Valia gemetar
saat ia keluar dari kamar mandi, ia menatap test
pack dengan tatapan tidak karuan. Dengan sisa tenaganya ia berjalan dengan
langkah gontai menuju ruang keluarga tempat kedua orang tuanya tengah
berbincang hangat. Ibu Valia heran melihat anaknya yang tiba- tiba melemas.
“ Valia, ada apa nak?”
Valia meneteskan air matanya, tak
mampu berkata- kata. Ayahnya menoleh karena tidak ada jawaban dari anaknya.
“ loh, kenapa nangis? Ada apa?”
Dengan suara paraunya Valia
mengatakan kenyataan pahit ini, “ Valia.. hamil.. Pa, Ma..”
Cangkir the dalam genggaman mama
Valia terjatuh dan pecah di lantai, setengah tidak percaya dengan apa yang baru
saja ia dengar.
“ kamu bilang apa barusan?”
Valia tidak kuat lagi berdiri, ia
menangis dan tersungkur di lantai. Menyesali perbuatannya, terlebih lagi
menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Ibunya terlihat sangat terpukul dengan
kenyataan yang harus dilalui putri semata wayangnya ini, sementara ayahnya
berusaha tegar meski nafas berat terus dihelanya.
Ayahnya
mengambil test pack dari tangan
Valia, ayah Valia menarik tangan Valia.
“ kita ke dokter kandungan
sekarang..”
Detik itu juga mereka bertiga ke
rumah sakit keluarga mereka, sesampainya disana mereka mengkonfirmasi kebenaran
hasil test tersebut. Valia tidak berkata
apapun, sementara ibunya masih menangis tersedu. Valia harus diperiksa untuk
memastikan apakah benar bahwa ia sedang mengandung.
Beberapa lama kemudian, dokter
datang membawa hasil, “ bagaimana dok?” tanya ayah Valia.
“ saya tidak tau ini adalah kabar
baik atau kabar buruk bagi bapak.. tapi Valia positif hamil. Usia janinya sudah
satu setengah bulan..”
Ayah Valia terlihat semakin
terpukul, ia memegang kepalanya yang terasa ingin meledak. Sementara ibu Valia
semakin shock mendengar berita ini. dalam perjalanan pulang, mereka bertiga
berlalu dalam diam, seolah tiada kata yang dapat terucap mewakili kejadian
barusan.
“ istirahat dulu,. Besok kita
bicarakan..” kata ayah Valia sambil berlalu menuju kamarnya.
“ Valia mau gugurin kandungan ini
aja pah..”
Ayah Valia menghentikan
langkahnya lalu berbalik, “ apa kamu bilang?”
“ untuk apa ada anak ini pah,
Cuma bikin malu papa sama mama..”
PLAK!
Valia memandang ayahnya yang
untuk pertama kali dalam hidupnya menamparnya. Valia tidak percaya dengan sikap
ayahnya.
“ jaga mulutmu! Masuk kamar! Kita
bahas ini besok.. ayo ma..” kata ayah valia sambil membawa istrinya dari
hadapan anaknya.
Valia
menangis semalaman, ia berkali- kali meremas perutnya yang telah berisi bakal
anaknya. Ia ingin menghubungi Roy, lelaki yang paling bertanggungjawab untuk
kejadian ini, namun niat itu ia urungkan. Beberapa menit pertama ia berniat
menggugurkan kandungannya, namun menit berikutnya ia berubah pikiran. Hal itu
terus terngiang di pikirannya sampai ia tertidur keesokan paginya.
Esoknya, Valia melihat ayahnya
duduk di kursi ruang tamu duduk membaca Koran. Sementara ibunya terlihat
menyiapkan sarapan untuknya, seperti tidak ada yang terjadi. Valia memberanikan
diri untuk duduk di ruang tamu, berapa saat kemudian, ibunya membawakan susu
untuknya.
“ pa..” Valia mengawali
pembicaraan.
“ siapa lelaki itu? Roy?”
straight to the point. Valia tercekat. Ia ingat bagaimana kedua orang tuanya
tidak setuju dengan hubungannya dengan Roy. Roy terkenal dengan reputasinya
yang buruk sebagai lelaki, saat ia mendekati Valia, ia bahkan menjadi suami
orang. Namun selama ini ia tidak pernah mempedulikan kata- kata orang tuanya.
Air mata kembali mengalir di pipinya. Ayah Valia menghela nafas.
“ kamu harus menikah sama dia..”
Valia terkejut dengan apa yang
dikatakan ayahnya.
“ kamu sudah 26 tahun, dia sudah
cerai dari istrinya. Kalian berdua memang sepatutnya menikah. Apalagi sudah ada
anak dalam janinmu..”
Valia terlihat keberatan dengan
apa keinginan ayahnya.
“ papa sama mama engga mau kamu
menggugurkan kandunganmu, kenapa anak dalam janin kamu harus menjadi korban
kesalahan kalian?” kata ibu Valia. Mendengar itu, Valia tidak mampu menyangkal
lagi. Benar, ini semua kesalahannya..bukan anak dalam kandungannya.
****
Valia
terlihat cantik dengan balutan gaun putih bersih yang menjuntai panjang, meski
perutnya telah terlihat buncit. Risa, sahabatnya melihat Valia dengan pandangan
prihatin.
“ apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan, tidak boleh
dipisahkan oleh manusia. Saya nyatakan saudara berdua sebagai suami dan istri
dalam nama Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus, Amin..”
Jemaat bertepuk tangan setelah pemberkatan selesai, kedua
mempelai terlihat sangat bahagia. Mereka mengatakan bahwa Valia dan Roy adalah
pasangan yang serasi. Sementara Valia dan Roy berusaha terlihat bahagia di
depan semua tamu yang hadir. namun kejanggalan jelas terlihat, karena orang tua
dari pihak Roy tidak hadir, hanya pamannya yang hadir sebagai saksi pencatatan.
Risa menghampiri sahabatnya itu, ia memeluk Valia dengan erat sambil
menggandeng anak lelakinya yang baru berusia dua tahun.
“ Lia, have a good life ya..” kata Risa.
Valia tersenyum getir mendengar kalimat Risa itu, “ makasi
ya.. gue minta doanya aja..”
Risa mengiyakan, ia lalu memanggil Anta, anak lelakinya
untuk memberi salam, “ Anta.. salim dulu sama tante..”
Anta dengan manisnya berjalan kea rah Valia sambil
membawakan sepucuk mawar putih dari altar tadi..
“ ini buat tante..” kata Anta. Valia memandang Anta dengan
penuh rasa haru.
“ makasi ya Anta..” kata Valia, Anta tidak terlalu ambil
pusing, ia pun kembali bermain bersama anak lainnya.
“ anakmu pinter banget..” kata Valia, sementara Risa hanya
tersenyum mengamati anaknya dan Valia membelai perutnya.
Selama
menjalani masa kandungan Valia lebih banyak mengurus kepentingannya sendiri.
Rio berprofesi sebagai bartender di sebuah kafe, disitulah awal mula mereka
bertemu dan menjalin hubungan. Sungguh ingin sebenarnya Valia mendapatkan
perhatian dari suaminya itu, namun sejak awal mereka membina hubungan yang
tidak seharusnya, maka ini adalah konsekuensi logis yang harus ia tanggung.
Valia mencoba menyibukkan diri dengan bekerja magang di kantor ayahnya.
“ udah mau berangkat kerja jam segini?” tanya Valia pada
suaminya yang sudah siap kerja. Valia baru saja pulang dari kantor. Roy hanya
mengangguk.
“ besok kita harus control ke dokter untuk pemeriksaan
rutin, bisa temenin aku kan?”
“ kita? Besok aku udah ada event, jadi engga bisa nemenin..”
“ oke, kalo gitu di check
up selanjutnya..”
“ aku ga janji ya..” Roy berlalu sambil melanjutkan kata-
katanya, “ aku bahkan engga yakin kalo itu anakku..”
Valia mendengar itu, hatinya hancur.. selama ini, kata-kata
itu yang selalu keluar dari mulut suaminya. Seolah Valia adalah perempuan
murahan yang menjajakan dirinya pada banyak lelaki. Hatinya teriris mendengar
dia dan anak dalam kandungannya mendapat hinaan seperti itu.
Beberapa
saat kemudian, ibunya datang untuk mengajak Valia membeli perlengkapan bayi,
karena bulan depan cucu pertama mereka akan lahir. Valia berusaha
menyembunyikan raut kesedihan dari ibunya, karena ia tau dalam hal ini ibunya
adalah yang paling terluka.
“ ma.. papa sama mama engga marah sama Lia?” tanyanya di
dalam mobil.
“ kenapa?”
“ karena perbuatan Lia ma, Lia hamil diluar nikah.. engga
dengerin papa dan mama..”
“ papa sama mama terlalu sayang sama kamu, sampai waktu kita
kecewa sama kamu, kita tidak sanggup lagi marah, tapi malah sedih.. “
Valia tertegun, “ maafin Lia ma.. Lia salah sama papa
mama..”
“ ma.. kalo anak ini lahir, apa dia engga akan terus
mengingatkan papa dan mama sama kejadian ini? Valia takut kalo..”
“ kalo apa?”
“ kalo papa sama mama benci sama anak Lia nanti..”
Ibu
Valia menggelengkan kepalanya, “ kamu ini aneh, kalo mama sama papa benci sama anak
dalam kandunganmu, mama engga akan mau nemenin kamu beli peralatan bayi kaya
sekarang.. mending mama belanja sendiri.. iya kan?”
Valia memandang mamanya.
“ Lia, anak itu, sampai kapanpun dan bagaimanapun adalah
anakmu dan Roy. Artinya dia adalah cucu papa dan mama. Sudah bagaimanapun latar
belakangnya, tidak masalah lagi sekarang. Selamanya anak itu akan jadi tanda
betapa kita harus hidup lebih baik demi dia. Dia yang bahkan tidak bisa memilih
mau terlahir dari janin siapa dan latar belakang keluarga seperti apa. “
Valia tersenyum penuh haru mendengar perkataan ibunya, ia
kembali membelai anak dalam kandungannya.
Mereka akhirnya sampai di kompleks pertokoan yang salah
satunya menjual peralatan bayi. Valia dan ibunya masuk ke dalam toko yang
terlihat lumayan ramai. Saat sedang memilih berbagai peralatan, Valia melihat
Roy di seberang jalan, sedang merangkul wanita muda lain yang ia kenal bukan
sebagai saudaranya. Melihat itu Valia tertegun, ia memegang perutnya, seolah
tidak ingin anaknya tau tingkah ayahnya.
Ibu valia bertanya ada apa, Valia berkata tidak ada yang
terjadi. Hanya saja sepertinya dia melihat teman lama yang sudah lama dia tidak
berjumpa, saking lamanya sampai ia lupa apa benar dia orangnya.
“ ayo lanjutin, mama ke tempat baju disana ya..” Valia
mengangguk lemah. Air mata menetes di pipinya.
Esok
paginya, saat Roy baru pulang kerja, Valia langsung mengajaknya berbicara.
“ kemarin kenapa berangkat kerja
cepet?” tanya Valia. Roy menoleh heran sambil membuka sepatunya.
“ kenapa kamu mau tau? Sejak
kapan kamu peduli?”
“ aku istrimu, aku berhak tau..”
“ aku sibuk, ada kerjaan
tambahan..”
“ kamu tau, kemarin aku jalan
sama mama buat beli keperluan anak kita..”
Roy sama sekali tidak tertarik.
“ waktu lagi milih barang, engga
sengaja liat cowok yang mirip banget sama kamu. Tapi lagi sama cewek lain..
aneh.. bajunya sama banget sama bajumu kemarin..”
Roy nampak terkejut karena
ketauan, namun dengan cepat ia menguasai dirinya, “ oh ya? Mungkin kamu salah
liat..”
Valia mengangguk, “ pasti.. kamu
di tempat kerja.. ya kan?”
“
lagipula, aku mau di tempat kerja, mau dimana, aku engga mau itu jadi
urusanmu.. aku punya hidupku, kamu punya hidupmu. Jadi ayo kita hidup tanpa
mengganggu kehidupan satu sama lain..”
Valia tidak percaya dengan apa ia
dengar, “ masing- masing? Trus anak di dalam kandunganku kamu anggap apa?”
“ anak? Buatku anak adalah buah
cinta. Kamu serius mikir kalo pernikahan kita didasari cinta? Kamu pikir aku
pernah sedetik aja mengakui anak yang ada di dalam sana adalah anakku sendiri?”
kata Roy sambil menunjuk perut Valia.
Valia menguatkan dirinya, “ kalo
kamu engga mau urus anak ini, biar aku yang urus.. pergi dari rumahku
secepatnya.. aku engga sudi anakku punya bapak kaya kamu!”
Roy berlalu tanpa kata- kata,
tanpa pikir panjang ia memakai kembali sepatunya, mengemasi barang- barangnya
detik itu juga.
“ jangan pernah nyesel sama
keputusanmu hari ini,” ancam Roy. Valia tersenyum sinis.
Saat Roy hendak pergi, Valia
menghentikannya.
“ aku udah bilang jangan nyesel
kan?” ejek Roy.
“
berenti, kembaliin semua ATM, Kartu kredit, sama kartu jaminan kesehatanku yang
masih ada di dompetmu..” kata Valia sinis. Roy selama ini tidak pernah
memberikan nafkah apapun pada Valia, malah sebaliknya. Roy pun segera
mengeluarkan itu semua dengan kesal.
Setelah selesai, ia segera pergi.
Namun Valia kembali menghentikannya.
“ itu koperku juga kan?” tanya
Valia sambil menunjuk koper yang dibawa Roy. “ keluarin semua barangmu dari
sana. Kamu boleh bawa pake tangan kosong atau pake polybag di pojok sana.. aku
engga mau kamu bawa satupun dari milikku.”
Roy nampak sangat marah, ia
mengeluarkan semua bajunya dan terpaksa meletakkannya ke dalam polybag.
“ dasar jalang!” katanya sambil
meninggalkan rumah Valia.
Selepas kepergian Roy, Valia
menangis. Kakinya gemetar lalu terjatuh. Tidak kuat lagi menahan perlakuan Roy
barusan terhadapnya. Ia menangis tersedu sambil memegangi perutnya.
“ mama janji nak, mama akan
besarkan kamu dengan baik.. kamu jangan kuatir.. mama janji.. mama engga akan
biarin kamu bertemu dengan lelaki macam dia lagi.. maafkan mama nak..”
****
“
oeek.. oeeekkk.. oeekkkk..” suara bayi perempuan terdengar dari ruang operasi.
Sepasang suami istri terlihat gembira menyaksikan kelahiran cucu pertama
mereka, papa dan mama Valia. Sementara di dalam sana, Valia terharu melihat
anaknya telah terlahir. Anak yang menjadi alasannya untuk hidup saat ini dan
selamanya. Dengan penuh kasih ia memandang anaknya yang masih penuh dengan
darah. Sementara diluar, ayah Valia menangguk memberikan instruksi pada ibu
Valia untuk melakukan sesuatu, sejenak kemudian ibu Valia mengeluarkan
handphonenya.
“ halo?” terdengar suara di seberang.
“ ini dengan Roy?” tanya Ibu Valia.
“ ya betul, ini dengan siapa?” Roy bahkan tidak mengenali
suara ibu mertuanya.
“ ini ibunya Valia. Valia baru saja melahirkan anak
perempuannya. Anaknya sehat, mungkin kamu ada waktu untuk nengok.. di rumah
sakit Ibu dan Anak..”
Roy hanya terdiam mendengar berita itu, di seberang
sambungan telah terputus. Roy nampak tidak terlalu peduli.
Ibu Valia hanya menggeleng pada suaminya mengenai reaksi
menantunya itu. ayah Valia hanya menggeleng kecewa. Mereka kembali melihat
Valia yang tengah bahagia menyambut kehadiran anaknya di dunia.
“
mbak.. anaknya saya bawa ke incubator dulu ya.. harus dikasi susu dulu..”
Valia mempersilahkan suster membawa anaknya, sementara tam
uterus berdatangan menjenguk Valia.
Saat malam mulai menjelang, keadaan rumah sakit mulai sepi,
tinggal suster yang berjaga di bagian informasi, sementara Valia sudah tertidur
nyenyak di kamarnya. Roy datang ke rumah sakit tersebut.
Ia enggan bertanya dimana tempat bayi- bayi yang baru
dilahirkan, ia menyusuri koridor rumah sakit satu persatu, kalau beruntung
mungkin ia bisa menemukannya. Setelah beberapa lama, ia menemukan ruangan yang
penuh dengan bayi yang sedang tertidur. Ia mengamati satu persatu namun tidak
menemukan anaknya. Roy baru ingin pergi, saat seorang bayi tiba- tiba menangis,
Roy menoleh. Suster mengambil bayi itu dari incubator, Roy melihat box tempat
anak itu diambil, tertulis “ Ny. Valia”.
Ia tercekat, bayi yang menangis itu adalah anaknya.. darah
dagingnya meski sulit baginya untuk mengakuinya. Namun saat mendengar bayi itu
menangis, entah kenapa batinnya tersentuh, seolah bayi itu menangis karena
dirinya. Kini ia sadar bahwa anak itu memang benar adalah anaknya. Air mata
menggenang di pelupuk matanya, ia tidak ingin terlibat lebih jauh.. meski
sulit, Roy melangkahkan kakinya pergi dari rumah sakit itu, pergi dari
kehidupan anak itu selamanya. Setelah Roy pergi, bayi itu berhenti menangis,
suster pun kembali meletakkan bayi itu ke dalam incubator.
Valia
tidak mengetahui kedatangan Roy kemarin malam, setelah menyusui anaknya Valia
meletakkan kembali anaknya ke dalam boks bayi di sebelahnya. Perlahan ada
seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.
“ masuk..”
Ternyata Risa dan Anta yang datang.
“ hai!” Valia menyambut mereka berdua dengan gembira.
“ udah baikan?” tanya Risa sambil menengok anak Valia yang
masih belum membuka matanya. Risa mengisyaratkan apa ia boleh menggendong
anaknya, Valia tersenyum mengiyakan.
“ lo udah mikirin nama buat anakmu?”
Valia tersenyum, “ aku mau namain dia Gracia Abby.. karena
dia anugrah dalam hidupku ini..”
Risa mengangguk setuju mendengar nama indah itu, sementara
Anta juga penasaran dengan bayi yang digendong ibunya.
“ ma.. Anta mau liat adeknya.. tante, boleh Anta pegang
adek?”
Valia mengangguk mengijinkan.. Risa merendahkan lengannya
supaya Anta bisa melihat Abby.
Anta melihat Abby dengan tersenyum lebar.. ia membelai
kepala Abby dan menyentuh jari- jari kecilnya, lalu ia mengecup kening Abby
dengan polos sebagaimana anak- anak pada umumnya.
****
Tiga tahun berselang..
“ Abby!!! Ayo kesini dulu,, nanti temen- temen kamu keburu
dateng loh..”
“ iya mah.. Abby kasih makan kelinci dulu,,”
“ aduh.. dikasi makan mulu, nanti kelincinya sakit perut
loh..” kata Valia sambil menyiapkan baju untuk ulang tahun Abby yang ketiga.
Hari ini tepat tiga tahun usia Abby, ia ingin merayakannya selagi ia memiliki
waktu luang di tengah kesibukannya sebagai direktur utama perusahaan ayahnya.
“ mah.. Abby mau tanya sesuatu deh..” kata Abby saat
rambutnya sedang ditata oleh mamanya.
“ kenapa?”
“ papa Abby kemana sih? Mama selalu bilang kalo papa lagi
pergi.. emang pergi kemana ma?”
Valia terkejut mendengar pertanyaan anaknya.. ia tau hal ini
akan ditanyakan Abby suatu hari nanti, kenapa dia Cuma punya mama dan tidak
punya papa, kenapa yang nganter dia ke sekolah hanya mamanya bukan papanya, dan
hari itu adalah hari ini.Valia berlutut di hadapan anaknya.
“ Abby sayang.. dalam hidup ini, ada bermacam- macam sifat
manusia. Ada yang baik ada yang jahat, ada yang suka di rumah ada yang suka
pergi.”
“ maksud mama, papa lebih suka pergi ketimbang sama kita?”
tanya Abby polos.
“ setiap orang juga punya pilihan sendiri, terkadang kita
harus mengambil pilihan yang berat untuk meninggalkan orang yang kita sayangi.
Sama seperti papa, papa pun pergi dengan berat hati..”
“ kalo kita sayang, kenapa kita malah pergi? Abby suka
kelinci, makanya Abby pelihara..”
“ itu kenapa mama bilang kalo setiap orang punya pilihan..
kalo sudah waktunya nanti mama akan jelaskan semuanya, tapi bukan sekarang..”
“ kapan itu ma?
Besok?”
Valia
bingung hendak menjawab pertanyaan anaknya yang sekaligus akan menjadi janji
baginya. Untunglah teman- teman Abby datang saat itu juga. Di tengah teman-
teman Abby, hadir pula Anta di dalamnya. Dengan malu- malu Anta memberikan
hadiah berpita putih untuk Abby.
“ itu Anta yang pilihin loh,,” kata mamanya.
“ engga!! Mama yang pilih kok.. Anta kan Cuma disuruh
kasih..” jelas Anta.
Valia dan Risa hanya tersenyum geli, sementara Abby dan Anta
sibuk dengan kado itu.
Abby dan Anta membuka kado diluar, tiba- tiba Anta
menanyakan keberadaan ayah Abby.
“ kok papamu engga pernah ada sih?” tanya Anta polos.
“ papa pergi..”
“ kemana? Emang dia engga tau kalo kamu ulang taun?”
Abby mengangkat bahunya,
“ trus kenapa papamu bisa engga ada?”
“ karena papa sayang sama aku,,”
“ kalo sayang kok pergi?”
“ karena setiap orang punya pilihan..” kata Abby mengkopi
asal perkataan ibunya tadi.
“ aku ga ngerti deh..”
“ ah aku juga, mama tadi bilang gitu” jelas Abby.
“
waah.. buku mewarnai!!!” jerit Abby senang melihat buku mewarnai itu.
“ kamu suka mewarnai ya?” tanya Anta, Abby mengangguk
senang.
“ kamu suka warna apa?” tanya Anta lagi.
“ semuanya.. kayak pelangi..” jawab Abby. “ kalo kamu suka
apa?”
“ aku suka duit..” jawab Anta cepat.
“ buat apa suka uang?”
“ buat beli mobil- mobilan, biar kamarku penuh sama mobil..”
“ ohhh… auch!!!!!” Abby mengerang kesakitan. Seekor lebah
menyengat kakinya, Anta segera memukul lebah itu agar menjauh dari kaki Abby “
hus hus!!”
Setelah lebah itu terbang jauh, Abby masih mengerang
kesakitan. Gigitan lebah pun mulai menimbulkan bengkak. Kakinya terasa sangat
panas.
Anta
lalu mengeluarkan air liurnya ke telapak tangan, ia mengoleskannya ke kaki Abby
yang tersengat lebah.
“ kamu ngapain? Jorok..” kata Abby ambil terisak.
“ kata mama, kalo luka itu air liur kita bisa dipake supaya
engga sakit lagi..”
Namun Abby masih tetap menangis,
“ mama bilang, kalo kita nangis terus, nanti lukanya jadi
makin sakit.. jangan nangis lagi..” nasihat Anta.
Abby berusaha menahan tangisnya, meski kakinya masih terasa
panas akibat sengatan tadi.
“ bener kan? Sekarang engga sakit lagi kan?”
Abby mengangguk, rasa sakitnya makin berkurang.
Anta memberikan permen untuk Abby, “ nih.. aku punya
permen..”
“ makasi ya..” kata Abby sambil menghapus air matanya.
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar