekerja..”
Abby merasakan sesak di dadanya, namun ia berusaha
menahannya.
“ hanya karena mama punya kakek dan nenek makanya mama bisa
kuat, saat tertangkap basah oleh mama, mama minta dia pergi meninggalkan mama.
Waktu itu mama berharap dia akan melakukan yang sebaliknya, namun papamu betul
pergi meninggalkan mama..”
“ saat itu, papamu sempat meragukan bahwa kamu adalah buah
hati kita berdua.. itu yang paling menyakiti mama..”
Air mata Abby tak terbendung lagi, hatinya begitu teriris
sebagai seorang anak mengetahui mamanya begitu menderita karena dirinya, “ ma,
udah ma.. cukup sampai disitu aja..” Abby terisak.
Mamanya ikut meneteskan air mata, ia tetap melanjutkan
ceritanya hingga akhir.
“ harapan terakhir mama ke papamu adalah saat mama
melahirkan kamu, mama saat itu sungguh berharap papamu bisa datang satu menit
saja untuk melihat malaikat kecil kami.. namun sampai detik ini, papamu tidak
pernah muncul..”
“
setiap ulang tahunmu, mama ingin dia datang sekali saja untuk bertanya
bagaimana keadaan Abby. Sekali saja dia menatap ke dalam mata mama dan mengerti
apa yang sudah mama lewati karena dia.. sekali saja menatap matamu dan
menyadari betapa cantiknya Abby sekarang.. tapi, kesempatan itu belum datang
juga..”
Di saat
yang sama, Anta selesai mendegar penjelasan singkat mamanya. Anta membalikkan
badannya, ia ingin melihat bagaimana keadaan Abby sekarang.
“ Ingat! Jangan ikut campur!” kata mamanya sebelum menutup
telponnya.
Saat sampai di depan pintu, Anta melihat Abby dan mamanya
tengah berpelukan sambil menangis tersedu- sedu. Melihat itu, hatinya terpukul,
ia ingin membuka pintu di depannya dan menerobos masuk. Namun saat itu juga dia
ingat, bahwa dia tidak bisa ikut campur. Anta hanya menatap Abby dari luar,
Anta lalu memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Saat ini tidak ada yang bisa ia
lakukan untuk Abby.
Setelah
suasana tenang, Abby membuka amplop yang diberikan oleh mamanya tadi.
“ ini apa ma?”
“ itu informasi yang berhasil mama temukan tentang
keberadaan papamu. Kalau kamu pengin mencari papamu, mungkin informasi ini
sedikit bisa membantu.”
Abby melihat beberapa lembar kertas yang berisi kliping dari
internet dan biodata singkat mengenai papanya. Abby merasa aneh melihat foto
itu, foto yang tidak pernah ia kenali bahkan jumpai selama ini. mata Abby
kembali berkaca- kaca, namun ia berusaha menguasai diri di depan mamanya.
“ ma.. mama tau kalo mama bisa menemukan papa selama ini.
tapi, kenapa mama engga pernah mencari papa? “
Mamanya tersenyum getir, “ papamu.. mama takut dia akan lari
lagi. Lari dan bersembunyi ke tempat yang mama tidak bisa jangkau. Sama seperti
saat dia pergi dulu.. kalau mama melakukan itu, mama khawatir kamu tidak akan
bisa ketemu papamu..”
Abby mengerti, dia mengangguk sambil memasukkan kembali
kertas- kertas itu ke dalam amplop. Abby dan mamanya lalu pulang bersama, di
dalam mobil suasana terasa aneh pada awalnya. Abby dan mamanya sama- sama
terdiam, larut dalam pikiran masing- masing.
Saat
sampai di rumah, Abby mengantarkan mamanya sampai ke kamar tidur, merapikan
tempat tidur mamanya selagi mamanya mandi. Setelah mamanya selesai mandi, Abby
naik ke kamarnya.
“ ma.. maafin Abby ya kalau hari ini bikin mama sedih..”
Mamanya menggeleng, “ engga.. kamu sama sekali engga salah.
Kamu berhak tau semua ini.. maafin mama, membuat hari ulang tahunmu jadi
begini, sayang..”
Abby tersenyum getir, “ engga ma.. makasih banyak.. makasih
karena mama mau lahirin dan merawat Abby selama ini, Abby tau itu semua berat
tapi mama engga pernah mengeluh.. makasih ma..” kata Abby sambil memeluk
mamanya.
Saat di kamar, Abby membuka dokumen itu lagi. Tertulis nama
papanya disana dan domisili ayahnya saat ini.
Nama: Roy Wijaya
Pandega
Tempat tanggal Lahir
: Cilegon, 18 Maret 1967
Pekerjaan: Sous Chef
at The Luxury Grande Italian Cuisine, Lembang, Bandung, 2008- sekarang.
Status: Belum
berkeluarga
Riwayat pekerjaan:
- Waitress at The
Rabbit Bar and Restaurant, Kuningan, Jakarta, 1994- 2000.
- Kitchen
Staff at Redtop Hotel, Pecenongan, Jakarta, 2000- 2008.
Alamat rumah: Jalan
Diponegoro Perumahan Dragon Palace Blok S nomor 14, Bandung Selatan.
Abby
melanjutkan membaca informasi lainnya yang ada di tangannya. Abby lalu membuka
album fotonya, di album foto itu hanya ada potret dirinya bersama mamanya. Abby
kembali menangis teringat kehidupannya yang tidak lengkap tanpa hadirnya
seorang ayah yang bisa hadir untuk dirinya. Abby begitu sedih mengetahui bahwa
dirinya tidak pernah diinginkan oleh papanya, hingga papanya tega meninggalkan
dia dan mamanya. Ini adalah pengalaman pertamanya merasa tertolak oleh darah
dagingnya sendiri, entah kenapa rasa sakit itu datang menerpa begitu kencang
hingga ke dalam lubuk hati Abby dan rindu akan sosok seorang ayah, rindu akan
potret keluarga kecil yang lengkap dan bahagia.
Abby kembali turun melihat kebawah melihat mamanya yang
telah tertidur lelap. Waktu menunjukkan pukul 11 malam, Abby mengambil mantel
dan kunci mobilnya. Ia mengambil handphone dan menatapnya sejenak, namun ia
memasukkan kembali handphonenya.
Di dalam kamarnya, Anta belum tertidur, ia masih sibuk
mempelajari kontrak yang diberikan mamanya kepada Anta untuk dipelajari. Anta
menatap handphone di sebelahnya yang sejak tadi ia tunggu berbunyi, ia khawatir
dengan Abby. Dalam benaknya terlintas bayangan masa kecilnya saat ia mengobati
Abby yang baru tersengat lebah, dan kini dalam hatinya tidak berubah. Ia ingin
melindungi Abby sampai kapanpun, menemani Abby disaat kapanpun. Saking sibuknya
bekerja, Anta tidak menyadari kopi di gelasnya telah habis sementara matanya
sudah mulai mengantuk, Anta turun sejenak untuk membuat kopi.
Entah
angin apa yang membawa Abby berhenti di depan rumah Anta. Disaat seperti ini ia
hanya terbayang wajah Anta dalam benaknya, seseorang yang bisa membuat ia jujur
tentang apa yang dia rasakan. Abby menatap ke ruangan rumah Anta yang lampunya
masih menyala, ia yakin itu kamar Anta. Abby dengan ragu mengeluarkan
handphonenya dan menelepon Anta.
Sementara Anta masih membuat kopi di bawah dan meninggalkan handphonenya
bordering di dalam kamar. Dua kali Abby menelpon namun Anta tidak menjawab, “
mungkin dia sudah tidur..” batin Abby. Abby sedikit kecewa, nampaknya ia akan
menghabiskan malam ini sendirian saja.
Namun tepat saat Abby akan menutup telponnya, Anta menjawab
telponnya.
“ Halo??” jawab Anta di seberang. Suara Anta terdengar
cemas. Abby terkejut karena Anta menjawab telponnya tepat saat ia mau pergi
dari sana. Abby menatap Anta yang baru saja sampai di kamarnya dan mengambil
handphonenya. Saking kagetnya, Abby malah menangis dan tidak mampu mengucapkan
apa- apa.
“ halo, By.. kenapa?” Anta makin penasaran. Ia belum
menyadari keberadaan Abby.
Sementara Abby masih larut dalam kesedihannya, “ Cuma denger
suaramu, aku engga bisa nahan perasaanku lagi..” kata Abby dalam hatinya.
Anta terus memanggil- manggil Abby dari telepon, ia mulai
bingung kenapa sejak tadi Abby diam saja. Abby menundukkan kepalanya menangis
namun berusaha menahannya. Anta keluar untuk memastikan ada sinyal di luar
sana. Saat di balkon kamarnya, pandangan Anta tertuju pada mobil di bawah lampu
perumahan yang biasanya tidak pernah ada. Seketika itu juga ia sadar bahwa itu
adalah Abby, Anta semakin sadar melihat ada seorang gadis yang tengah tertunduk
dan bersandar pada mobilnya.
Anta bergegas
turun ke bawah tanpa membuat suara yang bisa membangunkan papa mamanya di
tengah malam begini. Ia membuka gerbang rumahnya perlahan sambil terus
menempelkan telpon di telinganya, satu menit kemudian Anta sudah bisa melihat
Abby dengan jelas. Abby sedang berusaha mengatur nafasnya agar dapat berbicara
dengan jelas, namun air mata dan keringat sudah membasahi wajahnya. Anta
berjalan ke arah Abby, sementara Abby mengangkat wajahnya dan menatap ke kamar
Anta. Namun Anta sudah tidak ada disana, Abby bingung kemana perginya Anta. Ia
nampak bingung dan melihat ke arah lainnya, betapa terkejutnya Abby saat ia
melihat Anta telah berdiri hanya beberapa meter di hadapannya.
Abby dan Anta saling bertatapan, tatapan hangat dari mata
Anta membuat Abby mampu tersenyum terenyuh. “ the best feeling in live is, when
you have someone to turn into..” kata Abby dalam hatinya. Anta berjalan
mendekatinya, mematikan sambungan telpon dan memasukkan handphone ke dalam
kantong celananya. Tanpa kata, Anta memeluk Abby erat- erat di tengah dinginnya
malam.
“ why don’t you say anything before?” Anta membicarakan
tentang telpon barusan. lagi- lagi suara Anta yang begitu dalam membuatnya
tidak bisa menahan perasaannya sejak tadi. Abby menangis tersedu- sedu dalam
pelukan Anta. Perasaan sedih, marah, terbuang, merasa bersalah kepada mamanya
tergabung dalam satu waktu hingga membuat dadanya serasa ingin meledak dan
seolah dia bisa gila kalau tidak mengeluarkannya sekarang.
Anta memeluk Abby semakin erat, kali ini Anta membelai
kepala Abby, menenangkan badai dalam hati Abby yang tengah mengamuk saat ini.
Dalam bayangannya muncul bayang mamanya yang setiap hari
bekerja hingga larut malam, kembali terlintas foto- foto keluarga yang hanya
diisi oleh mama dan papanya. Saat ia harus meniup 20 kali lilin ulang tahun
tanpa orang tua yang lengkap, meskipun papanya adalah sosok yang tidak pernah
ia temui, namun selalu ada sudut kosong dalam hati Abby yang terasa sakit bila
dibuka.
‘ papamu tidak pernah datang sampai sekarang..’
‘ mama takut dia akan lari lagi dan kamu tidak akan pernah
bisa bertemu dengan papamu,,’
‘ papamu sempat ragu bahwa kamu adalah buah hati kita
berdua..’
‘ hal itu yang paling menyakiti mama..’
‘ dan menyakiti Abby dua kali lipat ma..’
Benak Abby terbawa kesana kemari, ucapan- ucapan yang
terngiang di telinganya membuat kepalanya ingin meledak. Tangis Abby kembali
pecah, hatinya sakit, sakit sekali.. hingga ia hanya bisa meremas mantel Anta.
Di saat
yang sama Anta mendekap Abby, Anta meneteskan air matanya seolah bisa merasakan
apa yang Abby rasakan saat ini, “ if this is what it takes to make you
stronger, then I’ll let you gone through this..” kata Anta dalam hati. lima
belas menit kemudian Anta dan Abby sudah berada dalam mobil. Abby menunjukkan
amplop yang diberikan mamanya. Abby menceritakan apa yang dikatakan mamanya
tadi kepada Anta, Anta yang sudah mengatahui hal ini sebelumnya hanya
mengangguk- angguk kecil mendegar hal yang tidak disebutkan oleh mamanya.
Sejenak kemudian ia melihat kertas- kertas di dalam amplop.
“ aku.. pengin ketemu papa.. “
Anta menatap Abby kaget, meski ia bisa menebak bahwa Abby
ingin bertemu dengan papanya, namun ia tidak menyangka akan secepat ini.
“ kenapa?” tanya Anta.
“ karena papa engga mau ketemu aku, aku pingin sekali aja
ketemu dan bilang kalo aku sama mama baik- baik aja.. dan papa, bisa hidup
dengan tenang sekarang..” kata Abby mantap seolah mengetahui apa yang papanya
rasakan.
Anta mengangguk mengerti mendengar perkataan Abby. Setelah
tenang, Abby pulang kembali ke rumahnya. Anta memandang kepergian Abby dengan
senyuman.
Sementara
dalam sebuah rumah berkonsep minimalis, duduk seorang lelaki paruh baya sambil
menenggak segelas anggur merah di tangannya. Ia memutar tangkai gelas sebelum
meminum anggur merah tersebut. dalam sekali teguk ia menghabiskan anggur itu,
ia meletakkan gelas kacanya dan memandang ke arah luar dengan tatapan kosong. Lelaki
itu lalu berdiri, berjalan mendekati kaca rumahnya dan berhadapan langsung
dengan kolam renang yang terlihat tenang. Ia memasukkan tangannya ke dalam
kantong celana, memikirkan sesuatu. Terbayang di benaknya saat dua puluh tahun
lalu naluri pengecutnya telah membuat ia kehilangan kesempatan untuk dapat
menyentuh anak satu- satunya selamanya.
“ dua puluh tahun itu adalah hari ini..” lelaki itu
tersenyum tipis lalu berbalik menuju kamarnya. Di bajunya tertulis nama lelaki
itu.
‘ Pandega, Roy’
Sebelum naik ke tempat tidur, ia memandang kartu ucapan yang
ia letakkan di atas meja.
“ have you grown up well? Happy birthday daughter..”
Roy tersenyum miris, ia memasukkan kartu itu ke dalam laci
meja yang terbuat dari kaca. Dari situ terlihat terdapat banyak kartu ucapan
sesuai dengan jumlah umur Abby. Namun kartu- kartu ucapan itu tidak pernah
sekalipun ia kirimkan.
****
“ jadi
kapan kamu mau berangkat?” tanya mama Abby.
“ mungkin minggu depan ma, setelah itu Abby harus fokus
kuliah lagi..”
Mamanya mengangguk.
“ ma… mama benci ga sama papa?”
Mamanya tersenyum, “ kamu tau, sayang.. kalau mama benci
sama papamu, mama engga akan sanggup membesarkan kamu sampai sekarang. Kalau
mama benci sama papamu, mama engga akan sanggup menatap ke dalam matamu karena
pasti ada bayangan papamu di dalam sana.. jadi, mama engga benci papa, demi
kamu, karena kamu, mama engga benci sama papa,,”
Abby tersenyum lebar, ia bangga memiliki mama yang berhati
besar seperti mamanya.
Anta
sibuk mendengarkan masukan dari tim, dari luar mamanya memperhatikan anaknya
yang sungguh- sungguh bekerja dan berkarir sesuai dengan jenjangnya. Setelah
selesai rapat, Anta menghadap mamanya. Anta bersikap formal kepada mamanya saat
di kantor, ia tidak ingin terlihat istimewa hanya karena ia putra dari Director
Of Finance BMW Indonesia ini. sesungguhnya ia tidak nyaman dengan mamanya bila
terlalu sering memanggilnya ke ruangan mamanya, bagaimanapun ia tetap ingin
menjaga profesionalisme antar sesama manager dan bawahannya.
“ nak..” mamanya memanggil Anta. Anta terkejut, ia pun tidak
lagi bersikap formal.
“ ma.. mau ngomong apa? Nanti aja di rumah.. Anta ada
kerjaan..” katanya sambil berbalik badan.
Mamanya tersenyum, ia memanggil Anta bukan tanpa alasan, “
oke.. kalo gitu jawaban yang tadi pagi mama jawab nanti sore aja deh,,”
Langkah kaki Anta berhenti, ia kembali menatap mamanya.
Pagi
tadi saat sarapan, Anta menceritakan kejadian semalam. Ia juga menceritakan
maksud Abby untuk mencari papanya di Bandung. Kebetulan Anta juga ada undangan
makan malam oleh temannya sat di Universitas Atmajaya dulu, kalau jadwalnya
sama dan Abby bersedia, Anta ingin menemani Abby. Mamanya awalnya menolak
karena bagaimanapun tidaklah baik laki- laki dan perempuan pergi dalam satu
perjalanan yang sifatnya pribadi. Anta tau itu, oleh karenanya ia minta mamanya
mempertimbangkan niatnya itu. Dan mama Anta mengkomunikasikan hal itu kepada
Valia, mamanya Abby. Setelah berbincang sejenak, kedua ibu ini akhirnya setuju
apabila Anta dan Abby harus pergi bersama, toh kepentingan mereka berbeda,
mereka juga percaya kepada anak masing- masing.
“ yes, you may go in one condition,,”
Anta mengernyitkan dahinya, mamanya melanjutkan bicaranya, “
take care of her as good as you can.. you know what I mean?” mamanya menekankan
kata ‘take care’.
Anta mengangguk mantap, ia tersenyum senang dan berterima
kasih pada mamanya.
Abby
tentu saja senang dengan niat Anta yang akan ikut ke Bandung bersamanya,
bagaimanapun Bandung adalah tempat yang asing baginya. Seminggu kemudian ia dan
Anta terbang ke Bandung untuk memenuhi kepentingan masing- masing.
“ acara launching temenmu itu dimana?” tanya Abby saat di
dalam taksi menuju Lembang.
“ di daerah Pasteur..”
“ wuduh.. jauh dong dari lembang?”
“ gapapalah.. engga sampe sejam juga kok..” kata Anta sambil
tersenyum.
Anta memutuskan untuk tinggal di satu hotel yang sama. saat
sampai di resepsionis hotel Dago Hills, mereka berdua check in kamar.
“ kamar
deluxenya ada mbak?” tanya Abby.
Petugas mencarikan kamar melalui monitor di depannya, “ ada
mbak, pas tinggal satu..” petugas itu tersenyum sambil menatap Anta. Ia mengira
bahwa Abby dan Anta akan tinggal bersama. Anta bingung kenapa petugas itu
senyum kepadanya karena sejak tadi ia sibuk dengan handphonenya.
“ ooh.. engga mbak, kamar kita misah kok..” kata Abby,
petugas itu terlihat salah tingkah. Anta hanya tertawa membayangkan ia akan
satu kamar dengan Abby.
“ kalo gitu kamu di suite room aja ya? Aku di deluxe aja..”
tawar Abby kepada Anta.
Anta menolak keras, “ eh ga mau! Beda lantai dong?”
Abby heran, “ iya.. emang kenapa?”
Anta menggeleng keras, “ suite roomnya masih berapa?”
“ masih tiga lagi, pak..”
“ kamar berapa aja?”
“ 501, 511, 523..”
“ oke kalo gitu itu..” kata Abby.
“ eh siapa bilang, ga jadi mbak kejauhan.. president suite
room?” tanya Anta. Abby kaget, president suite room? Enak aja dia nanya- nanya
president suite room padahal bayarnya sendiri- sendiri..
“ mohon maaf pak, tapi kamar president suite room kami tiga
sedang dalam proses peremajaan dan empat lainnya sudah di booking.. kami mohon
maaf karena ini high season..”
Tinggal
satu pilihan lagi, “ family room?”
Abby semakin kaget hingga tidak bisa berkata apa- apa
melihat tingkah Anta. Namun ia tersenyum melihat Anta yang begitu repot dengan
kamar mereka.
Petugas tersenyum dan mengatakan bahwa family room masih
tersedia di lantai 7 dan 8.
Anta menatap Abby seolah meminta persetujuan, Abby setuju,
Anta tersenyum penuh kemenangan. Bagaimanapun ia tidak ingin jauh dari Abby.
“ kamu mau lantai berapa?” tanya Anta.
“ yang viewnya lebih bagus yang mana mbak?” tanya Abby.
“ yang di lantai 7 mbak..” jawab petugas itu, Abby memilih
lantai itu. setelah proses check ini selesai, petugas memberikan kartu kamar
kepada Anta dan petugas membawakan kamar mereka.
Ruangan
yang akan mereka tempati didesain dengan kayu- kayu hingga membuat mereka
merasa nyaman. Terdapat penghangat ruangan yang dapat disesuaikan dengan suhu
yang diinginkan. Sofa dan tempat tidurnya terlihat sangat nyaman. Di sudut
ruangan, terdapat pintu yang menghubungkan ruangan satu dengan yang lainnya,
ciri khas family room. Petugas menanyakan apakah pintu itu diijinkan untuk
terhubung, abby mengiyakan pertanyaan itu. setelah petugas itu pergi, Anta pun
masuk ke ruangan sebelah untuk merapikan barang- barang pribadinya. Malam
menjelang dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Udara
dingin menyeruak saat Abby membuka jendela kamarnya, dihadapannya terbentang
pemandangan kota bandung yang berkelip- kelip dari banyak penjuru, dihiasi
dengan udara dingin kota Lembang yang khas. Abby membuat kopi lalu duduk di
sofa gantung sambil membawa data tentang papanya, ia memandang ke langit malam.
Anta mengetuk pintu yang menghubungkan dengan kamar Abby,
beberapa kali diketuknya namun tidak ada jawaban, Anta memberanikan diri untuk
membuka pintu itu, ia mencari Abby ke sekeliling dan melihat Abby yang sedang
terduduk sendiri dan ada amplop yang terletak di atas meja di sebelahnya. Anta
menghela nafas, ia mencari cara untuk membuat Abby lebih rileks. Akhirnya Anta
menemukan idenya, ia mengambil botol kosong yang dijadikan pajangan di kamar
itu, sejenak kemudian ia lalu menghampiri Abby.
“ hei! Ngelamun aja!” sapa Anta.
Abby sempat kaget, namun ia tersenyum saat ia tau kalo itu
Anta.
“ ambil sellimut dulu gih kalo mau gabung, “ kata Abby yang
sedari tadi sudah dibalut selimut tebalnya. Anta menolak dan berkata bahwa dia
suka dingin.
“ ya udah.. tunggu bentar ya,,” Abby berjalan ke dalam
membuatkan kopi untuk Anta. Anta memandangi Abby sejenak lalu pandangannya
teralih kepada amplop diatas meja. Ia menyemangati dirinya sendiri bahwa ia
harus bisa mendampingi Abby sekarang.
Sesaat
kemudian Abby kembali dengan segelas kopi panas, Anta mengambilnya dan
mengucapkan terima kasih.
“ By.. kita main tanya jawab yuk.. pake ini..” Anta
menunjukkan botol yang tadi ia bawa.
“ truth or dare?”
Anta menggeleng, “ sedikit beda, sekarang kita main truth
aja..hehe..”
Abby mengangguk setuju, Anta pun segera memutar botol itu di
meja. Giliran pertama adalah Abby yang akan ditanyai oleh Anta.
“ tipe cowok idaman?” tanya Anta.
Abby mengeluh, “ oh come on!!! Aku berasa lagi ngsisi biodata jaman SMP.. ganti pertanyaan..”
Anta mendengus karena rencananya gagal, “ oke.. tempat yang
paling engga suka kamu datengin?”
“ hmm.. bandara, terminal, stasiun..”
“ kenapa?” tanya Anta.
“ it’s the place when people say goodbye to each other,
selalu ada lambaian tangan dan tatapan mengenang hal apa aja yang sudah
dilewati bersama orang yang pergi itu.. suatu perasaan yang engga pasti tentang
kapan orang itu akan bisa kembali sama kita,, and when you look back, the plane
is taken off, the bus and train had already gone..”
Anta
mengangguk mengerti, botol pun kembali diputar, Abby lagi yang kena ditanyai.
Abby keberatan, ia berkata bagaimana kalau ini malam sialnya dan dia terus yang
ditanyain? Dia engga setuju, lebih baik nanya aja gentian, tapi harus jujur..
Anta pun setuju.
“ hmm.. punya berapa mantan? Trus kenapa putus sama mantan
terakhir?”
Anta terlihat enggan menjawab pertanyaan itu, “ lima.. putus
sama yang paling terakhir soalnya LDR..”
“ kamu engga bisa LDRan ya? Pasti berat ya?”
Anta menghela nafas, “ I believe, dalam satu hubungan
diperlukan kerjasama. We are TEAM, and TEAM stand for Together Everyone Achieve
More. Disaat satu pihak merasa engga menerima apa- apa, perlahan dia mulai mengurangi
kerjasamanya. Rasanya kaya main tarik tambang, disaat satu pihak udah engga
lagi berusaha menarik tambang kuat- kuat maka the game is over..”
“ so you’re the one who still pull it up? And she lose it..”
Abby memastikan.
“ yah.. bisa dibilang begitu, but relationship to me is not
about winning or losing.. as I don’t see it as a game or competition..”
Abby berusaha mengerti perkataan Anta barusan, sekarang
gilirannya yang ditanyai.
“ paling benci orang kaya apa?”
“ orang
yang pinter,,” jawab Abby.
“ lah?” Anta bingung.
“ beberapa orang pintar yang aku tau, yang aku kagumi pada
awalnya selalu menunjukkan gejala ini: mereka akan mulai engga bisa mendengar
kritik karena mereka merasa bahwa diri mereka sudah lebih baik dan diatas orang
lain, mereka lalu akan sulit mengucapkan maaf karena takut akan dipandang
rendah oleh orang yang menurut dia kurang pintar. Trus dia akan mulai
menyendiri karena merasa engga ada yang bisa mengerti dia sepenuhnya.. that’s
why aku engga suka sama orang pinter kalo engga punya attitude, you will become
arrogant..” jelas Abby.
“ whoa.. keren- keren.. oke, ask me,.”
“ oke.. hmm.. apa mimpimu yang mau kamu capai dalam hidup?”
“ aku pengin mewujudkan mimpi guru SMAku..” jawab Anta.
Abby heran, “ hah? apa itu?”
“ in 15
years, aku punya mimpi untuk jadi CEO BMW Indonesia..”
“ trus, kenapa itu jadi mimpi guru SMAmu?” tanya Abby.
“ beliau pernah bilang kalo posisi penting di Indonesia ini
banyak dipegang oleh orang asing. Orang pribumi masih belum bisa memimpin di
posisi paling atas. Perkataan beliau melekat dalam pikiranku dan lama kelamaan
menjadi mimpiku. Itu sebabnya aku kerja keras menyelesaikan gelar master di
luar negeri, it’s not because I’m studying over seas, tapi di tempat aku
sekolah dulu aku bertemu orang- orang dengan latar belakang luar biasa, it’s
like they born to lead. Dari mereka aku banyak belajar, tentang cara mereka
akan bekerja dan membangun karier perusahaan mereka nanti. Dari situ aku
terpacu kalo aku harus bisa membangun negeriku sendiri. Saat ini 60% teknisi
perusahaan adalah staff asing, I have a dream that I’ll make it 20%, dan 80%
adalah adik- adik dari STM Indonesia. Aku yakin banyak anak Indonesia yang
bisa, it’s just they don’t have the chance. So I wanted to make that chance..”
Abby bertepuk tangan, “ waaahhh keyeen keyeen… tau gak.. aku
ngerasa lagi denger kamu pidato di private party tadi.. hahahahahaha..”
Anta tersenyum, sudah lama ia tidak berbagi mimpi yang ia
miliki pada orang lain.
“ oia.. apa rencanamu besok?” tanya Anta.
“ besok.. aku mau mulai cari papa.. jujur aku bingung mau
mulai dari mana.. tapi tentu aku harus mulai dengan datang ke resto tempat papa
kerja..” jawab Abby dengan yakin.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar