“ apa?!
Abby sedang mencari papanya? Kenapa..k..ke..” Mama Valia tidak habis pikir
dengan keputusan anaknya, Valia. Sementara Valia terlihat tenang menghadapi
reaksi mamanya, ia hanya memandang papanya yang berusaha mencerna apa yang
barusan ia katakan.
“ Valia tau Roy sudah berbuat salah sama Lia dan Abby selama
ini. tapi Valia juga engga bisa menutupi hal ini selamanya dari Abby. Abby
sudah besar sekarang, Valia juga tidak mau menyimpan ini lebih lama lagi..”
“ tapi apa kamu memikirkan bagaimana kalau dia menemukan
papanya, tapi papanya malah menolak dia? Apa terpikir olehmu kemungkinan itu?”
papanya bertanya tegas.
Valia mengangguk, “ ya.. apa seorang pencari harta karun
selalu pulang dengan emas berlimpah? Ada kalanya malah ia kehilangan seluruh
miliknya saat kembali pulang. Jika Abby harus merasakan hal yang sama seperti
Valia, maka dia juga harus mampu menanggunggnya. Tapi, membiarkan dia tidak tau
apa- apa seumur hidupnya, menurut Valia hal itu lebih buruk daripada hal ini..”
Mama dan papa Valia terlihat cemas memikirkan keberadaan
cucu kesayangan mereka.
****
“ ini
dia tempatnya.. ready?” Anta memandang Abby yang sejak tadi terlihat gelisah.
Abby mengangguk pelan, keberaniannya kemarin mendadak menciut. Seperti apa
wajah papanya sekarang? Apa yang akan dia katakan saat bertatap muka dengan
papanya? Akankah papanya mengenalinya? Anta membukakan pintu mobil untuk Abby,
ia lalu meraih tangan Abby untuk masuk ke restoran bersama. Saat masuk, suasana
hangat menyambut mereka. Homeband memainkan iringan lagu- lagu klasik, di
sebelah kiri dalam bartender sejak sibuk melakukan atraksi juggling untuk menarik pengunjung datang ke bar. Pelayan dengan
ramah menyambut mereka berdua,
“ selamat malam.. boleh saya tau reservasi atas nama siapa?”
tanya pelayan itu. restoran italia ini merupakan restoran italia terbaik yang
ada di bandung, oleh karena itubila ingin makan di tempat ini harus melakukan
reservasi terlebih dahulu.
“ Antares Suryahadiwijaya, “ jawab Anta ramah.
Pelayan tersebut tersenyum sambil mengeceknya di monitor, “
baik.. meja untuk dua orang di private
lounge, pelayan kami akan mengantarkan sampai ke meja. Terima kasih.”
Sampai
di meja, pelayan menanyakan hidangan yang hendak dipesan.
“ Menu of the day
aja untuk dua orang ya.. makasih,,” jawab Anta. Abby memperhatikan sekeliling
restoran yang baru pertama kali ia datangi ini. semuanya terlihat begitu lux, dekorasinya hingga pelayanannya.
Namun perasaan itu hanya berlangsung sejenak saat ia teringat kembali bahwa
tujuan ia datang ke restoran ini bukan hanya untuk mencicipi makanan di
restoran terbaik ini.
“ lagi mikirin apa?” Anta meraih tangan Abby untuk
membuyarkan lamunan Abby. Abby menatap Anta sambil tersenyum.
“ you know what I’m thinking about..”
“ kamu pasti bisa melewati malam ini dengan baik..
percayalah sama dirimu sendiri..”
Abby menghela nafas dalam- dalam, keraguan tergambar dari
helaan nafasnya, “ apa kita pergi aja ya? Lagipula gimana cara kita nemuin papa
disini? Papa bukan pelayan..”
“ we’ll find a way..” Anta tersenyum dengan rencana yang
akan dikeluarkannya.
Beberapa
saat kemudian makanan datang dimulai dari hidangan appetizer hingga hidangan utama. Anta disuguhi segelas moet champagne sementara Abby memilih
air putih. Setelah hidangan penutup disajikan, seorang lelaki muda yang
mengenakan jas menghampiri meja mereka. Anta nampak mengenali wajah lelaki itu
yang umurnya tidak jauh berpaut darinya, Anta lalu berdiri dan menyapa duluan
lelaki itu.
“ Hey Brian! How do you do?” Anta menyapa Brian dengan
ramah. Brian baru menyadari bahwa itu adalah Anta, teman sekuliahnya dulu.
“ Oh my! What a day! Aku baru aja mau nyapa tamu di private lounge ini, eh ternyata kamu
toh! Baik- baik, kamu gimana?”kata Brian. Anta hanya tersenyum sambil
mengenalkan Abby.
“ kenalin.. ini Abby..” Abby lantas berdiri dan mengenalkan
dirinya dengan sopan.
“ halo.. aku Abby. Apa kabar? Senang bisa ketemu..”
Brian mengangguk sambil menyambut salam hangat Abby, “ so..
enjoying your dinner?”
Anta dan Abby mengangguk mengiyakan, Abby lalu memberanikan
diri untuk menanyakan sesuatu.
“ hmm.. maaf kalau aku kurang sopan di awal perkenalan kita,
tapi.. apa bisa aku ketemu sama yang masak hidangan istimewa ini?”
Anta
terkejut, itulah yang barusan akan ia katakan. Sementara Brian mengangguk setuju.
“ tentu.. akan saya panggilkan kesini sebentar lagi.
Kebetulan yang memasak hidangan ini langsung ahlinya.” Abby tersenyum kecil.
Anta langsung mengerti, ia mengajak Brian untuk ngobrol di tempat lain. Namun
niat itu dicegah oleh Abby, ia meraih lengan Anta untuk mencegahnya pergi.
‘ jangan pergi.. aku engga tau mau bicara apa kalau ketemu
papa..’ seru Abby dalam hatinya. Anta mengerti dan mengatakan pada Brian bahwa
sebaiknya mereka bicara disini saja.
“ oke.. udah lama juga engga ngobrol sama oom..” kata Brian.
“ oom?” tanya Anta.
“ ya.. aku dekat sekali sama beliau, beliau sudah aku anggap
sebagai keluarga sendiri. Akhir- akhir ini aku sibuk, makanya jarang bisa
ngobrol enak.” Kata Brian lalu meminta
salah seorang pelayan untuk memanggil koki yang memasak hidangan ini.
Beberapa
saat kemudian datang seorang pria paruh baya masih mengenakan apronnya. Dengan
ramah ia menyapa Brian dan tamu yang mengundang kehadirannya.
“ halo oom.. silahkan duduk dulu..”
Anta mengangguk ke arah pria itu, Abby tersenyum menatap
pria itu yang juga tersenyum ramah ke arahnya. Abby melihat nama pria tersebut
di bajunya, ‘ Roy Pandega’
Abby tertegun, perasaannya campur aduk. Benarkah ini? apakah
pria di depannya ini adalah papanya? Senyumnya langsung memudar seketika, diganti
dengan perasaan gugup yang tidak bisa ia sembunyikan dari wajahnya.
Anta langsung berusaha menguasai keadaan, “ silahkan duduk..
kalau bapak tidak sibuk mungkin kita bisa berbincang sebentar..”
Roy langsung merasa tidak enak, “ jangan.. bagaimanapun saya
Cuma pegawai disini. Tidak baik rasanya duduk satu meja dengan tamu..”
“ gapapa oom.. kan ada Brian.. sebentar aja, dapur engga
akan kenapa- kenapa kok.. tamu special nih..”
Roy
akhirnya bersedia duduk, ia duduk bersebelahan dengan Brian. Anta menatap Abby
yang terlihat gugup.
“ bagaimana hidangannya? Apa ada yang kurang?” tanya Roy
ramah.
Anta menggeleng, “ perfect! Hampir mirip dengan salah satu
restoran tua di Italia yang pernah saya kunjungi. Rasanya klasik dan otentik..”
Roy terdengar antusias mendengar pujian tersebut, “ terima
kasih banyak.. ngomong- ngomong kita belum kenal satu sama lain.. kenalkan,
nama saya Roy..”
Anta menyambut dengan ramah, “ Anta..”
Roy mengulurkan tangannya kepada Abby, “ halo.. Roy.. gimana
hidangannya?”
Abby terlihat kagok dengan uluran tangan papanya, “ ii..
i..iya.. Abby.. hmm.. makanannya enak..” jawab Abby sekuat tenaga. Roy terlihat
aneh dengan tingkah Abby, namun ia tidak ambil pusing.
“ jadi,
Anta pernah ke Italia?” tanya Roy.
“ ya.. dua tahun lalu waktu liburan musim panas. Kebetulan
teman saya kampung halamannya di italia. Jadi dia ajak saya untuk mampir ke
restoran itu..”
“ apa masih seperti dulu? Dulu saya pernah kesana, belajar
masak juga..”
“ oya? Sepertinya tidak banyak yang berubah.. berapa lama
belajar masak disana?”
“ beberapa lama, I’m a free guy, jadi bebas mau kemana
saja..”
Abby terhenyak, “ oom engga punya keluarga?” tanya Abby
langsung pada poinnya.
Roy terlihat kaget, namun ia tersenyum kembali untuk
menjawab pertanyaan itu, “ tentu punya… orang tua saya mendukung sekali dengan
karir saya..”
“ maksud saya, keluarga oom sendiri..” ralat Abby lemah.
Roy terlihat berat, “ my own family..” jawab Roy lemah. “ I
have it of course.. once..”
Abby meremas bagian bawah bajunya sendiri, ia ingin sekali
menangis saat ini. benarkah dia dan mamanya hanya masa lalu bagi papanya? Tidak
pernahkah papanya mencoba mencari tau keberadaannya dan mamanya?
Suasana
mendadak tegang, Brian bingung harus bicara apa.
“ aaah!! Champagnenya rasanya segar sekali, oom mau saya
tuangkan?” kata Anta sembari langsung menuangkan champagne di gelas yang masih
kosong.
Roy kembali sumringah, “ sure.. ini minuman favorit saya
setiap malam. Minum champagne secara teratur dan tidak berlebihan baik untuk
kesehatan..” tukasnya.
“ waahh.. kalo gitu pasti banyak botol champagne ya di rumah
oom..”
“ pasti, oom suka ngumpulin penutup champagne, ada yang
sudah oom kumpulkan jadi satu figura di rumah. Selain itu oom juga suka nyimpan
botol champagne berbagai merk..”
Anta mengangguk- angguk antusias,sementara Brian terlihat
memikirkan sebuah ide.
“ oia! Gimana kalo kita sekalian berkunjung aja ke rumah oom
Roy? Setiap minggu restoran ini buka sampe jam 3 sore aja, malemnya kita
kesana..” cetus Brian.
Ide itu
disambut baik oleh Roy, “ boleh.. sudah lama oom tidak terima tamu di rumah.
Kita buat barbeque party nanti,, gimana?”
Brian menatap Anta, Anta menatap Abby, ini adalah kesempatan
baik bagi Abby.
Abby menjawab, “ hmm.. rumah oom jauh?”
Kalimat yang menyatakan persetujuan Abby itu membuat Anta
senang. Akhirnya keputusan dibuat bahwa hari minggu jam 5 sore mereka akan
mengadakan pesta barbeque di rumah Roy.
Setelah berbincang sejenak, Anta dan Abby pamit pulang. Di
dalam mobil Abby mengucapkan terima kasih kepada Anta.
“ kenapa?” tanya Anta.
“ untuk tadi,karena udah nemenin aku ketemu papa..”
Anta tersenyum, “ you did a great job.. gimana menurutmu
beliau?”
Abby menggeleng tidak tau, “ aku engga tau.. I just met
him..”
“ By..” panggil Anta, Abby menoleh. “ meski mungkin berat,
tapi.. cobalah untuk bicara banyak sama beliau. Dengan begitu, kamu akan tau
bagaimana beliau hidup selama ini.. try.. minggu besok adalah kesempatanmu,
don’t make yourself regret it someday..” pesan Anta perlahan.
Abby mengangguk mengerti, ia tau lain kali ia harus
menguasai dirinya lebih baik lagi.
****
Perjalanan
menuju rumah Roy memakan waktu 30 menit dari hotel tempat Abby dan Anta
menginap. Saat sampai disana, terlihat Roy dan Brian terlihat tengah menyiapkan
tempat barbeque di balkon luar. Anta dan Abby terlihat membawa beberapa kresek
bahan yang dibutuhkan dalam pesta barbeque ini.roy melihat kedatanga mereka
berdua dan lantas masuk ke dalam untuk menyambut mereka.
“ ooh.. kalian sudah datang? Gimana, macet ya?”
“ sedikit oom..” jawab Anta sambil meletakkan barang di atas
meja dapur. Roy lantas meminta Anta bergabung dengan Brian diluar, sementara
dirinya meminta Abby untuk membantu menyiapkan koktail.
Abby teringat kembali perkataan Anta waktu itu, yang
mengatakan bahwa ia harus lebih banyak berbicara dengan ayahnya, dan hari ini
adalah kesempatan yang sangat baik.
“ ada
yang bisa Abby bantu oom?”
Roy tersenyum ramah, “ ya.. tolong bukakan buah- buah kaleng
ini, lalu masukkan ke dalam wadah di dalam laci nanti,,” ucap Roy sambil
membereskan barang- barang yang Abby dan Anta bawa. Di tengah menjalankan
tugasnya, Abby memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“ rumah ini besar sekali ya oom..”
Roy tersenyum “ yah.. lumayan, untuk yang tinggal sendiri..”
“ kenapa oom tinggal sendiri disini?” tanya Abby penasaran.
Roy terdiam, “ katanya oom pernah punya keluarga, lalu, apa
yang terjadi?”
“ ya.. oom dulu pernah bermaksud untuk membentuk sebuah
keluarga kecil oom sendiri. Tapi,oom melakukan kesalahan dengan keluarga oom
sendiri.. I left them..”
Abby
tercekat, dengan posisi membelakangi Roy, ia berusaha menenangkan dirinya.
“ ada masalah apa oom? Apa ada masalah?”
Roy menggeleng, “ ya, ada masalah. Tapi bukan pada mereka
masalahnya, tapi pada diri oom sendiri. Oom sudah melukai perasaan wanita yang
oom cintai, dan meninggalkan anak oom satu- satunya..”
“ waktu itu, oom tidak tau bagaimana caranya minta maaf,
hingga saat ini pun begitu.. hingga seperti inilah adanya, oom hidup sendiri..”
“ oom bilang oom punya anak, oom engga mau tau gimana
kabarnya sekarang?” Abby bertanya perlahan.
“ di dunia ini, ayah seburuk apapun, tidak ada yang tidak
ingin tau bagaimana keadaan putri kecilnya,”
“ lalu..”
“ tapi, dia tidak pernah tau orang macam apa ayahnya. Oom
pikir akan lebih baik kalau dia tidak tau orang macam apa yang telah menyakiti
ibunya dan membuat dia tidak memiliki ayah.. “
Abby
meneteskan air matanya, jadi ayahnya tidak mencarinya karena alasan ini..
“ oom engga kangen sama anaknya oom? Oom engga pernah ketemu
dia?”
Roy mengelap tangannya, ia mengajak Abby ke dalam kamarnya.
Sampai di dalam kamar ia membiarkan pintu terbuka, lalu ia menuju meja kerjanya
yang dilapisi kaca dimana di dalamnya terdapat kartu ucapan yang ia tulis untuk
anaknya.
“ seminggu yang lalu, dia baru saja berusia 20 tahun.. “ Roy
memandang kartu- kartu itu dengan sedih.
Sementara Abby melihat jejeran kartu ucapan itu dengan
pandangan miris, apa ini nyata? Apa ayahnya menulis untuknya selama ini? lalu
kenapa ia tidak mengirimkannya padanya?
“ oom meninggalkan dia saat dia baru melihat dunia ini,
sejak itu, oom tidak sanggup kembali lagi.. I just wrote this, and keep it for
myself..”
Air
mata Abby tergenang di pelupuk matanya, ingin rasanya ia membuka dan membaca
setiap buah kartu ucapan yang ayahnya tulis untuk dirinya. Namun saat ini
apalah dirinya, ia bukan siapa- siapa yang bisa mendapatkan kartu ucapan itu.
“ aah.. oom minta maaf.. ini pertama kalinya oom bisa
menceritakan ini kepada orang lain.. apa itu membuatmu tidak nyaman? Oom minta
maaf..” kata Roy sambil menghapus air matanya yang tidak sengaja menetes.
Aku bukan orang lain!! Batin Abby meronta. Namun ia tidak
bisa mengatakan itu, “aah.. ga papa oom.. Abby senang oom bisa terbuka sama
Abby..” katanya datar. “ kartu ini, sampai kapan oom akan menulis?”
“ sampai oom mati, hanya itu yang bisa oom lakukan untuk
dia.. tidak ada yang lain..”
Air mata terjatuh di pipi Abby, ia tersenyum menatap
papanya. Dalam hatinya ia merasakan perasaan yang hangat dari perkataan papanya
barusan.
Tiba- tiba terdengar ketukan pintu, Anta nampak berdiri di
depan pintu, “ dinner’s ready..” katanya sambil tersenyum. Abby buru- buru
mengusap air matanya, mereka berdua lalu menikmati makan malam yang sudah
disiapkan hangat.
Suasana
hangat begitu terasa pada saat makan malam dimulai, dinginnya udara malam kota
Bandung seolah mampu tertutupi dengan kehangatan suasana saat itu. Roy berkali-
kali memuji hasil masakan Brian dan Anta hari ini, ia berkata bahwa Brian dan
Anta sebaiknya membuka restoran sendiri. Di tengah makan malam, Abby beranjak
ke dapur mengambil minuman yang sudah ia buat sebelumnya. Ia menuangkan
pertama- tama ke dalam gelas papanya, begitu pula dengan makanan, Abby sengaja
menyisihkan makanan yang disukai oleh papanya. Abby terlihat antusias
mendengarkan cerita papanya mengenai pengalamannya menjelajahi beberapa negara
untuk memasak hingga akhirnya memutuskan untuk menetap di Bandung. Di lain
sisi, sejak awal Anta memperhatikan Abby. Ia senang karena Abby sudah bisa
menjalin komunikasi dengan ayah yang selama ini ingin ia temui. Setelah selesai
makan, Abby kembali membantu beres- beres di dapur. Ia meletakkan semua peralatan
makan yang kotor di dalam dish washer
dengan rapi. Roy mengucapkan terima kasih atas bantuan Abby hari ini serta
berharap lain kali mereka bisa membuat acara makan malam lagi di rumahnya.
“ iya oom.. nanti kalo ada waktu, pasti nanti Abby mampir lagi.. “
Roy tersenyum senang, ia berjalan ke arah kulkas lalu
memandang magnet berbentuk chef yang tengah memegang sebuah Loyang besar,
magnet itu dilapisi emas yang memberikan kesan mewah. Ia tersenyum mleihat
magnet itu lalu melepaskannya dari kulkas. Ia menghampiri Abby lalu memberikan
magnet itu kepada Abby.
“
magnet ini, handmade yang hanya dibuat khusus untuk satu orang. Waktu itu, chef
di tempat oom bekerja memberikan ini kepada oom atas hasil kerja oom yang
outstanding..”
Abby mengangguk, ia memandangi magnet itu dengan penuh rasa
kagum.
“ itu boleh kamu ambil..” kata Roy lirih.
Abby terkejut, ia memandang papanya tidak percaya, “ tapi..
ini kan punya oom.. magnet ini bukan sembarangan bisa dikasi ke sembarang
orang..”
Roy menggeleng, “ somehow.. I feel like you’re not just
somebody,,” ucapnya sambil tersenyum.
Abby terkejut, ia tidak menyangka papanya akan mengatakan
hal itu, “ tapi.. Abby engga bisa..”
“ oom tidak bisa simpan itu selamanya, perlu ada satu orang
yang menjaga itu selepas oom tiada.. tolong di jaga ya Abby..” pinta Roy.
Abby tersenyum yakin, ia menganggukkan kepala sambil
menggenggam magnet itu erat- erat di tangannya.
****
Selepas
Anta, Abby, dan Brian pergi, Roy merapikan sisa- sisa makanan dan peralatan
yang masih berantakan. Setelah dirapikan, Roy masuk ke kamarnya. Sebelum tidur
ia melihat kembali ke meja kaca yang di dalamnya terdapat kartu ucapan, ia
merapikan kartu ucapan itu sambil air mata menggenang di matanya. Sementara di
dalam kamar hotel, Abby tersenyum menatap magnet yang baru saja ia dapatkan
dari papanya. Ia mengambil kopernya lalu mengambil photo album yang sengaja ia
bawa dari rumah. Di dalam foto album itu ia melihat foto dirinya bersama
mamanya, ia bertekad bahwa ia harus mengungkapkan yang sebenarnya mengenai
siapa dirinya. Namun bukanlah perkara mudah untuk menemukan cara yang tepat
untuk mengungkapkan hal besar ini, Abby pun memiliki kekuatiran bahwa niatnya
ini bisa membuat papanya semakin menjauh darinya.
Abby terjaga hingga tengah malam, hingga secara tidak sadar
akhirnya ia tertidur di lantai kamar hotel. Anta yang terbangun untuk ke kamar
kecil menyempatkan diri untuk melihat sejenak ke kamar Abby. Ia tidak menemukan
Abby di atas tempat tidur, ia lalu masuk ke dalam kamar Abby dan melihat Abby
tengah tertidur di lantai. Anta melihat foto album yang masih terbuka di atas
tempat tidur, ia merapikannya lalu menggendong Abby ke atas tempat tidur. Ia
memakaikan selimut kepada Abby lalu kembali ke kamarnya. Keesokan paginya Abby
terbangun dan mendadak bersin- bersin, kepalanya terasa pening. Setelah
beberapa saat ia sadar bahwa semalam ia tertidur di lantai.
Abby
menghampiri pintu kamar Anta, di pintu sudah tertempel notes dari Anta, “ meet
me downstairs, im having breakfast..” Abby langsung memakai mantelnya dan turun
ke restoran hotel. Abby bersin- bersin saat bersama dengan Anta, dengan cemas
Anta memegang dahi Abby yang sudah mulai lebih hangat dari kondisi normal.
“ besok- besok jangan ketiduran di lantai lagi..” ucap Anta
cemas. Abby pun sadar bahwa pasti Anta yang membawanya ke atas tempat tidur.
“ acaramu apa hari ini?” tanya Abby.
“ hmm.. nanti jam 11 aku mau ke acara reuniku, mungkin
sampai malam.. trus kamu gimana?”
“ aku istirahat aja deh, kalo udah enakan nanti aku jalan-
jalan sendiri aja..”
Setelah Anta pergi meninggalkan hotel, Abby pergi ke
kamarnya dan beristirahat.
Dalam tidurnya Abby bermimpi sedang berada di sebuah rumah
sakit. ia memandang sekeliling berusaha mengetahui dimana ia berada sekarang.
Abby berjalan tanpa arah, sampai ia melihat sosok seorang
lelaki usia di bawah 30 tahun berjalan dengan langkah gontai.
Entah
kenapa Abby memutuskan mengikuti kemana pria itu pergi, beberapa waktu kemudian
pria itu berhenti di depan ruangan yang disekat kaca. Di dalam ruangan tersebut
banyak bayi- bayi yang baru lahir, ada yang sudah diberi nama, ada pula yang
masih dilabel nama ibunya. Pria itu mencari- cari bayi yang ingin ia lihat
hingga matanya tertuju pada bayi yang berada di baris paling depan. Di kereta
bayi itu terdapat tulisan, “ Ny. Valia”. Mata pria itu berkaca- kaca, dalam
hatinya ia berkata “ anakku,,” ia menyentuh kaca yang membatasi dirinya dengan
anaknya. Ia menangis, lalu pergi meninggalkan anaknya yang tengah menangis saat
itu, hingga kini.
Abby terbangun dari mimpinya, mimpi yang aneh namun ia
yakini bahwa seperti itulah kenyataan yang terjadi selama ini, “ papa.. you did
come to see us..” kata Abby sambil meneteskan air mata dari buah tidurnya tadi.
Segera Abby bersiap- siap untuk pergi ke suatu tempat, ia merapikan barang- barang
miliknya yang harus ia bawa. Setengah jam kemudian Abby pergi ke rumah papanya.
Sementara
di rumahnya, Roy memimpikan hal yang sama. mimpi yang selalu datang
menghampirinya selama dua puluh tahun ini. karena sikap pengecutnya, ia telah
membuat keputusan yang menghancurkan separuh hidupnya.
“ Ting Tong.. Ting Tong..” suara bel rumah Roy berbunyi.
Roy melihat siapa yang datang, ia terkejut melihat Abby
tiba- tiba datang ke rumahnya. Ia segera membukakan pintu untuk Abby.
“ Abby.. ada apa kemari?” sapa Roy ramah. abby menatap papanya dengan mata berkaca-
kaca.
“ boleh saya masuk sebentar oom?”
Roy mempersilahkan Abby duduk lalu mempertanyakan maksud
kedatangan Abby.
“ ada apa Abby?”
Abby tidak segera menjawab, ia berusaha memulai kata-
katanya.
“ waktu kecil Abby pernah digigit lebah, waktu itu Anta yang
ngobatin Abby. Tapi semenjak saat itu Abby takut banget sama lebah. Mama selalu
bilang untuk mengatasi rasa takut itu, tapi Abby ga mau.. Abby takut, takut
bahkan untuk mengatasi rasa takut itu sendiri..”
Roy bingung mendengar perkataan Abby, “ maksud kamu?” tanya
Roy.
“ sejak
Abby SD sampe SMA, Abby selalu dapet juara kelas. Waktu SMA Abby pernah jadi
kapten cheers di SMA Abby. Waktu itu Abby sempet bingung mau kuliah dimana,
tapi Abby tau kalo harus ada yang lanjutkan bisnis mama.. jadi Abby memutuskan
untuk kuliah di jurusan ekonomi.. selama ini mama selalu bekerja keras untuk
Abby, kakek dan nenek. Jadi Abby merasa kalo Abby harus bisa menjadi tumpuan
keluarga setelah mama..”
“ Abby.. oom engga paham apa yang kamu bilang..”
‘ ayah mana di dunia ini yang tidak ingin tau bagaimana
keadaan anaknya’, “ bener kan.. pa?”
Abby mengulang perkataan papanya saat makan malam beberapa
waktu yang lalu. “ sekarang Abby menceritakan cerita apa aja yang sudah papa
lewatkan..”
Roy mendadak linglung, ia tidak percaya apa yang baru saja
ia dengar. Abby tau itu, ia lalu mengeluarkan semua bukti- bukti yang ia
miliki. Akta kelahiran, foto- foto dirinya bersama mamanya, dan foto pernikahan
mama dan papanya dulu.
Roy tertegun melihat semua barang yang ada di depan matanya,
lututnya serasa lemas. Ia secara spontan menjatuhkan gelas yang ada dalam
genggaman tangannya.
“ maaf pa, karena Abby engga bicara jujur dari awal.. Abby
engga tau harus mulai dari mana..”
Roy menguatkan dirinya, ia berdiri dan berjalan ke arah
jendela sehingga ia berdiri membelakangi Abby, Roy berusaha menahan
tangisannya.
“
selama ini, Abby engga pernah tau papa dimana. Abby terus bertanya sama mama,
tapi mama engga pernah menjawab.. mama selalu bilang tunggu, tunggu..” Abby
meneteskan air matanya.
“ sekarang kamu sudah ketemu sama ayah yang kamu cari selama
dua puluh tahun ini.. lalu apa yang ingin kamu lakukan?” suara Roy dingin.
Abby menangis, “ kenapa papa harus bersikap seperti ini?
kenapa papa harus pura- pura engga mau ketemu Abby? Apa buat papa, Abby betul-
betul sebuah gangguan? Hingga ntuk ketemu aja papa engga pernah mau?!!” Abby
berteriak meluapkan emosinya.
“ DO YOU KNOW HOW BAD I AM? WHAT KIND OF MAN I AM?!!!”
bentak Roy tak kalah emosionalnya.
“ Even if I know now, I still come to see you! Meskipun papa
jahat, tapi apa itu membuat papa bukan lagi papa Abby?!!” Abby menghardik.
“ you did come that day.. to see me.. but then you leave..
till now..” kata Abby menguraikan mimpinya tadi.
Roy terkejut, bagaimana Abby bisa mengetahui hal itu.. namun
Roy tetap ingin bersikukuh supaya Abby pergi dari hadapannya. Dalam hatinya, ia
tidak ingin menganggu kehidupan anaknya yang telah berjalan dengan baik selama
ini.
“ I came that day to say goodbye.. nothing more..”
“
lalu.. kenapa ada kartu- kartu itu di kamar papa? Apa iya semua isi di dalamnya
ingin menunjukkan bahwa hari itu papa memang datang untuk mengucapkan selamat
tinggal? atau isinya rasa rindu yang ga pernah bisa papa sampaikan ke Abby?”
Roy tercekat, pertahanannya luruh.. ia sungguh tidak sanggup
lagi berbohong di hadapan anaknya ini. hanya hari ini kesempatannya, ia tidak
ingin mengusir anaknya pergi lebih jauh lagi dari hidupnya. Roy membalikkan
badannya, ia menatap Abby penuh rasa haru. Di dalam mata Abby, ia merasakan
perasaan yang sama saat di hari ia pergi meninggalkan bayi yang menangis di
dalam ruangan steril. Perlahan, Roy mengapus air mata di pipi Abby.. ia lalu
tersenyum menatap anaknya yang sejak dulu ia dambakan untuk bertemu.
“ maafkan papa.. maafkan papa karena selama ini papa selalu
membuat kamu menangis.. sejak kamu lahir, bahkan hingga hari dimana kamu
mencari papa..” Roy memeluk erat anaknya itu. abby menangis tersedu di dalam
pelukan ayahnya..
“ papa.. papa..” Abby terus memanggil papanya. Nama yang
selama ini yang tidak bisa ia katakan..
pelukan yang baru kali ini ia rasakan. Roy menangis sambil memeluk anaknya itu,
ia merasakan perasaan hangat di dalam dadanya. Perasaan yang tidak pernah ia
rasakan selama dua puluh tahun ini, perasaan yang ia rindukan dalam hidupnya.
Ayah
dan anak itu lalu menghabiskan waktu bersama membicarakan hal yang telah mereka
lewatkan masing- masing. Roy memberikan kartu- kartu ucapan yang ia tuliskan
untuk Abby selama ini. abby terlihat senang sekali melihatnya, Abby membaca
satu persatu kartu itu dan menceritakan setiap pertanyaan yang papanya ajukan
di kartu ucapan itu..seperti kapan Abby bisa naik sepeda, bagaimana pacar
pertama Abby dan sebagainya. Roy juga memasak untuk Abby, ini kali pertamanya
ia memasak untuk seorang yang paling ia sayangi di muka bumi ini. setelah makan
malam, obrolan mereka kembali berlanjut hingga waktu menunjukkan pukul sepuluh
malam. Roy tertidur di ruang tamu saat Abby sedang membereskan peralatan. Abby
beranjak ke kamar papanya, mengambil selimut dan membalut tubuh ayahnya supaya
tidak kedinginan, Abby lalu kembali ke hotel. Saat ia sampai di hotel, ia
melihat Anta dari kejauhan terlihat kebingungan, Anta terlihat sedang menelpon
seseorang. Abby melihat handphone yang ia taruh di tas, Abby terkejut, ada 25
missed call sejak jam 9 malam tadi. Ia tidak menyadari karena sibuk dengan
papanya. Abby berlari ke arah Anta, ia merasa bersalah sudah membuat Anta
kebingungan..
Abby menepuk pundak Anta yang tengah menelpon dirinya
kembali.
Anta terkejut melihat Abby, ia yang khawatir setengah mati
langsung marah- marah, “ What happen to your phone???? Why didn’t you picked
up?!!”
“ maaf… aku habis dari suatu tempat,,” Abby menjelaskan
sambil menunjukkan kresek di tangannya.
“ itu apa?” Anta mengambil bungkusan itu lalu melihat isi di
dalamnya. Setelah beberapa saat melihat, Anta tertegun. Ia tau Abby baru saja
menemui ayahnya. Ia menyesal sudah memarahi Abby.
Anta lalu memeluk Abby, “ are you okay? Maaf, aku engga kepikiran kamu mau kesana..”
Abby tersenyum, ia mengangguk, “ makasi ya.. uda mau
nganterin aku sampe kesini.. udah mau kasih aku semangat buat ngelakuin ini..”
“ you did a great job.. I’m very proud of you.. maaf karena
aku engga bisa dampingin kamu hari ini.. it must have been a hard day for you..
“
Abby melepaskan pelukan Anta lalu menatap Anta lekat- lekat,
“ awalnya aku pun berpikiran engga bisa.. tapi aku pikir apa lagi yang bisa aku
lakukan kalo engga bicara sekarang.. kemungkinan terburuknya aku tetep engga
punya papa, I’ve live with that, what could be worse..”
Abby tersenyum tulus, ia lalu mengajak Anta masuk ke dalam..
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar